Tong Kosong Nyaring Bunyinya: Belajar Dari Jengkol Muda

Pertengahan bulan lalu istri harus pergi ke Depok karena suatu urusan mendadak. Setelah urusan selesai, ia singgah di Bogor untuk menyambangi seorang teman dekat. Dari kunjungan singkat tersebut, ia mendapat oleh-oleh berupa jengkol kira-kira seberat setengah kilogram. Tentu saja senang begitu saya membongkar oleh-oleh setibanya di rumah.

Sayang sekali, jengkol yang saya tuang dari plastik ke sebuah wadah itu mengeluarkan bau yang sangat menyengat. Saya perhatikan dengan saksama, rupanya jengkol yang dikemas adalah jengkol yang masih muda. Jika dilihat dengan lebih teliti, warna hijaunya tampak dominan alih-alih kuning pucat seperti yang biasa saya temukan pada jengkol tua. Jengkol dalam wadah itu lalu kami letakkan di meja dapur, tak jauh dari kompor gas. Baunya tajam luar biasa bahkan hingga hari berikutnya, semerbak hingga menyergap hidup kami yang duduk santai di ruang tamu.

Beda warna, beda rasa

Rasanya baru kali ini saya mendapatkan jengkol dengan aroma setajam itu dalam kondisi mentah. Sebagai pencinta jengkol pun saya sempat terganggu oleh bau sangat kuat dan seolah menantang tersebut. Seketika teringatlah pada himpunan jengkol tua yang saya bawa dari Bandung pada awal bulan Maret. Sebelum balik ke Lamongan dari ultah BCC, saya sengaja berburu jengkol di pasar tradisional. Saya pilih satu per satu yang sudah tua dan ditimbanglah hingga tercapai jengkol seberat seperempat kilogram.

Jengkol dari Bandung ini pipih dan tebal, tampak banyak dagingnya. Baunya tak tajam sehingga tak mengganggu penumpang bus yang saya tumpangi. Begitu tiba di rumah dan dimasak jadi semur plus tempe, rasanya sangat lezat. Dagingnya empuk dan teksturnya padat—sangat berbeda dengan jengkol dari Bogor yang kenyal mirip singkong yang kenyer. Kenyer adalah ungkapan bahasa Jawa untuk menggambarkan makanan yang tidak liat dan rasanya tidak solid. Saya kesulitan menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Lawan dari kenyer adalah meduk (bukan medok), yakni tekstur makanan yang liat dan enak seperti singkong keju yang gurih.

Tak heran jika teman kami yang suaminya berasal dari Tasikmalaya kegirangan menikmati jengkol tua dari Bandung waktu itu. Sayang sekali, saya hanya membawa porsi yang terbatas karena memang awalnya sekadar pelengkap oleh-oleh selain oncom, leuncah, dan daun pok-pokpohan. Ah, jadi pengin ke Bandung lagi nih karena belum tuntas menjelajah toko buku bekas di Baltos lalu melipir ke Palasari dan Cikapundung.

Yang jelas, saya belajar sesuatu dari jengkol muda dari Bogor ini. Sudah baunya tajam tak terkira, setelah dimasak pun rasanya tidak memuaskan. Kami bagi separuh dengan ibu yang juga memasaknya jadi balado, responsnya sama: jengkol kurang enak karena kenyer dan tidak meduk. Walhasil, hanya tetangga asal Cimahi yang menyantapnya—itu pun masih tersisa, sama seperti jengkol kami di rumah yang tidak sampai tandas.

Jangan tertipu pesona fisik, hehe … 😛

Tong kosong nyaring bunyinya, pepatah ini sudah sangat kita kenal. Biasanya dipakai untuk merujuk pada orang bodoh yang banyak membual atau banyak bercakap. Banyak cincong untuk menyembunyikan kebodohan sesungguhnya. Mungkin kita bisa berkreasi dengan menggunakan ungkapan lain untuk menggambarkan orang yang banyak tingkah tapi tidak bermutu. Jengkol muda tajam baunya, hanya bisa pamer atau berkoar-koar, baunya menyergap siapa saja, namun ketika dilahap, rasanya tak enak dan mungkin ingin dimuntahkan saja. Semua orang diserang, tapi diri sendiri tiada berisi.

Terima kasih, Jengkol muda! Darimu aku belajar untuk tidak meniru perilaku yang gemar mengumbar kehebohan tapi nirkemanfaatan. Selamat berpuasa ya BBC Mania. Mohon maaf lahir dan batin.

Advertisement

3 Comments

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s