Sarapan Pagi di Masjid Namira

Sarapan pagi di Namira bukan hal asing sebenarnya sebab kami pernah beberapa kali ikut sahur bersama di masjid megah tersebut. Namun duo Xi tetap penasaran bagaimana suasana bersantap pagi di luar bulan Ramadhan, tepatnya hari Minggu selepas Subuh. Saya pun jujur ingin merasakan nikmatnya Subuhan di sana sebab di rumah sering malas berjemaah, hehe.

Selain penasaran apakah penyajiannya juga ala prasmanan seperti sewaktu sahur, sebagai bloger tentu saja ingin menimba materi baru untuk diunggah di blog ini.

Jadilah kami akhirnya bisa singgah ke Masjid Namira di Desa Jotosanur Lamongan Minggu kemarin, 12 Agustus 2018. Sejak Sabtu malam anak-anak sudah tak sabar untuk berkunjung ke sana. Mereka yang biasanya tidur agak larut memutuskan untuk beranjak tidur lebih awal agar bisa bangun pagi. Alhamdulillah, jam 4 mereka tak susah dibangunkan. Setelah siap, kami langsung meluncur menembus dinginnya pagi, brr

Imam andalan

Tiba di sana ketika azan selesai dikumandangkan. Kami langsung menuju ruang wudhu untuk mencuci kaki karena sudah berwudhu di rumah. Setelah itu semuanya berjalan lancar, dan tentu sangat menyenangkan. Jemaah Subuh di Namira pagi itu tak seperti saat Ramadhan yang membludak namun masih terbilang banyak kira-kira 10 shaf dari 13 baris yang tersedia. Jemaah ibu-ibu penuh karena memang areanya lebih sempit dibanding jemaah pria.

Yang bikin saya senang imam shalat pagi itu adalah imam yang pernah memimpin shalat qiyamullail Ramadhan kemarin. Suaranya khas dengan nada yang unik walaupun setelah kuperhatikan lebih dekat wajah dan suaranya tidak sinkron. Oke, skip bagian tak penting ini. Beliau memang bukan imam tetap Namira sehingga kemunculannya tidak bisa diprediksi. Beruntung betul Subuh kemarin diimami beliau. Saya sempat ingin meniru nada bacaannya namun selalu gagal. Bagian ini juga skip saja haha.

Begitu shalat rampung, seperti biasa jemaah bertahan dalam masjid untuk mendengarkan tausiah atau ceramah dari ustaz yang bertugas. Pagi itu narasumber asal Sidoarjo berpesan beberapa hal pada kami.

Pertama, meminta apa saja hanya kepada Allah, bukan kepada selain Dia sebab dosa syirik sangat berbahaya dan tidak diampuni. Kedua, menjaga diri dari barang/harta haram. Ketiga, mencari lingkungan pergaulan yang kondusif agar hati terkondisikan dalam kebaikan yang solid.

Ustaz tukang kebun

Merujuk poin kedua, seorang bapak asal Solo mengacungkan jari dan mengajukan pertanyaan pada sesi tanya jawab. Rupanya beliau seorang guru PNS dan selama ini ragu mengenai tindakannya yang memanipulasi data selama bertugas. Misalnya, mengenai data dana BOS atau rapat-rapat yang ditulis ada padahal tidak pernah diadakan. Bagaimana pandangan Islam mengenai hal itu?

Sang ustaz ternyata pernah mengalami kasus serupa. Beliau awalnya seorang dosen di kotanya dan waswas dengan pola-pola manipulatif. Dia sempat mengajukan agar ia cukup mendapat honor mengajar tanpa tunjangan agar tak perlu memanipulasi data.

Permintaannya ditolak dan dia pun memilih mengundurkan diri lantaran hatinya tak nyaman. Kini beliau menekuni profesi sebagai ‘tukang kebun’ yang saya artikan secara konotatif sebagai pengusaha seputar tanaman. Mungkin ya.

Saya jadi teringat cerita seorang guru bernama Pak Kho yang gagal sertifikasi dan akhirnya lolos akibat manipulasi. Juga cerita mengenai insinyur yang berhenti kerja lantaran hatinya galau dan memilih menjual mainan anak buatan sendiri.

Juga kisah seorang motivator cum ilustrator yang dilanda kegamangan saat dia dicekam kelaparan. Semuanya menjalin satu makna bahwa saya mesti berhati-hati dan waspada. Jangan sampai jatuh cinta pada dunia dengan menghalalkan segala cara.

Nasi jagung

Nah, akhirnya tiba juga saat sarapan pagi. Kami keluar di pintu utara dan mendapati beberapa petugas Namira berdiri dengan sekantong besar berisi nasi bungkus. Saya tergoda pada bungkusan daun jati dan makin gembira setelah tahu itu berisi nasi jagung.

Isinya? Nasi jagung dengan porsi pas, urap yang lezat, telur dan tahu bali, sambal terasi dicampur teri, dan peyek kacang gurih. Entah kapan terakhir menyantap nasi jagung sebelum pagi itu, rasanya begitu nikmat dan mengesankan. Tanpa peyek pun menu sarapan itu sebenarnya sudah top sebab hadirnya peyek menuntut bungkus plastik yang membuatnya kurang ramah lingkungan. 

This slideshow requires JavaScript.

Anak-anak juga senang mengunyah suap demi suap nasi bungkus pagi itu. Sambil menunggu mereka rampung, saya menikmati secangkir kopi hitam. Sedaaap! Rezeki receh yang menggiurkan tanpa harus jadi buzzer politik.

Matahari perlahan meninggi, panasnya mulai terasa mencubit kulit walau begitu lembut. Sampah kami bereskan lalu saya arahkan anak-anak bergegas memakai dobok sebab sesi latihan Taekwondo akan dimulai setengah jam kemudian di Perpustakaan Daerah sebelah terminal bus.

Sarapan pagi di Masjid Namira, banyak hal yang kami dapatkan penuh suka cita. Jika BBC Mania ke Kota Soto ini, singgahlah sewaktu Minggu pagi untuk turut mencicipinya.

8 Comments

    1. Iya, Mas. Yang lebih saya suka semua aliran bisa menyatu di sini, yang biasanya berselisih seputar hal-hal kecil dalam ibadah mereka bisa berdamai di sini. Guyub dan gayeng gitu deh 🙂

      Like

Tinggalkan jejak