Menimbang Dunia Tambang: Ancaman atau Harapan?

“Parahnya, ada orang yang berkampanye anti-tambang. Anehnya, mereka pakai motor. Kalau memang anti-tambang, mestinya pakai kuda.”

Begitu ujar Edi Priowasono sebagaimana dikutip Fafa Firdausi dalam tulisannya yang terhimpun dalam buku Buka-bukaan Dunia Tambang. Itu memang kalimat ironis yang segera menegaskan bahwa produk tambang memang perkara krusial sekaligus kontroversial. Dalam bahasa yang lebih gamblang, pertambangan kerap dicaci sementara produknya diam-diam dinikmati.

Antara Manfaat dan Mudarat

Diakui atau tidak, memori kolektif publik tentang dunia tambang lebih cenderung berupa sentimen negatif ketimbang proposisi yang positif. Selain ancaman kerusakan lingkungan yang masif, kesenjangan kesejahteraan ekonomi antara warga di sekitar situs pertambangan dan pekerja tambang juga menjadi gejala umum dalam sentimen tersebut.

Buka-bukaan Dunia Tambang (selanjutnya disingkat BbDT) terbitan Pastel Books ini memang terbilang unik. “Buka-bukaan” sendiri menyiratkan aktivitas membuka sesuatu secara blak-blakan sehingga orang lain dapat melihat, mendengar, atau menyaksikan hal yang selama ini tersembunyi atau dirahasiakan. Judul tersebut mendorong saya untuk mengajukan dua pertanyaan utama: pertama, rahasia apa yang akan dibuka; kedua, seberapa terbuka rahasia itu akan dibeberkan.

Tentu bukan tanpa sebab saya saya bertanya demikian. Buku ini merangkum puluhan cerita dari para peserta Sustainable Mining Bootcamp yang diadakan PT Newmont Nusa Tenggara (NTT). Seluruh penulis yang kebanyakan blogger dipilih dan diundang untuk mengunjungi situs tambang milik NNT di Kabupaten Sumbawa Barat selama sepekan. Undangan istimewa semacam itu bisa saja berimbas pada kaburnya objektivitas para peserta dalam menuturkan pengalaman mereka sesungguhnya. Boleh jadi mereka akan diarahkan untuk menuliskan hal-hal pesanan sponsor ketimbang kondisi riil di lapangan. Seperti ucapan teman Juwairiyah (hal. 117), “They will set the event so that you will see what they want you to see.”

BbDT-final.jpg

Untuk menemukan jawabannya, mau tak mau saya mesti membaca buku ini hingga tuntas. Pada lembar-lembar pertama rahasia mulai terkuak ketika M. Zacky S. menurunkan tulisan tentang detail proses pengeboran batuan hingga didapat mineral yang berharga. Selain itu, Zacky juga mengupas prosedur pembuangan limbah tailing dengan menggunakan sistem Deep Sea Tailing Placement (DSTP). Sistem ini sudah disetujui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan terus dipantau secara intensif. (Hal. 24-26).

Di luar hal teknis, PT NNT ternyata melakukan program pengembangan masyarakat yang didasarkan pada enam prinsip penting, yaitu: berkelanjutan, kemitraan, teknologi tepat guna, penggalangan dana, praktik terbaik, dan kontribusi masyarakat. Keenam prinsip tersebut dipusatkan guna mengembangkan sumber daya manusia terpadu. Tujuannya agar mereka siap menghadapi hidup dan pemanfaatan sumber daya alam bisa sejalan dengan perencanaan pembangunan bekelanjutan. Maka tak heran bila NNT juga menggarap lima nilai utama dalam pengembangan masyarakat. Nilai yang dimaksud mecakup kesehatan masyarakat, pengembangan pendidikan, pengembangan ekonomi, pengembangan usaha lokal, dan pembangunan infrastruktur. (Hal. 29-30)

Dari Bank Sampah Hingga Coconet

Bagi kita yang membaca, sangat mungkin kesan Zacky adalah rekayasa yang ingin ditampilkan lewat data belaka. Namun tulisan Harris Maulana berjudul Cita-cita, Tabungan, dan Ombak Pantai Maluk (62-66) mencatat hal yang menarik. Timnya sempat mengunjungi Bank Sampah Lakmus. Bank ini menampung sampah yang sudah ditentukan jenis dan harganya. Nasabah bisa langsung membawa pulang uang hasil penjualan sampahnya. Tapi ada pula nasabah yang memutuskan menyimpan uang di bank tersebut hingga saldonya mencapai 2 juta rupiah.

Harris juga mengunjungi Comdev Center yang dibangun PT NNT. Ia menyaksikan peternakan sapi yang bisa menghasilkan pupuk kompos dan biogas. Beberapa buah seperti jambu batu, buah naga, sirsak,dan anggur juga tumbuh subur di sini dan menawarkan potensi ekonomi. Di sini masyarakat diajari sejumlah teknik untuk mengakali tanah yang keras dan minim hujan.

Dalam tulisan lain, Daniel Mashudi memotret pengalamannya berkunjung ke tempat pembuatan jaring yang terbuat dari serabut kelapa alias coconet. Jaring hasil karya warga ini kemudian dipasok ke PT NNT untuk dipakai dalam upaya reklamasi lahan tambang. Tentu saja dibeli. Biasanya coconet didatangkan dari wilayah lain seperti Bogor. Potensi bahan baku di KSB memungkinkan untuk merangkai coconet sendiri dan lagi-lagi bernilai ekonomis. (Hal 67-68) Sayang sekali tidak ditampilkan foto bentuk dan ukuran coconet yang dimaksud.

Bermalam di Rumah Warga

Meskipun bertajuk mining bootcamp, para peserta rupanya tidak melulu tinggal di mess sekitar tambang. Mereka juga mendapat jatah tinggal di rumah warga untuk bisa langsung berinteraksi dan menggali respons serta kesan autentik mereka mengenai dampak keberadaan tambang NNT. Dari penuturan beberapa peserta, sepertinya ada perubahan tempat tinggal. Pada bootcamp edisi awal, mereka lebih banyak tinggal di mess dan hanya sebentar menyapa penduduk sehingga tak banyak terjadi interaksi. Sementara pada batch bootcamp berikutnya, peserta punya lebih banyak kesempatan bergaul di rumah warga yang rumahnya mereka tempati.

Juwairiyah, misalnya, sempat menangkap komentar negatif dari penduduk desa yang menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap pengelolaan alam oleh Newmont. Mereka bahkan menantang Newmont agar meminum air sungai di sebelah dam air asam tambang. Ada pula penduduk yang mengeluhkan soal pembuangan tailing. Padahal Newmont kerap menyabet penghargaan Proper Hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup dalam soal manajemen dan kontrol limbah.

Nah, salah satu problem sosial yang terungkap lewat Newmont Bootcamp ini adalah dorongan kuat warga lingkar untuk bisa bekerja dalam industri tambang ketimbang mengembangkan potensi lokal secara mandiri dan kesinambungan. Pada hemat saya, ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk meluruskan pola pikir yang keliru dalam memandang tambang yang tentu saja tidak terus ada. Jika masyarakat lingkar tambang sepenuhnya bergantung pada industri tambang, boleh jadi kemerosotan ekonomi akan terjadi saat tambang tidak lagi produktif.

Yang Plus dan yang Minus

Masih banyak kisah ‘rahasia’ yang dibocorkan oleh peserta bootcamp dalam buku ini. Seperti Dzulfikar Al-A’la yang merekam suasana religius di area tambang yang gersang dan tampak kapitalis belaka (hal. 55-58). Bahkan seremeh harga ban truk pun diceritakan Rahmasari Noor Hidayah. Tentu bukan truk biasa, sebab haul truck berukuran raksasa (panjang 9 m dan tinggi 7 m!) dengan harga ban 300 juta rupiah. Itu baru satu ban. Menariknya, ada pegawai perempuan yang mengemudikan mesin gigantic itu.

Yang kurang dari buku ini adalah kurangnya sajian foto-foto yang mendukung pengalaman langsung peserta. Memang ada beberapa foto berwarna seputar kegiatan peserta dan program NNT untuk penduduk lingkar. Hanya saja porsinya masih kurang. Untuk menekan agar buku tidak mahal bila ada tambahan foto berwarna, maka bisa diakali dengan foto hitam-putih seperti foto haul truck. Selain itu, sebagai konsekuensi logis dari buku yang dihimpun berdasarkan pengalaman peserta bootcamp berbagai batch, maka informasi yang tersaji kadang berulang. Untunglah, gaya tutur masing-masing blogger menyelamatkan ancaman kebosanan atau tumpang tindih data dan cerita.

Tulisan Barry Kusuma yang kondang sebagai travel blogger itu, meskipun tidak langsung berkaitan dengan dunia tambang, namun memberi warna dan jeda bagi pembaca untuk berfantasi tentang pesona pantai-pantai di Sumbawa. Hanya saja, sekali lagi sayang, tak ada satu pun foto pantai bidikannya yang memang selalu ciamik. Ketiadaan biodata penulis juga mengurangi kenikmatan saya saat membaca. Membaca karya tanpa kenal penulisnya ibarat makan tanpa garam.

Yang saya sesalkan dari buku ini adalah beberapa salah eja atau typo, terutama teks yang tertulis dalam bahasa Inggris. Pada halaman 116 misalnya terdapat kalimat berbunyi:

“We‘re never got the positive things from the bad things we‘re did. Because, you’re what you do NOT what you say you will do.”

Struktur yang tepat seharusnya: “We never got the positive things from the bad things we did. Because, you’re what you do NOT what you say you will do.” Kalimat ini menyimpan pesan yang sangat kuat tentang pentingnya berbuat. Mengingat ada dua editor yang menyunting buku ini, ditambah satu proofreader, mestinya kesalahan ini tak perlu terjadi.

Lebih dari itu, semua cerita yang dihimpun dalam buku BbDT ini tampil kompak dengan gaya dan data yang disajikan masing-masing. Setiap peserta mengambil sudut pandang berbeda walau sesekali beririsan dengan kisah peserta lain. Apalagi Unggul Sagena, Diah Setiawaty dan Fafa Firdausi menutup buku ini dengan keberhasil reklamasi  Teluk Buyat yang memicu kabar heboh pencemaran tahun 2004 silam. Bekas pit itu kini telah menjadi danau dengan hutan rimbun yang dihuni beberapa satwa (hal. 165-170). Catatan mereka membuat buku ini semakin solid.

buyat.png
Hasil reklamasi bekas tambang yang telah berubah menjadi danau dan hutan rimbun

Boleh dibilang BbDT adalah sebuah ikhtiar untuk menetralisasi anggapan-anggapan miring yang sering disematkan pada industri tambang. Untuk menjernihkan pemahaman kita agar lebih adil memandang dunia tambang yang selama ini hanya kita pantau ‘kebenarannya’ lewat media mainstream yang boleh jadi tidak berimbang. Bukan saatnya lagi menyalahkan pertambangan sebab “I am part of the demanding market.” (Murni Amalia – hal. 147) Kita juga menikmati komoditas itu sehari-hari, mulai dari ponsel, alat memasak hingga kendaraan.

Bukan What, tapi How

Pada akhirnya, persoalan tambang bukan lagi pertanyaan tentang what, melainkan how. Tidak lagi relevan mempertanyakan apakah pertambangan menjadi ancaman ataukah berkah sebab pada kenyataannya hidup kita tak bisa terpisah dari produk hasil galian bumi. Karena ia telah menjadi kebutuhan yang niscaya, isu yang lebih mendesak adalah menelisik bagaimana tambang harus dikelola dan diawasi agar terus menjunjung prinsip 3P yakni profit, people, dan planet (Diah Setiawaty – hal. 138).

Sebagai sebuah bisnis, tentu muaranya adalah keuntungan. Namun ambisi meraup untung harus tetap terkendali agar sebanyak-banyaknya memberi manfaat bagi manusia, terutama masyarakat lingkar tambang. Bila dua prinsip itu terpenuhi, syarat ketiga tak boleh dikesampingkan, yakni tetap terjaganya Bumi yang kita diami agar senantiasa lestari dan produktif hingga beratus tahun ke depan. Dengan demikian, alih-alih menjadi ladang konflik, pertambangan akan menjadi sumber ekonomi dan kesejahteraan yang prolifik.

Sebelum menghakimi bagaimana ihwal dunia tambang, lebih bijak membaca buku ini hingga tuntas. Selain tambah pengetahuan, juga sarat hiburan. Karena tema yang diangkat terbilang cukup langka dan disajikan dengan cerdas pula, maka BbDT layak dikoleksi. Semoga resensi buku ini bemanfaat. []

19 Comments

  1. “We never got the positive things from the bad things we did. Because, you’re what you do NOT what you say you will do.” –> suka sama kutipan ini 🙂 *meski struktur kalimatnya salah ya :d

    Like

  2. Memang dibutuhkan perhatian khusus ya soal pertambangan di Indonesia, semoga dari buku ini bisa menggerakkan para patriot penggerak lingkungan hidup dan masyarakat pada umumnya

    Like

  3. Dunia tambang itu dunia keras dan juga dunia uang. Dari hulu sampai hllir terbanjiri uang. Tapi yang dapat investor asing dan para pejabat pemegang izin dari tingkat atas sampai bawah. Sedangkan rakyat disekitarnya tetap berkekurangan dan keindahahan alam berubah menjadi petaka. Sudah banyak pulau pulau terpapas habis karna kerukan bolduzer lalu diangkut ratusan kapal setiap harinya yang masing masing bermuatan diatan 50.000 Matric town.
    Dunia tambang akan terus terkuasai oleh investor asing selama pejabat kita masih tidak memikirkan kemaslahatan rakyat Indonesia.
    Salam cring dari Deco

    Like

    1. Betul, Mas. Masalah pertambangan begitu kompleks dan tricky. Memang kalau bisa dikelola anak bangsa agar keuntungannya bisa optimal dimanfaatkan untuk kepentingan negeri ini. Tapi ya gimana lagi, sementara ini kondisinya memang banyak dikuasai asing. Kita tunggu langkah progresif pemerintah.

      Like

Tinggalkan jejak