Seorang Dokter Memuji Ayahku

Tadi malam, selepas Magrib, saya mengantar adik (Zee) periksa ke dokter. Sudah beberapa hari dia merasa tak enak badan. Bukan demam, melainkan pusing kepala dan rasa capai dan berat di sekujur badan. Khawatir kolesterolnya meningkat.

Dokter yang kami tuju tidak terlalu jauh. Lokasinya hanya melewati dua desa dari desa kami. Kira-kira 15 menit dengan berkendara motor. Apalagi lewat areal persawahan yang lengang, sehingga perjalanan antimacet unlike Brexit hehe.

Sesampai di tempat praktik, kami segera masuk ke ruang tunggu. Ada satu pasien sedang mengantre dan satu lagi sedang ditangani dokter. Dokter sedang mengkhitan seorang anak kelas 3 SD yang didampingi ayah dan kerabatnya. Sesekali dokter mondar-mandir dari ruang praktik  ke apotek untuk mengambil obat.

Selama menunggu, dokter menyapa dan mempersilakan kami duduk. Setelah 20 menit, tibalah giliran kami. Begitu masuk, dokter langsung mengenali kami sesaat kami menyebutkan desa tempat kami tinggal. Bukan mengenal wajah kami, melainkan dari latar belakang keluarga kami.

“Ayah Anda sungguh baik. Pokoknya luar biasa!” begitu ujarnya setelah tahu siapa ayah kami. Saya mengangguk gembira sedangkan Zee tersenyum setelah jarinya ditusuk jarum untuk tes kolesterol.

“Normal kok kolesterolnya. Dikasih neurotropik aja ya,” lalu dia meluncur ke apotek untuk mengambil vitamin yang dimaksud. “Sudah lama ya merantau?” tanyanya spontan saat kembali.

“Ya lumayan, Dok.” Saya jawab singkat.

“Dulu saya sering makan si rumah Anda loh Mas saat ayah Mas masih ada,” ujarnya kemudian. Saya mengangguk dalam ketakjuban. Ternyata benar dia begitu karib dengan ayah saya.

“Ayah Anda memang luar biasa. Bisa masuk di mana saja. Sebab dia paham, makanya enggak gampang menghakimi.” Dari koleksi majalah yang saya baca di ruang tunggu, memang pak dokter berbeda golongan dengan kami. Sama-sama Islam, tapi beda pilihan ormas.

“Apalagi Mas yang tinggal di kota. Tentu lebih banyak kelompok.” “Benar, Dok.” Bagi saya pribadi yang lama merantau dan bergaul dengan beragam orang dan komunitas, saya memang jadi lebih lenient menghadapi aneka kelompok atau organisasi. Mencoba memahami ketimbang menghakimi.

Selanjutnya, dokter kembali memuji ayah kami dengan apresiasi positif. Ini bukan kali pertama ayah kami disanjung-sanjung. Setiap kali bertemu orang yang mengenal ayah, testimoni positiflah yang selalu terucap dari mereka. Rata-rata pernah ditolong atau punya pengalaman mengesankan bersama ayah.

Selama perjalanan pulang, saya dan Zee terpekur. “Selalu begitu ya Mas komentar orang tentang ayah.” “Itulah PR kita, bisa tidak meneruskan kebaikan beliau di mana saja?!”

Kalimat terakhir itu seolah ditelan deru mesin motor dan lalu lalang kendaraan. Motor saya pacu menuju tukang nasi goreng yang telah menuntaskan pesanan tiga bungkus untuk anak dan keponakan yang sedang menanti di rumah.

3 Comments

    1. Iya, Mbak. Kadang kebaikan seseorang baru kita ketahui lewat kesan-kesan positif dari orang-orang yang pernah berhubungan langsung dengan beliau. Namanya harum, entah bagaimana dahulu berperilaku. Orang-orang yang dipanggil Allah lebih cepat boleh jadi merekalah orang baik seperti para ulama yang meninggal bersama ilmu mereka sebab mereka diselamatkan dari fitnah dunia yang kian parah. Semoga kita bisa meniru yang baik-baik ya, Mbak.

      Like

Tinggalkan jejak