Pura-pura

Pura-pura berarti bukan sebenarnya. Pura-pura berarti keluar dari kungkungan sesuatu yang nyata menuju sesuatu atau kondisi yang dibuat seolah ada. Pura-pura adalah mengambil keputusan untuk menegasikan apa yang sudah ada, melawan dengan penyangkalan agar tercapai tujuan tertentu. Pura-pura berarti rekayasa.

Pura-pura yang positif

Pura-pura bisa didekati dengan dua cara–secara positif dan negatif. Pada pilihan pertama, kita biasanya bertindak sebagai manusia yang kuat dalam melawan hambatan-hambatan hidup yang ada. Para motivator atau inspirator kerap meminta kita untuk memvisualisakan diri sebagai pribadi yang berbeda dari kita. Bukan, bukan untuk melupakan identitas kita sebenarnya, tetapi untuk menciptakan kekuatan agar self-limiting belief atau rintangan yang tercipta dalam pikiran bisa terkikis oleh kepura-puraan itu. 

pretend
Gambar diambil dari Google

Misal, kepercayaan diri kita rendah, maka kita perlu mengambil inisiatif aktif untuk berpura-pura kita kuat sehingga keyakinan-keyakinan negatif yang merendahkan diri kita bisa tereliminasi. Ada banyak cara dan langkah bagaimana kita bisa mengubah diri kita menjadi pribadi yang bukan sebenarnya. Secara prinsip, kita masih orang yang sama, namun semangat untuk meninggalkan kelemahan itu membuat kita berbeda.

Kita berpura-pura seolah kita pembicara yang hebat saat melakukan presentasi produk atau jasa di depan calon klien. Kita berpura-pura cakap mengendalikan kemarahan terhadap emosi yang kerap meledak, misalnya. Kita berpura-pura punya kebiasaan positif agar kepura-puraan itu menjadi refleks dan membentuk kepribadian. Itu muaranya. Sebut saja ini “pura-pura” dalam tanda kutip. Merekayasa kekuatan diri dengan tujuan memperbaiki diri secara perlahan, dan bertahap.

Pura-pura yang negatif

Hari Senin kemarin saya mampir di sebuah masjid di bilangan Bogor Baru. Tak seperti biasa, ada beberapa bapak bercakap di serambi masjid tak jauh dari area parkir. Masjid menjelang jam 8 pagi biasanya sepi–paling marbot yang sesekali terlihat. Setelah rehat sejenak dan hendak pulang, saya melihat lebih banyak lagi jemaah yang datang.

Benar dugaan saya, iring-iringan jenazah muncul kemudian. Bapak-bapak yang berhimpun ternyata akan ikut menyalatkan jenazah. Setelah maju-mundur untuk ikut atau segera pulang, saya akhirnya turut dalam shalat. Teringat oleh iming-iming pahala sebesar dua gunung besar yang dulu disampaikan seorang ustaz. Sesederhana itu. Tergerak ikut bukan lantaran tersentuh oleh nasihat kematian. Padahal kematian adalah nasihat terbaik.

“Saya mah enggak…”

Saat Ramadan lalu, seorang ustaz menyindir betapa kematian selama ini belum menjadi sengatan kebaikan. Saat melihat kematian di sekitar kita, harusnya ia menggerakkan kita untuk semakin baik dan kian baik dalam berperilaku. Tapi tidak. Kini, saat ada kematian, kita–atau saya–sering berpura-pura seolah saya tak akan disinggahinya. “Ah, itu kan buat orang lain. Saya mah enggak,” demikian ujar ustaz malam itu.

Kita sadar bahwa pasti akan mati tetapi terus berpura-pura mengingkarinya. Betul ajal akan datang, tapi nanti, nanti, tidak saat ini. Kita tenggelam dalam kepuraa-puraan palsu sambil sibuk mengejar dunia. Mencari dunia boleh saja, tapi ada batasnya. Bangun tidur, ingat duit. Bagaimana cara cari uang yang cepat, yang banyak. Sore, siang, malam, kita curahkan untuk mengakumulasi kekayaan. Bukan berarti tak boleh kaya, tetapi membagi waktu secara pantas dengan menjadikan kematian sebagai nasihat dan batasan.

Pagi itu saya berpura-pura. Seolah-olah bisa hidup terus dengan debu dosa dan noda kesalahan yang terus menempel–terus terakumulasi dalam rapor amal. Kematian itu biasa, tapi bukan untuk saya. Orang lain saja. Waktu yang masih banyak ini harus diisi dengan kerja, kerja, dan usaha.

Orang bijak mengatakan:

Tak ada yang lebih berbahaya dari kematian identitas.

Berpura-pura seperti ini tidak produktif. Mengkhianati diri sendiri bahwa kita sejatinya adalah makhluk mortal. Kita punya batas-batas yang suatu saat pasti terlindas. Kita diciptakan pada ruang dan waktu yang suatu hari akan disapu. Kita makhluk dengan nurani, harus hidup menjunjung mata hati. Sampai kapan kita akan berpura-pura sehingga setiap tindakan kita hanyalah menyakiti?

16 Comments

  1. pura-pura yang baik,
    perlu dicoba yang ini barangkali terjadi beneran.

    kalau pura-pura lupa khawatirnya jadi lupa beneran 🙂
    salam kenal

    Like

  2. Termasuk hal yang aneh adalah di acara kematian, ketika yang lain shalat jenazah, atau duduk termenung, atau bahkan pas mengiringi penguburan jenazah, ada beberapa orang yang cerita sampai tertawa-tawa.

    Like

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s