Kenangan dari Bumi Reyog atau Ponorogo yang paling membekas ternyata sebutir telur rebus. Lebih tepatnya dua butir yang nikmat sekali. Sayang sekali memang sebagai kota yang identik dengan reog, Ponorogo belum saya nikmati dari sisi kesenian yang dikenal dunia itu. Saat berkunjung ke sana Agustus silam, sebenarnya tengah dihelat Festival Reog yang masuk dalam agenda Kementerian Pariwisata.
Karena waktu yang terbatas, saya melewatkan kesempatan menonton pertunjukan di alun-alun. Untunglah masih sempat menyantap sate H. Tukri yang lezat banget. Dan tentu saja dawet Jabon yang unik dan ternyata menyimpan sejarah atau mitos tak terduga–terutama berkaitan dengan Pondok Pesantren Gontor yang kondang itu. Meskipun tak bisa singgah di kedai di Desa Jabon langsung, tapi lumayanlah bisa menikmatinya di sekitar alun-alun.

Baiklah, kembali soal kenangan telur rebus. Telur rebus ini enak karena berasal dari ayam kampung dan dimasak setengah matang. Menjadi makin spesial karena disajikan oleh ibu seorang teman relawan saat saya ikut Kelas Inspirasi tahun lalu. Pagi hari saat akan pamit meninggalkan Ponorogo, saya dijamu dengan menu sarapan yang istimewa. Dua butir telur rebus dan segelas kopi susu. Duhai, nikmat sekali sarapan pagi itu.
Satu butir saya makan di rumah itu, dan sebutir lagi saya bawa buat bekal di perjalanan saat naik kereta api. Telur itu ternyata aman sampai tiba di Lamongan, saya makan deh. Sungguh kenangan manis dari Ponorogo. Selain itu, masih ada kenangan yang layak saya catat. Tentang relawan yang rumahnya saya tumpangi buat menginap.
Meskipun tinggal di kampung bañget, tapi wawasannya luas dan aktif berorganisasi. Kuliah di jurusan matematika IAIN Ponorogo. Entah bagaimana sekarang kabarnya, semoga sudah lulus dan bekerja. Semangat belajarnya tinggi dan pandai melucu tanpa merasa lucu. Sesekali terasa jayus tapi tetap okelah, haha.
Bukan hanya dawet dan telur ayam rebus sebagai kenangan dari Ponorogo. Masih ada kopi khas kecamatan Ngebel yang petnah diapresiasi di Swedia. Sayang sungguh sayang, waktu itu kami tak sempat meluncur ke sana. Semoga pada kesempatan lain ada jeda yang leluasa untuk mencicipi kopi lokal dan bisa mempromosikannya secara nasional.

Kenangan dari Ponorogo juga menarik karena ini kali pertama saya berkunjung ke Madiun sebagai stasiun transit karena Ponorogo tak dilewati kereta api. Dari Madiun saya diantar teman ke Ponorogo, lalu pulangnya naik bus kota. Lumayan menyentuh sebab sudah lama tak naik bus jarak pendek, kira-kira seperti Lamongan ke Surabaya.
Apakah BBC Mania punya kenangan yang layak diabadikan dan diingat tentang suatu kota?
Aku malah belum pernah ke Ponorogo mas, tapi uda pernah menyaksikan pertunjukkan rego beberapa kali. Yang paling saya ingat nonton reog di Malaysia, di kampung Sabak Bernam yang mayoritas warganya orang Jawa generasi ketiga. Jadi meski mereka belum pernah menginjakkan kaki di Jawa, tetapi fasih bahasa Jawa Ngoko. Meski nggak semegah reog aslinya, tetapi unik karena nontonnya di kampung yang jauh dari Jawa. Dan para performernya hanya tahu gerakan dan musik dari nenek moyang yang telah menetap di sana.
LikeLike
Lucu juga ya mereka belum pernah ke Jawa tapi bisa bermain reog, Mas. Semacam turun temurun gitu ya, mungkin ini akhirnya terus muncul klaim Malaysia waktu itu tentang reog. Memang tak semudah yang dilihat.
LikeLike
daet jabon aku suka, mertuaku asal ponorogo, jd kalau ke sana pastilah dawet ini yg dicari
LikeLike
Wah ternyata mertua Mbak Tira dari Ponorogo ya. Belum puas saya jelajah Bumi Reyog ini, Mbak. Masih sering ke sanakah?
LikeLike
Itulah yg aku suka kalo bisa mampir ke kota2 lain ini. Bisa icipin kuliner khasnya. Ponorogo aku blm prnh mas. Td baca es dawet Jabon, kok ya penasaran bntuknya. Namanya unik. 🙂
Kota yg bener2 bikin aku terkesan itu Dieng. Bukan cuma destinasinya yg cantik, tp pas kesana dulu, kami banyaaak bgt dibantu orang2 lokalnya. Ramah2 bener mereka. Dan itu bikin aku terkesan Ampe skr. Dibantuin utk cari air panas buat susu anakku, trus sampe Dieng jam 11 MLM, blm ada penginapan, eh malah Nemu orang yg rela sewain rumahnya, dan dia pindah ke tempat lain supaya kami bisa stay di sana. Hrga sewa semalamnya malah diminta sukarela, ini yg bikin aku bingung hrs byr berapa hahahha. Trus istrinya msh mau repot2 gorengin kentang utk kami di malam larut begitu. Duuuh itu bikin aku ga bisa ngelupain Dieng 🙂 .
LikeLike
Iya, dawet Jabon itu ya sesuai namanya berasal dari daerah/desa Jabon. Aku belum pernah ke Dieng, tapi pernah baca teman asal Tangerang yang pelesiran ke sana, asyik banget. Cari penginapan dimudahkan dan makanan banyak plus murah. Orangnya ramah, mirip gorengin kentang gitu. Indahnya, sedaaap ya malam-malam goreng kentang hhe
LikeLike