Lelaki yang Berjalan Sangat Lamban

Selepas shalat Magrib, sehari setelah tiba di kampung, seseorang menghampiri saya saat bersalaman. “Kamu mau umrah?” Saya melirik dan menggeleng seraya menjabat tangannya.

Lelaki tua ini masih kerabat jauh dengan saya. Bila ditelusuri, saya dalam posisi harus memanggilnya ‘Mbah’. Ketemu dia mungkin hanya saat lebaran Iedul Fitri. Di masjid atau saat saya mengunjungi rumahnya. Dia memang ahli masjid, dalam arti sejak dulu rajin memenuhi panggilan shalat lima waktu. Baca Quran pun tekun.

Namun orang sekampung punya julukan baginya yakni sebagai pemakan tanah. Bukan gemar meraup gumpalan tanah lalu menyorongkan ke dalam mulut dan mengunyahnya. Namun lebih pada makna metafora. Selain sebagai abid, doi juga petani yang giat.

Namun ke-giat-annya itu agak kebablasan. Siapa pun yang punya sawah bersebelahan dengan sawahnya, hendaklah bersiap menanam kesabaran–atau meladeninya dalam konflik. Sawah milik keluarga kami, misalnya, terus berkurang luasnya lantaran dicaplok oleh tajamnya cangkul pak tua ini.

Bayangkan, kami masih terikat simpul keluarga, tapi beliau tega merampas jengkal demi jengkal tanah kami. Itu artinya berkurang hasil panen. Tapi keluhan itu tidak disulut menjadi konflik oleh ayah saya yang memang sabar sekali.

Pak tua ini sudah tahu dan sadar betul itu bukanlah tanahnya, tapi terus menggerogoti tanah kami atau milik orang lain. Anaknya yang lulusan universitas Islam pun tak kurang menasihatinya. Tapi ia terus dan terus melukai hati kami, para tetangga sawahnya.

Secara fisik dia memang tinggi, besar. Termasuk pengurus DKM yang (terpaksa) disegani. Orang tak berminat menentangnya sebab ia juga mantan seorang kepala dusun. Keluarganya terpandang. Intinya, ia serakah soal tanah.

Berpuluh tahun kemudian, malam itu, seorang lelaki tampak berjalan sangat perlahan di depan saya. Rupanya itulah dia. Melangkah sangat lamban dengan lemah. Jika saya mau, dia bisa roboh dan tersungkur dengan sekali tendangan berputar! Bukan, bukan lantaran saya jago karate atau ahli kungfu, tapi karena kondisinya yang semakin renta.

Mungkin sakit hati saya akan terpuaskan. Tapi tidak, dia tetaplah mbah (jauh) saya. Biarlah Tuhan yang mengurus ‘reward’ perilakunya di masa silam yang menyakitkan dan penuh kecongkakan. Hadis tentang kalung bumi tentulah sudah ia pahami. Atau pernah dibisikkan oleh sang putra.

Orang yang rajin beribadah tetapi tetap berbuat zalim atau maksiat berarti mengalami kemandekan spiritual. Begitu menurut yang saya baca. Boleh jadi kita termasuk di dalamnya. Kita pongah dan arogan saat ini karena merasa gagah, pandai, dan kaya. Tapi sampai kapan itu semua bertahan?

Suatu hari kita akan menjadi lelaki atau wanita yang berjalan terseok menuju sebuah tujuan. Atau malah tak diberi kesempatan bisa berjalan lagi. Jangan sampai, saat itu kita masih belum mempercepat jalan menuju pertobatan. Walau lamban, berjalanlah terus. Melangkahlah dalam upaya kebaikan, walau perlahan, sampai Dia sendiri yang menghentikan.

8 Comments

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s