BLOGER KINI bukan lagi kegiatan sampingan yang dilakukan di sela-sela pekerjaan utama. Seiring perkembangan dunia teknologi dan informasi, ranah bisnis pun turut memanfaatkan lompatan ini untuk mempercepat kemajuan usaha. Biaya pemasaran bisa ditekan berkat inovasi dunia digital yang bergerak dengan pesat. Ongkos promosi bisa dihemat lantaran Internet menawarkan banyak manfaat—setidak-tidaknya dibandingkan media promosi kovensional seperti surat kabar dan baliho yang besar biayanya.
Meski relatif irit, jangan kesampingkan dampak yang bisa dijangkau. Setiap tangan sekarang hampir selalu ‘menggenggam’ dunia lewat ponsel pintar mereka. Internet mendorong kehidupan menjadi serbadigital dan memungkinkan diaksesnya himpunan informasi di mana saja, kapan saja—dengan paket data yang juga relatif terjangkau.
Dari semua gejala progresif itu, bloger ikut menangguk untung yang positif. Jika mereka dahulu hanya menulis catatan pribadi, diari, dan jurnal keseharian yang bernilai kepuasan hati, kini olah tulis mereka bisa diubah menjadi profesi. Cerita-cerita mereka bisa dijual (seperti Raditya Dika), pengalaman mereka bisa diuangkan, keterampilan mengolah kata ternyata mampu mendatangkan rezeki.
Tak ada yang salah dengan fenomena ini. Asal caranya benar, saya doakan semoga lancar. Selama prosesnya betul, saya doakan agar dapur terus berkepul. Saya pribadi merasakan banyak manfaat dari kegiatan ngeblog. Selain kepuasan hati bertukar informasi dan keasyikan menambah jaringan pertemanan, ada pula cipratan rezeki—entah dari lomba atau job review yang cukup sepi, haha. Tapi itu tetap disyukuri sebab Belalang Cerewet masih rutin menyapa pembaca minimal sekali dalam sepekan. Kalau sempat.
Meski sudah menurunkan tulisan tentang Hari Bloger Nasional yang diperingati tahun 27 Oktober kemarin, masih ada unek-unek yang perlu saya catat di sini sebagai peringatan pribadi. Sejujurnya, saya tak terlalu percaya diri setiap post dalam blog ini akan memikat hati calon pembaca. Maka catatan ini akan saya tujukan untuk diri sendiri—saya bisikkan di telinga sendiri.
Sepuluh hal berikut mencerminkan pengalaman dan concern saya dalam blogging. Semacam daftar sentilan untuk diri sendiri, kadang menoleh ke belakang, atau menatap ke depan dengan ancang-ancang yang lebih mapan. Sepuluh hal ini saya dedah dari tema daily post yang rutin dikirim oleh tim WordPress. Selain Original yang digagas oleh ben Huberman, sembilan tema lainnya dilempar oleh Cheri Lucas Rowlands. Terima kasih, Ben dan Cheri, tema pancingan kalian bisa digabungkan jadi satu postingan.
1. Original
Beberapa waktu lalu seorang kawan di Facebook membagikan sebuah rekaman video dari Youtube. Saya spontan tertarik mengomentarinya sebab saya pernah menyaksikan video tersebut. Yang membuat saya heran adalah video tersebut diunggah oleh akun berbeda dengan caption yang sama sekali berbeda. Saat saya kroscek kepada kawan tersebut, dia tak tahu. Yang saya sesalkan bukan tindakan teman tersebut, melainkan pengunggah video di Youtube tanpa menyebutkan sumber asalnya.
Miris betul saya terhadap maraknya penyebaran content baik teks maupun video tanpa menghargai sumber yang otentik. Tak menganggap pentingnya originalitas. Saya pribadi berpendapat bahwa sumber sangatlah krusial. Isi ditentukan oleh sumber, sebab sangat mungkin isinya merupakan olah rekayasa belaka—apalagi bila berkaitan berita politik atau hal-hal yang sensitif seperti SARA.
Saya pernah memergoki seorang teman di FB yang begitu enteng memasang catatan Cak Nun di statusnya tanpa menyebutkan itu tulisan beliau. Itu terjadi beberapa kali, jadi seperti ada unsur kesengajaan agar statusnya dibanjiri like atau dikagumi. Saya peringatkan langsung agar mencantumkan sumber tulisan. Dan akhirnya dia mengaku.
Dalam dunia blogging pun tak jauh berbeda. Banyak tulisan kawan narablog yang diplagiat membabi buta tanpa disebutkan sumber aslinya. Originalitas rupanya tidak terlalu diindahkan, padahal itu bentuk perilaku jujur paling mudah. Isu originalitas menjadi cambuk juga buat saya agar dalam menulis post tetap menjunjung keaslian meskipun itu sangat personal. Berusaha menulis dengan gaya yang paling nyaman, dengan materi yang dikuasai—meskipun berpotensi tidak menarik. Berusaha memuat referensi tulisan demi menjaga kredibilitas blog.
2. Trust
Kepercayaan adalah mutlak dalam dunia menulis, tak terkecuali dalam blogging. Saya menimbang betul-betul apakah tulisan yang saya unggah punya bobot yang bisa dipercaya dan bisa dipertanggungjawabkan. Trust memang bisa direkayasa meskipun suatu hari bisa terkuak dan bisa sangat menyakitkan.
Bagaimana membangun blog dengan content yang kredibel tentu tidak mudah. Selain harus didukung oleh kemampuan mumpuni, cara menyampaikannya pun harus meyakinkan. Tak jarang saya menghapus tulisan di Draft meskipun hampir selesai lantaran khawatir tak bisa mempertanggungjawabkan isinya—terutama di hadapan Tuhan kelak.
3. Urgent
Urgen di sini bisa berarti dua hal: kadar penting suatu hal dan mendesaknya suatu post. Saya tak bisa gegabah mengunggah apa saja demi meraup page view semata. Harus ada seleksi tema untuk diangkat atau dibabat. Kalau tidak urgen, tak perlulah saya menulis tema itu. Poin kedua, saya perlu memacu agar bisa menulis dengan cepat tetapi tepat. Ini terutama untuk post yang sudah punya bahan-bahan memadai, misalnya dari suatu acara (walaupun gratis) atau pesanan sponsor berupa apa pun. Ya sebagai bentuk komitmen untuk menghargai kemudahan yang diberikan. Sense of urgency menjadi panduan tentang apa dan kapan sesuatu harus dimuat di blog.
4. Waiting
Dalam tulisan saya sebelumnya, saya bercerita tentang seorang lelaki paruh baya yang tertidur lelap di ujung gerbong kereta yang saya tumpangi. Dengan pakaian lusuh yang berbeda dari kebanyakan penumpang, tak ayal saya tergoda mengamatinya. Hanya sekali dia terjaga, lalu lelap kembali dalam kantuk yang sangat berat. Bekal dan bawaannya juga tak lazim yang segera mendorong saya bertanya: ke manakah dia hendak pergi? Dari mana dia berangkat? Adakah yang menunggunya? Yang akan menyambutnya dengan gegap gempita kegembiraan? Atau nestapa?
Pun dalam blogging, di antara jutaan bloger di jagad maya, ke manakah blog ini akan diarahkan? Atas dasar apakah blog ini dibangun? Dengan niat apa blog ini berangkat? Adakah pembaca yang sungguh-sungguh menanti setiap pembaruan tulisan? Bisakah saya menampilkan content yang bermanfaat sehingga ditunggu? Dan layak disebarkan?
5. Tiny
Di jagad blogosphere, saya yakin kita bukanlah satu-satunya bloger yang dikenal dunia. Atau malah blog kita hanya setitik noktah di jaringan raksasa dunia maya. Dari berjuta-juta bloger di seluruh dunia, pastilah ada bloger yang hebat, yang kuat dalam materi, yang dahsyat dalam dampak, yang mumpuni dalam profesi. Kesadaran ini membuat saya untuk tidak merasa di atas angin sebab banyak sekali narablog yang jauh lebih bagus dan layak menjadi sumber pembelajaran.
Kita ini sesungguhnya sangat kecil, sangat lemah, sangat bergantung pada kemampuan dan kemurahan orang lain. Jangan merasa pongah dan sombong atas apa yang dipunya. Status dan posisi yang kita capai sekarang adalah berkat bantuan orang, tidak semata-mata kehebatan usaha kita sendiri.
Ingat tidak kisah pemain biola yang satu menitnya dibayar seribu dolar? Dia akhirnya sadar bahwa bayaran mahal itu bukan semata-mata lantaran kepiawaian gesekan biolanya, melainkan karena partisipasi banyak orang yang mendukung kehadirannya: para penjual tiket konser, penyapu lantai, penggelar karpet hall, dan tentu saja para pengunjung yang membayar mahal.
Saat dia bermain di sebuah stasiun kereta tanpa promosi dan identitas, tak satu pun orang rela menjadi penontonnya. Penumpang lalu lalang tiada yang memperhatikan bahwa dia violis hebat. Tak seorang pun berhenti untuk mengukuhkan permainannya yang selalu dibayar mahal. Dia hanya noktah kecil—sama seperti pengamen jalanan yang lain jika hadir tanpa dukungan pihak lain. Kita ini kecil, bahkan sangat kecil di gugusan semesta, maka bantuan orang lain itu hal yang niscaya.
6. Millions
Millions di sini saya tafsirkan sebagai nominal uang. Nah, dengan begitu banyak bloger di seluruh dunia, persaingan mendapat trafik pengunjung tentu sangat ketat—termasuk kompetisi untuk memperoleh pundi-pundi rezeki dari blog. Untuk menghasilkan uang dari blog, perlu strategi dan kiat yang bisa dipelajari.
Selain membaca banyak karya bloger terkenal, saya pun berusaha meningkatkan kemampuan menulis dengan terus meng-update blog ini. Untuk meraup untung kita harus bertarung. Harus ada usaha secara sengaja untuk maju.
7. Volunteer
Uang jelas hal yang penting sejak ia ditemukan—apalagi di zaman serbamahal sekarang. Namun penting bukan berarti uang adalah segalanya. Memetik rezeki dari blog tentu sangat gurih, tapi tentu bukan itu saja yang saya incar. Saya manfaatkan pula untuk menuliskan kisah-kisah menjadi relawan, misalnya di Komunitas Berbagi Nasi Bogor yang beberapa kali saya tampilkan di sini.
Menjadi volunteer tidak hanya mengundang pahala (semoga), tetapi jelas membuat hati gembira—menyegarkan semangat lagi untuk menjalani hidup sebab ternyata masih ada orang lain yang hidup terbatas dibandingkan saya. Selain menumbuhkan rasa syukur, kegiatan sukarela bisa menjadi bahan tulisan—plus menarik rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan itu sudah sering terbukti.
8. Artificial
Kamus mendefinisikan artifisial sebagai tidak alami atau buatan. Saya paham bahwa sebuah tulisan di blog tentu tidak lahir seperti seribu candi yang bisa dituntaskan dalam satu malam. Butuh proses dan pengolahan agar bahan-bahan tersaji menjadi tulisan yang menarik, menghibur, dan syukur-syukur menghadirkan manfaat. Saat mendengar kata artifisial, yang terbayang di benak adalah tindakan rekayasa pada hal-hal yang tidak kita kuasai sebenarnya.
Mengutip tentu sangat sah, tapi berkomentar layaknya ahli tentu berbeda makna. Ini mungkin bisa dikaitkan dengan poin pertama, yakni bagaimana bersikap otentik dalam menulis dan menghargai kejujuran—dalam batas-batas yang kita yakini. Artifisial boleh jadi berkaitan dengan pencitraan lewat blog padahal berbeda dengan kenyataan.
Artinya menceritakan hal-hal bertentangan demi meraup kesan belaka. Branding tentu berbeda dengan pencitraan semata, karena branding punya proses yang rumit dan tetap menjunjung originalitas sebagai nilai plus.
9. Transformation
Di usia blog yang menginjak usia kelima ini, sudah selayaknya saya memikirkan soal transformasi. Oh tidak, bahkan berapa pun usia blog, harusnya perubahan menjadi isu yang krusial. Transformasi di sini tidak melulu berarti hal-hal besar dan megah. Yang penting mengadakan perubahan secara sengaja. Perubahan positif tentu saja. Bila dulu seminggu satu post, kini berubah agar bisa menulis dua post.
Dulu ogah ngurusin SEO, sudah sewajarnya sekarang mulai belajar—walaupun malas, hehe. Jika sebelumnya tulisan masih acakadut, kini saatnya bertekad untuk memperbaiki kualitas tulisan, dan begitu seterusnya. Termasuk transformasi adalah mewujudkan delapan poin di atas secara konsisten dan kontinu.
10. Rearrange
Yang tersesat bisa kembali, yang terlanjur bisa diperbaiki. Harapan saya seperti itu. Semangat transformasi tadi bisa menjadi momentum untuk melakukan penilaian ulang atas blog kita, tentang niat dan motivasi, tentang tujuan dan aspirasi ke depan dalam dunia blogging. Tak ada kata terlambat untuk berubah menjadi positif dan lebih baik karena selalu ada kesempatan untuk mengatur kembali arah dan menggerakkan layar dengan angin yang tepat—yang sesuai nurani dan potensi.
Tak perlu didikte oleh orang lain hanya karena terkesan keren atau kayaknya menghasilkan lebih banyak. Tidak terlalu mendesak gonta-ganti ini dan itu atas dorongan impulsif belaka padahal nyatanya tidak kita butuhkan. Lakukan yang terbaik sesuai kondisi yang menuntutnya. Bila tak sesuai, berubah haluan tak ada salahnya. Apalagi bila arah baru menjanjikan harapan dan lebih banyak peluang—meskipun sepi peminat pada masa sekarang.
Inilah 10 hal yang saya rasa krusial untuk dipikirkan di Hari Bloger Nasional. Nah, apa makna blog bagi sobat pembaca? Selamat berakhir pekan.
pertama…
kedua….
ketiga…
……..
kesepuluh….
LikeLike
Maaf, Kang. Kok kosong. Sekarang udah saya perbarui Kang. Tadi Internet error.
LikeLike
Memang sebaiknya mengutip sesuatu itu harus disebutkan sumbernya. Itu menandakan kita menghargai orang lain. Bagi saya sih tak menyebutkan sumber yang dikutip sudah menunjukkan itikad tak baik. Itikad tak baik gimana orang mau percaya.
Mari menulis dengan jujur.
LikeLike
Iya, Mas. Tidak menyebutkan sumber ibarat tidak mau mengikutkan peran orang lain. Menulis dengan jujur memang tidak mudah–butuh keberanian. Saya pun berusaha.
LikeLike
Ternyata ada hari blogger ya.
Bagaimana pembinaan para bloger ya
LikeLike
Iya, Mas. Hanya komunitas saja yang bergerak. Secara nasional tak ada pembinaan dari pemerintah. Masing-masing bloger bergerak mengembangkan diri. Terima kasih.
LikeLike
Keren Mas. Setuju dengan 10 hal yang mas utarakan di sinj. Termasuk masalah branding. Bukan masalah apa yg dikoar2kan semata tapi yg memang dirasakan orang terhadapnya.
LikeLike
Saya juga setuju dengan komentar Mas Ryan. 😀
LikeLiked by 1 person
sangat adem dibaca, nasihat untuk saya
LikeLike
Nasihat untuk saya juga, Mbak. Terima kasih sudah mampir. 🙂
LikeLike
Suka banget sama ini:
“Yang tersesat bisa kembali, yang terlanjur bisa diperbaiki. Harapan saya seperti itu. Semangat transformasi tadi bisa menjadi momentum untuk melakukan penilaian ulang atas blog kita, tentang niat dan motivasi, tentang tujuan dan aspirasi ke depan dalam dunia blogging. Tak ada kata terlambat untuk berubah menjadi positif dan lebih baik karena selalu ada kesempatan untuk mengatur kembali arah dan menggerakkan layar dengan angin yang tepat—yang sesuai nurani dan potensi!”
2 kata kunci, nurani dan potensi!
Yuk, semangat!
LikeLike
Terima kasih sudah mampir, Mbak Rosanna 🙂
LikeLike
Huaaaa mas rudi ancen top..
Pas bgt ini…
Duh apalah aku yg masih newbie inj
LikeLike
Sama, Mbak. Aku juga masih belajar kok.
LikeLike