Matanya bening, menyapu sekeliling ruangan dengan penuh semangat. Bisa kulihat saat kami datang, ia menatap satu per satu celana dengan wajah sendu penuh memori. Tak ada kata-kata terucap, mungkin di hatinya berpendar banyak harap. Anak itu baru akan masuk SD setahun lagi, dan aku tak sempat mengenal siapa namanya.
Itulah pengalaman penting akibat sepasang celana. Beberapa hari setelah memasuki Ramadhan, aku pergi ke sebuah tempat vermak untuk mengganti resleting atau zip blue jins yang rusak. Juga memperbesar lingkar perut karena sudah sesak, hehe. Seperti pernah kutulis, aku sangat malas beli celana atau baju baru. Tiga-empat potong celana nyatanya cukup apalagi biasanya yang dipakai cenderung yang itu-itu saja.

Akhirnya perbaikan celana yang masih bagus pun jadi solusi. Syukurlah si abang penjahit menyanggupi bahwa vermak bisa diselesaikan dalam waktu tiga hari. Saya masukkan hari Senin, dia meminta saya balik hari Rabu untuk mengambilnya. Hari Selasa saya meluncur ke sana untuk memintanya memotong ujung celana yang terlalu panjang jadi tak nyaman saat dipakai.
Ternyata tutup. Saya sempatkan untuk melihat-lihat sepeda bekas yang ditawarkan di beberapa lapak di dekat tempat vermak. “Mas yang kemarin masukin celana buat divermak” tanya seorang bapak yang menjaga lapak sepeda paling ujung atau yang paling dekat tempat vermak.
“Betul, Pak. Tapi dijanjikan Rabu.” Saya menjawab singkat.
“Orangnya meninggal tadi malam.” Suara bapak itu datar, atau penuh emosi tapi tak kuketahui. Aku terkejut mengingat Senin pagi aku masih berbicara dengan abang vermak. Senin malam saat pulang ke rumah, menjelang buka puas, motornya jatuh di sebuah tikungan yang berujung pada kematiannya.
Istrinya tentu shocked. Tempat vermak akhirnya tutup hingga waktu tak terbatas. Sementara celana saya masih di dalamnya. Baiklah, mungkin enggak rezeki, saya pikir. Alhamdulillah, beberapa hari kemudian saat lewat di depat toko sepeda, ternyata tempat vermak sudah dibuka kembali.
Kulihat anak kecil tadi bersama neneknya yang menggendong bayi. Ibunya di rumah, mungkin sedang kelimpungan mencari pekerjaan atau tengah dirundung duka mendalam atas kepergian suami begitu mendadak. Seorang lelaki muda yang kukira adalah adik si abang vermak tampak merapikan barang-barang.
Setelah kuambil celanaku, aku pamit kepada sang nenek sambil mengangsurkan bantuan semampuku. Ya celana ini memang mungkin bukan rezeki untuk kupakai, begitu gumamku. Aku memacu motor bersama si sulung, sambil mengedarkan pandangan kalau-kalau ada tempat vermak lain yang buka.
Dua minggu lalu saat mengantar si sulung berlatih Taekwondo, aku menemukan tempat vermak yang buka. Kumasukkan celana itu ke sana dan syukurlah bisa diproses pemotongan anak celana dan penggantian resleting plus pengaitnya. Sayang sekali, abang yang lebih muda ini tak sanggung memermak celanaku agar lebih besar seperti janji abang pertama.
Tapi aku senang sebab celana itu bisa kupakai lagi. Walau sesekali perut harus ditahan. Ini sinyal bahwa aku harus mengurangi camilan dan makan besar. Tapi nyatanya tak pernah merasa siap dipanggil jika sinyal itu datang.
Ramadhan akan pamit, dan aku masih ngomongin soal celana. Duh, betapa hina aku ….
Wah, jadi inget penjahit langganan ibu saya di Pasar Tebet.
Membaca ini serasa mendapatkan dua tausiyah. Yang pertama berupa peringatan untuk mengusahakan husnul khotimah. Sementara yang kedua adalah pelajaran agar senantiasa bersyukur, qona’ah.
Baarakallahu fiikum.
LikeLike
Ya, Mas. Saya tersindir untuk menyiapkan diri.
LikeLiked by 2 people
Sampai sekarang pernah dihantui abang vermaknya itu ga mas ? hhehe
LikeLike
Enggak. Cuma kebayang wajah anaknya yang innocent itu.
LikeLiked by 1 person