Baju Favorit

Favorit, menurut KBBI, didefinisikan salah satunya sebagai kesayangan. Kalau ada makanan favorit, berarti ia termasuk golongan santapan yang sering dikonsumsi hampir di setiap kesempatan. Ada lagi minuman favorit, yakni cairan yang kita teguk sebagai pilihan utama di mana saja, seperti kopi yang sangat saya gemari. Belum lagi alat transportasi favorit yang juga menyiratkan kendaraan kesukaan bagi sekelompok orang untuk mengantar mereka ke mana saja.

Namun bukan hanya barang yang menjadi kesayangan manusia, aktivitas pun tak luput dari favoritisme. Di akhir pekan, ada sejumlah orang memilih menghabiskan waktu bersama keluarga di pegunungan, sebagian lagi di vila dekat pantai, ada pula yang touring bersama komunitas kendaraan, hingga menjalani kegiatan asyik lain seperti memasak, bikin hasta karya, dan sebagainya yang telah tumbuh menjadi hobi.

Hati-hati favoritisme

Namun dalam konteks tertentu, favoritisme atau kecenderungan sayang pada sesuatu bisa bermuatan negatif. Misalnya sifat pilih kasih guru terhadap seorang murid yang membuatnya tidak mampu bersikap objektif saat terjadi masalah. Atau karyawan favorit yang disukai atasan sehingga menimbulkan kecemburuan karyawan lain—belum lagi kalau mereka atasan dan bawahan berlainan jenis yang berpotensi memicu konotasi lain.

Bahasan seputar makanan favorit atau aktivitas yang digemari sudah banyak tersedia di berbagai media, baik digital maupun konvensional. Mengangkat tema favoritisme di dunia pendidikan atau di lingkungan kerja rasanya butuh ilmu mendalam dan riset tersendiri agar hasilnya memadai. Oleh sebab itu, izinkan saya menulis soal baju favorit. Tak diizinkan pun, saya bakal tetap menulisnya kok, hehe.

Demam Sabyan

Setelah Sabyan Gambus merilis sejumlah lagu cover dan viral di media sosial, demam shalawat pun merebak ke antero dunia maya. Netizen membanjiri komentar pada kanal Youtube yang menampilkan dendang shalawat. Lalu mulai jelas mana lagu orisinal dan mana lagu versi cover. Di antara silang pendapat dan komentar seputar siapa yang lebih bagus dan lebih disukai, muncullah informasi seputar Langitan, yakni pesantren kondang di Tuban yang memang telah beberapa kali melahirkan album shalawat yang cukup laris di daratan Jawa. Mengenai tanggapan saya seputar demam shalawat belakangan ini, mungkin bisa saya tulis di postingan terpisah.

baju fav

Saat mendengar Langitan, saya teringat pada sepotong gamis yang pernah saya beli belasan tahun lalu. Waktu itu kami para remaja di kampung memiliki grup rebana modern berjuluk Salsabila yang tentu saja membawakan banyak tembang shalawat, salah-satunya dari album Haddad Alwi. Saya termasuk salah satu vokalis dengan dua orang lainnya. Lazimnya grup shalawat, busana yang kami pakai pun bernuansa Timur Tengah salah satunya melalui gamis terutama bagi vokalis.

Kain kafan

Tak mudah untuk mencari gamis kala itu sebab toko online belum semeriah sekarang. Saya akhirnya meluncur ke Pesantren Langitan yang seingat saya merupakan tempat terdekat yang menjual gamis dan semacamnya. Gamis berwarna putih itu terbuat dari katun bertenun sederhana. Model dan desainnya pun sangat biasa: tak ada bordir, tak ada motif, dikerjakan dengan jahitan sesuai harga. Namun gamis itu rupanya awet dan nyaman dipakai hingga kini.

Semakin lama semakin tipis setelah dicuci namun justru semakin enak dikenakan. Maklum sudah berusia 15 tahunan. Kadang malah tak perlu disterika pun tak masalah. Biasanya kukenakan pada momen khusus seperti Idulfitri atau kegiatan keagamaan lantaran Salsabila sudah bubar. Sewaktu masih di Bogor gamis itu kubawa ke tukang jahit untuk dipotong bagian bawahnya agar bisa kupakai pada kesempatan apa saja. Setelah kedua ujung lengan dipendekkan, gamis itu pun menjadi baju koko yang favorit buatku hingga kini.

Yang kusuka, bentuknya sederhana dengan warna putih tanpa noda. Saat shalat di Namira, jelas betul baju ini terbuat dari kain murah jika dibandingkan dengan gamis/busana para pengunjung yang sangat istimewa. Tak soal beli baju seperti apa karena setiap orang berbeda kemampuan. Yang jadi perhatianku adalah baju ini ternyata terbuat dari kain mori, yakni kafan yang membungkus setiap muslim yang mati.

Begitulah yang kurasakan setiap kali memakainya. Merasa dekat dengan kematian, merasa dipeluk kain yang akan membalutku sebagai busana terakhir. Semacam latihan untuk pembiasaan diri. Semacam peringatan bahwa tak ada gunanya aku berkedok apa pun. Sebagai pelajaran bahwa semua baju dan atribut dunia pasti bakal dilucuti. Sedih, oh sedih sebab sering cuma sejauh itu saja perasaan ini.

BBC Mania, sudikah berbagi mengenai baju favorit Anda?

Tinggalkan jejak