Understanding your employee’s perspective can go a long way towards increasing productivity and happiness.
—Kathryn Minshew
KIRA-KIRA enam bulan lalu seorang teman mengundurkan diri dari sebuah perusahaan di Bogor. Sebut saja Selma. Selain sebagai pegawai di kantor tersebut, tentulah sehari-hari Selma disibukkan dengan urusan rumah tangga yang tiada habisnya. Apalagi putrinya yang belum genap setahun masih sangat membutuhkan perhatiannya secara intensif. Semula ia menggunakan jasa pembantu untuk merawat si anak selama ia bekerja di kantor. Semua berjalan biasa sampai suatu hari terjadi ‘ledakan’.
Saat anaknya sakit, tiba-tiba pembantu minta cuti pulang kampung. Walhasil, dia pun kelimpungan membagi tugas rumah dengan waktu kantor. Suatu hari dia terpaksa izin tidak masuk demi menjaga sang anak sampai pembantu kembali. Saat pembantu kembali, ia bisa masuk kerja lagi.

Berhenti dan mengundurkan diri
Namun kenyamanannya tak berlangsung lama. Pembantu ternyata minta berhenti agar bisa dekat dengan orangtuanya di kampung. Walau berat, permintaan itu dikabulkannya. Maka Selma harus izin cuti lagi suatu hari. Persoalan inilah yang menjadi pemicu pengunduran dirinya.
Saat masuk, Selma diminta menghadap direktur perusahaan. Menurut pendapat direktur baru yang konon tidak disukai banyak karyawan itu, Selma dianggap tidak produktif dengan izin tidak masuk dengan alasan yang dikemukakannya. Di sisi lain, Selma merasa tidak menyalahi aturan karena dia memanfaatkan jatah cuti dengan meminta izin kepada manajer yang membawahinya.
Singkat kata, direktur tersebut meminta Selma berhenti bekerja paling lambat bulan itu juga. Terbawa emosi, Selma akhirnya mengajukan pengunduran dirinya saat itu juga di depan direktur. Bisa diduga, tak ada kompensasi apa pun yang didapatnya selain rasa kesal tak terperi. Pembantunya berhenti, ia pun menyusul mengundurkan diri.
Perfeksionis atau misoginis?
Kasus yang menimpa Selma membuat saya teringat pada seorang manajer yang dulu menjadi atasan kami saat masih bekerja. Sebut saja Pak D. Pak D ini terkenal tidak ramah pada karyawan wanita. Saat ada yang meminta cuti haid yang dijamin UU, dia merasa rugi dan alot memberi izin. Begitu pula saat ada pegawai yang hamil, bisa dipastikan dia bakal sewot karena pegawai tersebut akan mengambil cuti.
Entah perfeksionis ataukah misoginis, Pak D ini memang menyebalkan–bahkan bagi karyawan pria sekalipun, sesekali. Saat pemberian bonus tahunan, sudah berkali-kali terbukti bahwa yang mendapat bonus cukup besar justru karyawan yang sering lembur. Pegawai yang mendaftar lembur malam padahal akhirnya malah main game di komputer anehnya justru diganjar bonus yang besar.
Berbeda bagi pekerja wanita, mereka jarang mendapat bonus yang lumayan. Sering terpaut jauh dari karyawan yang sering lembur. Di mata Pak D, lembur adalah tanda loyalitas. Kesediaan lembur menandakan bahwa seorang karyawan punya dedikasi pada pekerjaan meskipun tugas-tugas sebenarnya bisa diselesaikan tanpa lembur. Pengawasan memang buruk di perusahaan ini.

Saya mengenal beberapa pegawai wanita yang bisa menuntaskan beberapa proyek tanpa lembur. Mereka tak memandang pentingnya lembur sebab pekerjaan toh bisa dibereskan selama jam kerja. Selain itu, mereka masih punya tanggung jawab di rumah sebagai ibu rumah tangga. Konon Pak D dibesarkan jauh dari ibunya sehingga tindakannya kerap tidak empatik dan tidak ramah wanita. Dia beranggapan bahwa punya karyawan wanita tidaklah produktif. Sering cuti ini, cuti itu, izin itu izin ini, padahal itu semua dijamin perusahaan. Pak D lupa bahwa tampak sibuk tidak selalu berbanding lurus dengan produktif.
Produktivitas kaum wanita rendah?
Sobat pembaca, saya mengangkat cerita Selma untuk mengingat kembali tentang produktivitas kaum wanita. Benarkah anggapan direktur baru di atas dan Pak D bahwa kaum wanita tidak produktif? Apa betul pendapat mereka bahwa produktivitas wanita adalah rendah?
Mereka tentu kurang ‘piknik’. Kurang wawasan. Mereka tentu belum mengenal sosok Ratna Refida. Sarjana ekonomi dari Lombok ini berhasil menggerakkan penduduk setempat untuk bisa membangun rumah dan kandang. Lho kok kandang? Betul, memang kandang, sebab binatang yang dirawat dalam kandang itulah yang akan mencukupi kehidupan mereka. Kredit pembelian rumah dibagi menjadi dua: untuk bahan bangunana dan kerbau.
Konsep yang digagasnya tersebut berhasil membangun 32 rumah pertama di Menur, Lombok tahun 1996 di mana kerbau dan kambing akhirnya membantu warga untuk dapat melunasi utang mereka. Sebagai dampak positif, orang-orang miskin bisa memiliki rumah sendiri dan kerbau mereka menghasilkan 20.000 rupiah per hari dari membajak sawah. Orang-orang yang semula rendah diri karena miskin dan tidak berpenghasilan kemudian berdiri bangga dan optimistis lantaran punya rumah dan pendapatan kontinu. Apakah kita hendak mengatakan wanita itu tidak produktif?
Tahun 2000 Kiwanis Club dan Unicef menghelat diskusi panel di Jakarta dalam rangka peringatan Hari Kartini dengan mengangkat tema usaha mengoptimalkan produktivitas tenaga kerja wanita. Hadir sebagai salah satu panelis adalah sastrawan Eka Budianta. Menurut Eka, topik yang diangkat itu sangat bersifat seksis dan bisa dituduh “melecehkan” perempuan. Eka beralasan, semua orang sudah paham bahwa di dunia ini tidak ada yang lebih produktif dibanding kaum perempuan. Selain melahirkan, mereka juga membesarkan anak, kadang masih bekerja, mengelola usaha, hingga menjadi pemimpin komunitas. Intinya, mau dioptimalkan bagaimana lagi?
Masih banyak
Dua cerita di atas ditulis oleh Eka dalam bukunya Humanisme Bisnis. Masih banyak kisah tentang wanita yang menjadi tulang punggung keluarga atau menyokong kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan. Seperti Kiswanti, wanita kelahiran Bantul yang memberantas buta huruf dengan meminjamkan bukunya lewat sepeda kayuhnya. Mungkin di sekitar Anda ada manusia-manusia tangguh yang tak pernah dikenal media massa tapi terus berjuang untuk sesama.
Bila ada bos atau atasan yang bilang bahwa produktivitas wanita meragukan, mungkin dia sedang baper lantaran belum makan tiga permen milkita yang setara segelas susu. Padahal bila mau memahami cara pandang karyawan, maka produktivitas pegawai bisa didongkrak dan itu akan berkontribusi positif terhadap perusahaan. Tepat seperti ujaran Kathryn Minshew di awal tulisan ini.
wah senangnya baca nama senior saya, Mas Eka Budianta di sini! Saya suka puisi-puisinya.
Soal produktivitas, benar seperti Mas Eka katakan, mau dioptimalkan bagaimana lagi? Coba saja lelaki menempatkan diri di posisi sang wanita, ditanggung tidak ada yang bisa (melahirkan hanya privilege wanita loh hehehe).
Terima kasih untuk tulisan yang mendukung wanita ini mas…
Tabik
LikeLike
Saya juga penyuka puisi-puisi karya beliau, Mbak. Bahasanya sederhana, tapi isinya penuh perenungan. Satu kabupaten nih sama saya beliau hehe. Terima kasih sudah berkunjung 🙂
LikeLike
Yg bilang pekerja perempuan ga produktif coba suruh sehari aja tuker posisi ngerasain gmn hebohnya jd ibu rumah tangga sekaligus karyawan
LikeLike
Bukan aku kok, Mak yang bilang gitu. Cuma cerita ini hehehe. Memang capek pol jadi ibu plus kerja kantoran.
LikeLike
Menurut saya pakde kurang piknik dan tidak mengerti wanita..dan menurut saya dr pada ikut orang mending usaha sendiri ata freelance, yakinlah dgn skil dan kemampuan kita..
LikeLike
Iya, Mas. Bila punya barang atau jasa yang bagus, bisa coba berwirausaha. Memang harus sabar tapi bisa membesar dan hasilnya menjanjikan. Potensi ekonominya tinggi. Bisa menyerap tenaga kerja juga. Kalau belum ada modal, freelance bisa jadi pilihan sambil bekerja atau sama sekali lepas kerja.
LikeLike
Kayaknya tergantung orangnya, mas. Tapi wanita memang ada yang suka nyelesein tugas bejibun sekalian. Aku termasuk yang kayak gini. Jadi sehari selesai besok bisa leyeh2 *eh 😀
LikeLike
Betul. Intinya, wanita itu makhluk super. Ya kayak Ila ini yang job-nya banyak hehehe. Bisa merampungkan banyak tugas dalam waktu yang efisien.
LikeLike
Aku berteman baik ma Bu Kis, hehe.. betul mas, konon krn kromosom wanita itu X dan Y makanya dari sononya udah multi talenta. Sedangkan pria dibekali kromosom Y dan Y, makanya one on one job handlenya.. Kadang rg hany amelihat apa yang tampak di depan mata, tapi ga menyelidiki apa yg tersembunyi.
Nice sharing. Kapan tukeran share suatu tema? hehe
LikeLike
Oiya ya, sama-sama bergiat di bidang literasi ya. Memang begitulah adanya wanita. Sangat kuat sampai ada yang bikin meme bahwa wanita itu adalah lelaki besi (ironman) karena Female dibentuk dari fe + male. Super!
Soal bertukar tema, hayo aja. Silakan, gimana caranya. Aku ikut.
LikeLiked by 1 person
Wah – wah… Pak bosnya kok begitu ya Pak. Di bidang kerja saya banyak sekali pucuk pimpinan yang dipegang oleh perempuan. Sedihnya kalau masih berpikiran seperti itu…
LikeLike
Ya, begitu deh, Mas. Istri saya dulu juga terkena imbas sikapnya yang seksis itu. Alhamdulillah sekarang sudah berhenti. Sekarang mah perempuan sudah memegang banyak peran penting di masyarakat–sudah banyak berguna.
LikeLike
saya malah salut dan hormat pada wanita yang bisa membagi waktu antara bekerja di kantor dan mengurus rumah, soalnya gak kebayang capeknya bagaimana… 🙂
LikeLike
Iya, Gung. Sama. Mereka hebat bisa bagi waktu dan pikiran untuk pekerjaan dan rumah tangga. Aku yang sehari-hari tahu betul gimana banyaknya pekerjaan rumah. Tak ada habisnya….
LikeLike
Saya salut pada wanita .. terbukti buanyak banget yang produktif menulis catatan di blog.
LikeLike
Iya, Mas. Sama. Selain jadi bloger aktif, tak sedikit pula kaum hawa yang sukses menulis buku dan jadi pembicara. Salut!
LikeLike
Wah…seneng dishare cerita tentang ini, kalau ada yg bilang gitu tak pentongi pake sol sepatu, wakakaka…
Bukan pembelaan sih, Om Belalang…just sharing, saya pribadi lebih belajar management waktu selesaikan kerjaan tepat waktu karena sadar kerjaan ga cuma di kantor. Masalah produktifitas bisa dilihatlah..wong absent gara2 sakit saja boss kirim laptop ke rumah 😅😅😅 demi apa coba?
Padahal di rumah meski sakit ngurus anak tetep jalan.
Absensi tidak bisa diukur dari absensi apalagi kalau selama ini semua kerjaan beres.
LikeLiked by 1 person
Maksudnya produktifitas tidak bisa diukur dr absensi.
LikeLike
Betul sekali, Mbak. Kerap hadir kalau cuma main mah buat apa. Lebih baik efisien bekerja sesuai beban kerja.
LikeLike
Memang begitu adanya ya Mbak. Produktivitas wanita memang sudah dari sononya. Meski secara umum fisiknya dianggap lebih lemah dibandingkan kaum pria, namun banyak wanita yang jauh lebih kuat, baik fisik maupun pikirannya.
LikeLike
pas banget lagi nulis keseharian saya sebagai ibu rumah tangga dan pekerja kantor, *promo deh. alhamdulillah selama ini produktivitas bisa baik, meskipun tidak sempurna.
LikeLiked by 1 person
Hebat deh Mbak Rina masih bisa ngeblog dan menulis buku padahal masih kerja kantoran. Plus masih jadi ibu rumah tangga. Top! Semoga selalu lancar ya, Mbak.
LikeLike
Saya baca serius sekali sambil manggut-manggut tetapi semua itu berubah ketika iklan milkita itu terbaca mata 😓
LikeLike
Hmm, semacam jebakan betmen? 😁
LikeLike
Itu memang buat ngingetin biar kita sehat, hehe.
LikeLike
jadi working mom itu multitasking, Kadang kalo lagi error yah ada aja yg kebalik-balik he he..*lhoh curhat*
LikeLike
Benar sekali, mengerjakan banyak hal butuh konsentrasi dan stamina powerful. Salut!
LikeLike
Pak D kaya inisial bosku yg dulu, tipikalnya sama lg. Dan, ada jg tmenku org bogor yg dipaksa resign krn cuti kelamaan. Jangan2 P’D yg sama haha…
LikeLike
Jangan-jangan sama nih orangnya. Apa teman Mbak Rina juga kerja di Bogor?
LikeLike
iya orang Bogor, kantor pusatnya juga di bogor…
LikeLike
Dari ceritanya, ibu bekerja di kantor yg dianggap kurang produktif. Padahal ya ada sisi lain perempuan bisa sangat produktif. Nice sharing Pak…
LikeLike
Betul, Mbak. Nyatanya wanita bisa jauh lebih produktif dibanding persepsi bos lelaki atau orang kebanyakan.
LikeLike
Halo Mas Rudi, saya kebetulan seorang wanita yang masih bekerja di kantoran sampai saat ini dan betul menurut saya, mengapa harus lembur jika semua pekerjaan bisa dikerjakan saat itu juga, yang terpenting adalah efisiensi waktu tapi perlu Mas Rudi ketahui, ada juga wanita yang memang dari sana MUNGKIN memiliki kelainan kromosom sehingga semua pekerjaan tidak bisa dikerjakan dalam jam kerja yang seharusnya sehingga harus lembur setiap hari. Jadi sepertinya ini tidak bisa disamaratakan semua wanita seperti itu, tergantung personalnya masing-masing. Tapiii.. terima kasih atas tulisannya Mas, mewakili perasaan kami yang gondok karena kami bekerja serius walau tanpa uang lembur, sementara yang kerjanya leha-leha malah bisa dapat uang lembur yang lumayan buat isi bensin, hehehe.
LikeLike
Bingung mau koment apa.. karena kalo dilihat dari job des nya, justru wanita lebih produktif
LikeLike