Semarang boleh dibilang adalah kota yang unik. Sebagian wilayahnya terletak di dataran rendah dengan cuaca cukup panas karena berbatasan langsung dengan laut. Sebagian lainnya, yakni wilayah kabupaten, melingkupi dataran tinggi dengan deretan hutan pinus, air terjun, kebun kopi dan aneka bunga, hingga bangunan candi yang indah disaput kabut. Jika kita lelah didera panas di kota, kita tinggal arahkan langkah ke Semarang atas, maka kesejukan segera terasa.
Keunikan lain adalah sisi kulinernya yang istimewa. Selain memiliki ciri khas makanan pesisir seperti ikan berkuah pedas, ragam kuliner lokal semakin kaya berkat pengaruh tradisi Cina hingga kini seiring akulturasi budaya yang terjadi dari harmoni pendatang dan pribumi. Dan semakin istimewa lagi sebab saya pernah tinggal beberapa tahun di kota ini, hehe.
Namun itu bukan jaminan saya sudah khatam menjelajahinya. Harap maklum, sebelas tahun lalu geliat kuliner dan industri pelesiran belum menggurita seperti saat ini. Paling pol ya ke kolam renang di Gunung Siwarak, Ungaran yang sejuknya minta ampun lantaran airnya mengalir langsung dari batu-batuan gunung. Dingin luar biasa tapi murah bikin hidup meriah, hehe.
Kini semua berubah. Sudah ada keluarga dan pelesiran harus lebih terencana. Next stop saya kok kepikiran pengin menyempatkan ke empat lokasi ini untuk mengulik kenikmatan dan citarasa khas di kota yang bersejarah. Bukan lagi lunpia atau wingko babat, tapi hal-hal yang lebih personal. Simak yuk, BBC Mania!
Serabi Ngampin yang Ngangenin
Serabi atau surabi tentu bukan penganan asing bagi pencinta kuliner Nusantara. Sejak kecil saya menyantap kue ini hampir setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Hanya saja di Jawa Timur serabi disajikan sangat sederhana. Adonan tepung beras dipanggang lalu setelah matang ditaburi kelapa. Bau harum dan rasa gurihnya sungguh tak lekang dalam memori. Apalagi saat si pembuat sudah meninggal dan tak dilanjutkan keturunannya.
Ketika tinggal di Bogor, mulailah kenal dengan serabi varian lain dari Solo dan Bandung. Dua-duanya dihidangkan dengan kuah santan gurih-manis, apalagi serabi Bandung yang hadir dengan varian rasa yang sangat beragam. Durian, misalnya, sedaaap!
Nah, saat tahu Kabupaten Semarang juga punya serabi dalam khazanah kulinernya, tentu saja saya mupeng. Di Kecamatan Ambarawa, lebih tepatnya di Desa Ngampin, orang sudah akrab dengan Serabi Ngampin—sesuai nama desa tempat jajanan ini diramu. Saya bakal suka karena bahan utamanya sama seperti serabi di Lamongan yakni tepung beras. Hanya saja, konon ukurannya lebih kecil dibanding serabi pada umumnya. Adapun penyajiannya serupa dengan serabi Bandung dengan kuah santan plus gula aren. Menyantap serabi ini bakal menjadi melodi memori ke masa kecil. Ngobatin kangen gitu. Duh, alangkah nikmatnya mengudap kue lembut sambil memandangi lalu lalang kendaraan sepanjang Ambarawa menuju Yogyakarta.
Kopi Eva di Suatu Senja
Kalau ini mah BBC Mania tentu tak perlu ragu lagi. Sudah sering saya unggah kesan menikmati berbagai jenis kopi khas Indonesia di blog ini, bahkan hingga dua postingan untuk bulan ini saja. Beberapa hari lalu pun saya sempat menulis tentang asyiknya pengalaman menjelajah kebun kopi di Kampoeng Kopi Banaran. Maka tak elok jika kunjungan ke Semarang berikutnya bila tak menyempatkan singgah ke Eva Coffee House.

Jujur saja saya belum lama mengetahuinya. Saya patut menduga Kopi Eva yang ternyata sangat kondang di Kabupaten Semarang ini awalnya dikelola secara pribadi oleh perusahaan keluarga. Dan sepertinya benar, berbeda dengan Kampoeng Kopi Banaran yang dikelola oleh BUMN. Eva Coffee House dibangun oleh Michael Tjiptomartojo yang disebut-sebut menanam kopi dan mengolahnya sendiri menjadi minuman kopi yang istimewa.
Saya membayangkan duduk santai di Restoran Eva Coffee House sambil menyesap secangkir kopi spesial mereka sementara anak-anak memesan aneka makanan sesuai kegemaran. Yang jelas istri bakal tak banyak bercakap lantaran sibuk melahap gudeg manggar seolah mudik ke Yogya. Bercakap bersama di sore hari sambil melepas pandangan ke hamparan hijau kebun kopi dan merasakan hawa sejuk Desa Bedono. Cocok kan kopinya buat menutup serabi Ngampin tadi?
Tahu Serasi Penakluk Hati
Pagi hari kira-kira pukul 10 saya dan keluarga pengin banget main ke pabrik Tahu Serasi yang ada di Desa Duren, Kecamatan Bandungan. Kata ‘serasi’ yang disandang tahu ini konon terinspirasi dari slogan Kabupaten Semarang yakni SRASI yang merupakan akronim dari Sehat, Rapi, Aman, Sejahtera, dan Indah. Adapun bahan, bentuk dan kemasannya, sepertinya tak banyak berbeda dengan tahu jenis lain.

Dari hasil kulik sana-sana, perbedaannya terletak dari kelembutan tahunya dan enak saat disantap setelah goreng karena terbuat dari kedelai pilihan. Membayangkan menyantap tahu serasi hangat sambil dicelup sambal kecap pedas, wah! Terus ditutup dengan segelas susu kedelai. Pedas minggat, tangan comot tahu lagi, hehe….
Sebagaimana ditulis oleh Nur Wahyuni di sini, pabrik tahu serasi milik Bu Khotijah di Desa Duren memiliki keunikan lain di mana tempe produksi mereka dibungkus menggunakan daun andong. Pilihan mengemas tempe dengan daun ketimbang plastik adalah bentuk pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia di sekitar. Selain lebih alami dan sehat, pemanfaatan daun andong tentu saja lebih eco-friendly alias ramah lingkungan kan? Habis puas makan tahu dan susu kedelai, pulangnya jangan lupa beli tempe buat ibu di rumah dong. Plus kerupuk tahu yang cocok buat camilan atau teman makan.
Sate Sapi Pak Kempleng
Pagi sampai siang ke pabrik tahu serasi, habis itu lanjut ke kedai serabi Ngampin di sepanjang jalanan Ambarawa, dan ditutup dengan menyesap kopi di Eva Coffee House. Nah, malam hari saatnya untuk bersantap besar, sambil pulang turun ke kota. Tentu nasi dan teman-temannya yang cocok. Pilihan jatuh ke sate sapi besutan Pak Kempleng. Kenapa sate? Karena saya, istri, dan anak-anak menyukainya. Apalagi dengar-dengar daging sapinya lembut dan gurih. Makin tak sabarlah kami!

Tahu Pak Kempleng awalnya dari buku kuliner yang kami baca. Di buku itu disebutkan bahwa proses pembakaran hanya sekitar 7-11 menit dengan menggunakan kipas tangan alias manual. Inilah salah satu rahasianya. Begitu daging sate matang, rasanya maknyes apalagi saat dicelupkan ke dalam sambal kacang. Cenderung manis dan gurih, begitu menurut buku tersebut. Wah cocok nih. Daging sapi adalah pilihan biar kolesterol saya enggak naik, hehe.
Rahasia lain kelezatan sate Pak Kempleng adalah pilihan dagingnya karena diambil dari bagian has dalam. Sebelum ditusuk, daging terlebih dahulu direndam dalam bumbu yang terbuat dari gula aren dan aneka rempah. Dengan pembakaran yang sempurna kematangannya, rasa yang dihasilkan tentunya makin mantap dan nutrisi daging tetap terjaga. Anak-anak senang, kami pun kenyang.
Itulah gambaran itinerary singkat sehari seandainya kami kembali ke Semarang. Sambil melepas penat tapi lidah tetap mendapat nikmat. Hanya di empat tempat. Di mana, di mana? Kabupaten Semarang dong! Yuk yuk!
ini juga mesti ditandai nih, kuliner anti mainstream, dan belum coba semua meski 2 tahunan lebih pernah tinggal di Smrg yang ngangenin ini! Semuanya tradisional dan khas ya mas, duh duh, mupengg
LikeLike
Memang, Semarang rupanya gudang kuliner nikmat, ga cuma di kota saja. Aku juga jadi mupeng nih.
LikeLike
Nyesel banget kemarin pas ke Jogja gak mampir dulu ke Semarang (cuma numpang lewat di sana). 😦
Padahal banyak banget ya yang bisa dijelajah di kota ini, apalagi nyicipin kulinernya.
LikeLike
Iya, Gung. Kalau ke Yogyakarta cocok banget nih mampir ke kuliner Kabupaten Semarang di Ambarawa. Banyak memang opsi kuliner Semarang. Aku juga mupeng nih.
LikeLike