Rumahnya tidak mewah. Tak banyak dekorasi eksterior. Hampir setiap hari saya melewatinya. Rumah di blok sebelah ini memang tampak biasa. Nomornya saya ingat 132. Kadang-kadang di teras terparkir sebuah kendaraan roda empat, kadang kosong. Jarang terlihat ada keriuhan atau kesibukan yang mengundang perhatian para pejalan.
Yang tak biasa adalah sebuah kotak yang kerap terletak di luar pagar rumah tersebut. Saya pikir cuma di hari Jumat, tapi ternyata di hari-hari lain pun ada kotak yang sama. Ini kotak bukan sembarang kotak. Kotak yang saya maksud adalah kardus air mineral yang berisi puluhan gelas air mineral. Tentu saja gelas plus airnya.
Saya belum pernah mengambil segelas pun. Hanya sempat terlihat seorang petugas keamanan, suatu siang, yang meraih segelas untuk diteguknya. Lagi-lagi, pemandangan seperti itu tidak terlalu menarik perhatian publik yang lalu lalang. Tapi tidak bagi saya. Sebab kebiasaan sang tuan rumah itu mengingatkan saya pada perilaku orang-orang Jawa pada masa lalu.
Di rumah-rumah zaman dahulu, para pejalan bisa singgah sejenak di rumah yang menyediakan kendi berisi air siap minum. Praktis, tinggal ambil, pegang lehernya, lalu teguk sesuai kebutuhan. Airnya segar karena beberapa lama disekap dalam gerabah mungil itu.

Remehkah?
Sungguh mulia sang pemilik rumah 132 itu. Disediakannya air minum untuk siapa pun yang haus. Bentuk sedekah yang membuat orang dahaga menjadi gembira. Tampak sederhana tapi begitu mewah bagi mereka yang diserang haus luar biasa. Tak ada rumah lain yang meniru tuan rumah ini, oleh karena itulah saya menulisnya. Dia spesial, tindakannya istimewa.
Namun tak jarang orang berseloroh, mungkin kita termasuk di dalamnya, “Ah, cuma kasih air minum gitu mah biasa aja kali. Berapa sih harga air mineral, kemasan gelas lagi. Aku mah ga level sedekah kayak gitu. Sepele banget. Remeh!”
Begitulah orang memandang perilaku orang lain. Kita terlalu banyak mencerca dan merasa tidak berkelas dengan memberikan kebaikan yang kecil sampai-sampai akhirnya tidak juga bersedekah. Sementara mereka berbuat sesuai kadar kemampuan, tanpa ditunda-tunda–tak peduli pendapat orang lain.
Misteri Uang Angin
Berbeda lagi dengan Pak Bedjo. Kisahnya saya dapatkan dari sebuah buku yang saya baca beberapa waktu lalu. Kisah nyata yang tidak pernah diliput oleh media–dan mungkin memang tidak perlu.
Pak Bedjo mengelola bengkel tambal ban dan tentu saja melayani jasa isi angin untuk ban yang kempes. Suatu kali penulis buku ini meminta tolong Pak Bedjo untuk mengecek sepeda milik anaknya yang sudah lama tak dipakai. Alih-alih harus ganti ban, ternyata sepeda itu cukup dipompa saja alias diisi angin.
Pak Bedjo mengisinya dan menerima uang jasa isi angin. Penulis terkejut saat uang 2.000 rupiah itu dimasukkan ke dalam kotak usang mirip kotak amal. Pada kesempatan berikutnya si penulis pun mengungkapkan keheranannya.
“Pak, kenapa uang isi angin kok dimasukkan ke kotak itu? Apa saya kasihnya kurang banyak?” tanya penulis merasa bersalah.
“Bukan, bukan. Kotak ini memang saya niatkan sebagai sedekah. Terlihat kecil tapi alhamdulillah udah bisa nyekolahin anak yatim.”
“Wah hebat, kalau gitu saya kasih lagi buat Bapak.” Penulis mengangsurkan uang agak banyak. “Biar sedekahnya tambah banyak!” sambungnya.
“Oh, tidak bisa begitu. Kalau uang sisanya ya tetap tercatat sebagai sedekah Bapak dong!” jawab Pak Bedjo ringan.
Begitulah, banyak kebaikan kecil yang lewat oleh perhatian kita. Tidak pernah kita perhatikan, apalagi kita teladani. Kadang kita sibuk berfantasi memberi donasi yang besar atau bergengsi tapi lupa bisa beraksi sesuai kemampuan diri.
Tak ada yang tahu bahwa perbuatan baik sederhana kelak akan menuntun pelakunya menuju surga. Dan begitu juga sebaliknya. Sudah berbuat baik apa hari ini, Kawan?
Kebaikan kecil tapi konsisten lebih baik ternyata.
Semoga kita selalu berbuat kebaikan.
LikeLike
Iya, Mas. Betul banget. Aaamiin.
LikeLike
dua tindakan kecil yang dampaknya begitu besar. 🙂
semoga makin banyak orang-orang yang seperti mereka.
LikeLike
Iya, Gung. Sederhana tapi kadang luput oleh kita sebab arogansi dan gengsi belaka. Semoga kita menjadi bagian di dalamnya.
LikeLike
Inspiratif mas. Kita seolah diajari secara halus
LikeLiked by 1 person
Begitulah, Mas. Menonjok kesadaran…
LikeLike
Inget di kampung dulu, ada beberapa rumah yg suka berbagi minum dengan kendi
LikeLike
Betul banget, Mas. Minum dari kendi sangat segar–apalagi disajikan dengan cuma-cuma di depan rumah saat dahaga. Cesss….
LikeLike
… Dia (atau mereka) spesial, tindakannya istimewa …
Ya betul sekali …
Ini tindakan sederhana … namun kita tidak pernah tau betapa bahagianya orang yang kehausan mendapatkan minum gratis …
bisa ditiru nih …
salam saya Kang
LikeLike
Iya, Om. Saya juga terinspirasi.
🙂
LikeLike
Terkadang kita sibuk mencari cara berbuat baik, padahal dengan cara yang sederhana seperti ini kebaikan nampak lebih bermakna ya Mas 😀
LikeLike
Betul, Mas Toro. Yang kecil kadang malah lebih bermanfaat tanpa kita sadari. Terima kasih.
LikeLike
Iya ya Pak, di Lamongan saya nggak pernah nemu lagi orang naruh kendi di depan rumah. Terakhir kali ngelihat kayaknya pas zaman masih ada becak kayuh dan mulai ada satu dua Bela.
LikeLike
nah di rumah neneku di jogja di pintu masuk dekat jalan selalu disediakan kendi isi air minum dan gelas, masih ingat kalau sedang berkunjung ke rumah nenek. setelah nenek dan kakek meninggal tak ada lagi kebiasaan itu
LikeLike
Sekarang udah langka banget, Mbak. Nyaris enggak ada kalu di tempat saya. Tapi sekarang makin banyak sih yang berbagi air atau nasi bungkus di berbagai kota.
LikeLike