AGUSTUS DAN SEPTEMBER menjadi bulan yang menggembirakan bagi keluarga besar kami. Penantian ibu selama tujuh tahun untuk pergi ke Mekah akhirnya tuntas sudah. Sejak awal Agustus hingga pertengahan September ibu menjalankan ibdah haji dengan khusyuk, memenuhi undangan Allah, bertamasya batin setelah selama ini melayani kami dengan memasak dan sebagainya.
Saat ibu tiba, betapa air mata tak bisa disembunyikan. Rasa haru menyeruak. Kerinduan membuncah diiringi puja puji dan doa-doa semoga beliau mabrur dan kami bisa menyusul ke Tanah Suci. Kegembiraan berlanjut dari cerita-cerita yang beliau tuturkan saat tamu-tamu berdatangan.
Di tengah kemeriahan dan kegembiraan di desa kami, tiba-tiba muncul hal-hal yang mengusik hatiku. Tiga hal yang mau tak mau harus kutulis di sini sebagai catatan dan pengingat atas diriku sendiri. Semua bermula dari nama ibu yang perlahan-lahan hilang.
Ibu kehilangan namanya
Bagaimana mungkin nama bisa pupus? BBC Mania mungkin paham maksud saya. Ketika seseorang pulang dari Mekah selepas menunaikan ibadah haji, di kampung-kampung lazim terjadi para warga memanggil tamu Allah itu dengan gelar haji atau hajah. Ini sama sekali tidak salah, hanya saja kurasakan sedikit mengganggu.
Di desa kami ibu selama ini dikenal sebagai mantan ibu sekdes karena mendiang ayah dahulu adalah seorang sekretaris desa, atau Carik pada istilah kunonya. Jadilah ibu lebih populer dipanggil Bu Carik selama puluhan tahun meskipun sekdes baru sudah terpilih menggantikan ayah. Sebutan itu kurasakan sangat hangat, intimate, dan menunjukkan kedekatan khas kampung.
Kini ibu lebih kerap dipanggil ‘Bu Kaji’ ketimbang Bu Carik. Ibu jadi seperti ibu-ibu lain yang juga pernah menunaikan haji dan kini seragam dipanggil Bu Kaji atau Yu Kaji. Saya membayangkan jika separuh warga kampung nanti bisa berhaji lalu berkumpul di suatu acara, entah bagaimana ribetnya ketika harus memanggil satu sama lain dengan panggilan yang sama. Bu Kaji, Bu Kaji, Bu Kaji…. tapi masing-masing kebingungan siapa yang dimaksud.
Sekali lagi, panggilan mungkin bukan soal serius–tapi jelas mengusik pikiranku. Toh ada yang lebih esensial ketimbang sebutan an sich kan? Malah tak jarang ada yang naik darah tatkala orang lain absen atau lupa memanggilnya dengan gelar haji. Di manakah esensinya?
Nasi terbuang
Lazimnya menyambut tamu di kampung, kami mengadakan semacam open house di mana orang bebas datang untuk memberi selamat kepada ibu dan meminta didoakan. Berkunjung bukan cuma berkunjung, sebab selalu ada makan besar yang disajikan. Para tamu yang masuk dan duduk segera dijamu dengan sepiring nasi dan lauk pauk plus air minum.
Betapa miris melihat orang-orang tidak menghabiskan makanan mereka. Dengan dalih menghormati tuan rumah, mereka memilih menyendok satu suapan lalu memutuskan menghentikan makan. Kerupuk masih utuh tapi sudah tersiram kuah bumbu. Daging potong masih utuh, dan segera menjadi makanan sisa tanpa ada yang mau menghabiskannya.
Sewaktu istri saya membawa piring-piring bekas pengunjung, ia memberi kode padaku tentang nasi yang masih menggunung beserta lauk yang hampir utuh. Aku mendesah, prihatin. Ia sempat berbicara dengan salah satu budhe tentang daging yang masih utuh itu. Kata budhe, biarlah itu masuk ke dalam kantong plastik dan menjadi sampah. Nanti mungkin akan dijadikan sebagai pakan ternak, atau racun tikus di sawah.
Persoalan makanan sisa ini pernah pula disinggung Pakde Cholik, bloger senior asal Jombang. Konon sejumlah tamu di daerahnya juga menyisakan makanan dengan alasan malu. Lucu bin wagu. Justru harus malu bila tak menghabiskan makanan lantara itu tanda tak bersyukur.
Saya jadi teringat sebuah potongan cerita di media sosial. Entah benar atau tidak, tapi intinya sangat relevan saya bahas. Suatu ketika, pengunjung restoran memesan banyak makanan tapi tidak dihabiskan. Sewaktu akan meninggalkan rumah makan, ia terpaksa didenda oleh pihak resto. “Loh, saya kan bayar semua itu makanan. Terserah saya dong mau habisin atau enggak!” begitu kira-kira protesnya.
“Iya, betul. Semua makanan memang sudah Anda bayar. Tapi dengan tidak menghabiskan makanan yang Anda pesan, Anda berarti telah menyia-nyiakan sumber daya alam yang jumlahnya terbatas. Dan untuk itu Anda harus didenda.
Menanti air
Beberapa waktu lalu beberapa daerah di Indonesia sempat dilanda kekeringan. Paling tidak itu yang terpantau di media massa. Sahabat saya yang tinggal di Bogor bahkan harus datang mengantre air bersih di kantor PDAM lantaran pasokan air langka. Di Bandung pun tak berbeda–seperti yang saya baca dari status seorang teman di akun Facebok.
Sementara di Lamongan, kota tempat kami tinggal, alhamdulillah air masih cukup. Jangan tanya soal hujan, begitu jarang dan kalaupun singgah, ia biasanya berlangsung sangat sangat singkat. Panas masih bertahan di pori-pori. Gerah semakin menggejala. Terbayanglah udara sejuk Bogor kalau sudah begini.
Rumah kami belum mendapat jatah pemasangan air PDAM, namun alhamdulillah pasokan air tanah masih lebih dari cukup meskipun airnya mengandung garam yang adang lengket di badan dan menempel awet di pakaian. Itu bukan soal berarti sebab air bersih masih mencukupi.
Inilah yang membuatku gusar ketika air dibuang-buang, entah dalam bentuk air bersih atau air minum dalam kemasan. Di banyak acara orang begitu bersemangat mencoblos gelas air namun enggan menghabiskan. Kadang malah memilih gelas baru. My goodness, sungguh memprihatinkan! Lantaran tak perlu beli dan persediaan air seolah begitu berlimpah, kita kerap tergoda menghambur-hamburkannya.
Ingatlah, di banyak negara dan kota, air bersih begitu sulit didapat. Di suatu daerah ujung Indonesia, seperti yang kubaca di surat kabar, warganya harus berjalan puluhan kilo demi mendapatkan akses air bersih dari tandon yang kadang macet mesinnya. Jalanan masih sulit dilalui, akses kendaraan pun belum memadai. Bukankah kita layak bersyukur dengan menghemat air meskipun kita sanggup membayarnya?
Lebih dari itu, yang jauh lebih penting, semua yang kita pergunakan akan diproses melalui filter pertanggungjawaban kelak di akhirat. Sifat boros dan percuma akan menghambat perjalanan kita. Aku sedih, BBC Mania.
ah sama di tempatku juga begitu kang panggilan nama pun berubah hingga kini juga membedakan, kalau fenomena lauk ga diabisiin sih aku ga tau disini gimana cuman aku sih kalau makan makanya sedikit dulu biar dihabiskan dan pantang malu sih hahaha 🙂
LikeLike
Lebih baik gitu, Bunda. Ambil sedikit dulu nanti baru tambah kalau kurang daripada ada sisa yang terbuang.
LikeLike