Bagi seorang blogger atau seorang Internet marketer (Imer), koneksi Internet yang mumpuni tentu menjadi prioritas. Mumpuni di sini mencakup kecepatan, kestabilan, dan persebaran layanan penyedia jaringan. Bayangkan betapa repotnya seorang pelaku bisnis digital bila ia terus-menerus diliputi jaringan dengan koneksi yang menyedihkan. Terputusnya koneksi bisa berarti terputusnya arus rezeki. Sebab uang mengalir dari hasil transaksi secara online dengan beragam orang di mana saja.
Koneksi yang lambat dan sering terputus akan menjadi musuh siapa pun yang mendulang pundi-pundi uang lewat Internet. Dengan kata lain, mereka butuh koneksi yang cepat, bisa diandalkan, dan tidak putus-putus saat sedang menjalankan transaksi atau komunikasi. Terputusnya koneksi sekali lagi adalah bahaya yang mengancam.
Saya misalnya, saat menghadapi detik-detik tenggat lomba, akan sangat memerlukan koneksi Internet yang mumpuni agar gambar-gambar terunggah dengan lancar dan semua persyaratan panitia terpenuhi dengan tuntas. Pun saat harus mengunduh lampiran email dari pihak lain dengan ukuran file yang besar, tentu repot bila harus meluncur ke warnet menjelang dini hari.

Koneksi hati
Kita sepakat koneksi Internet semacam itu penting belaka bagi terpeliharanya aliran pemasukan untuk menyokong kehidupan sehari-hari. Bahkan bagi mereka yang bukan pelaku bisnis digital pun, koneksi yang andal diperlukan untuk mendukung eksistensi di dunia maya–terlebih di media dan jejaring sosial.
Nah, bagaimana bila saya sebutkan ada koneksi lain yang juga penting? Sebut saja koneksi yang terjadi dalam hati. Frasa ‘koneksi hati’ bisa dimaknai dalam dua tafsiran. Pertama, sinyal-sinyal yang menyatukan perasaan dua orang atau lebih karena alasan tertentu–mungkin cinta kepada pasangan, kasih sayang orang tua, rasa sayang sahabat, dan sebagainya. Kedua, koneksi hati juga bisa berarti ikatan yang menjalin dua entitas penting dalam sebuah relasi yang besar. Dalam hal ini, antara hati kita dan sumber keyakinan.
Koneksi jenis kedua ini kian langka di masa kini. Makin sulit kita temui orang-orang yang tetap berkomitmen terhadap keyakinan (baca: nilai-nilai kebaikan) saat mereka jauh dari rumah ibadah. Di tempat ibadah boleh jadi kita bisa khusyuk berdoa dan mengonsentrasikan hati pada Sang Pencipta sepenuhnya. Dalam majelis-majelis ilmu atau forum-forum pengetahuan mungkin kita mampu mencondongkan hati dan pikiran pada elemen-elemen kebaikan yang kita agungkan.
Namun bagaimana saat kita sudah merambah dunia yang mahaluas dengan berbagai karakter manusia dan godaan yang menggiurkan? Apakah kita masih sanggup mempertahankan koneksi agar tidak terputus dari keimanan sehingga kita berani bertindak yang bertentangan dengan orang lain dan menyebabkan kita menderita kerugian secara materi? Mampukah kita berdiri mantap tanpa goyah demi menjaga sinyal-sinyal rahmat meskipun itu berarti mengorbankan prestise, gengsi, dan nama baik?
Ketika koneksi terputus–bagaimana pun keadaannya, apa pun konteksnya–sungguh sangat berbahaya, meski bahaya itu tidak selalu bisa diendus dalam jangka pendek. Bisakah kita?