Belajar dari Muhammad (Bernie)

Muhammad Bernie, salah satu jurnalis sebuah media daring, baru saja menggemparkan jagat medsos Tanah Air dengan sebuah cuitan yang kemudian disesalinya. Tak perlu saya bahas apa cuitannya dan makna yang ia maksud dengan cuitan tersebut. Yang jelas akunnya kemudian digembok dan tindakannya menjadi trending topic di Twitter yang berujung pada pengunduran dirinya dari tempat ia bekerja.

Kasus yang menimpa Bernie membuat saya teringat pada sebuah film lawas garapan Sjumanjaya berjudul Si Mamad. Film yang dirilis tahun 1973 menghadirkan kisah seorang pegawai rendahan bernama Mamad yang selalu ingin dipanggil Muhammad. Tokoh Mamad diperankan dengan sangat apik oleh R. Panji Poernomo Tedjokusumo atau yang akrab disapa Mang Udel. Tak heran jika ia kemudian diganjar dengan Piala Citra untuk Pemeran Utama Pria Terbaik tahun itu.

Pegawai berintegritas

Pak Mamad dikisahkan bekerja di sebuah perusahaan pengarsipan yang sangat penting dan disegani. Tidak dijelaskan apakah kantor ini milik negara ataukah swasta. Yang jelas Pak Mamad dikenal sangat berdedikasi, terlihat dari kehadirannya yang selalu tepat waktu dan kedisiplinannya dalam memanfaatkan waktu selama jam kantor sehari-hari.

Saking disiplinnya dia, sampai-sampai waktu keberangkatan dan kepulangannya dari kantor dijadikan patokan oleh warga yang rumahnya dilewati Pak Muhammad. Dengan sepeda tua yang sering macet karena rantai terlepas, ia tak pernah telat atau mangkir dari pekerjaan.

“Biarin aja itu kan orang lain. Urusan saya kan urusan sendiri. Kamu kan tahu saya selalu pulang jam 3!” ujarnya serius mengingatkan penjaga kantor yang hendak mengepel lantai sebelum jam 3 agar bisa pulang lebih cepat seperti pegawai lain di ruangan Pak Muhammad yakni jam 1 siang.

Problem mendera ketika Pak Muhammad mendapatkan kabar bahwa sang istri tengah mengandung anak ketujuh. Ini jadi kabar mengagetkan mengingat anak keenam saja masih kecil, lebih-lebih keluarganya selalu kekurangan sehingga ia khawatir tak bisa membayar biaya persalinan anak ketujuh tersebut.

Ending-nya sungguh tak terduga, Sumanjaya sungguh piawai mengarahkan pemain dan memainkan cerita. Semua tokoh terasa hidup, termasuk Rachmat Hidayat yang berperan sebagai dokter jiwa dan Rina Hasjim yang menjadi istri Pak Muhammad.

Muhammad Isnaini Khomarudin

Suatu hari, sewaktu masih tinggal di pesantren, saya mendapati hal aneh pada sampul buku tugas yang baru saya ambil dari seorang ustaz. Di sampul depan buku tertulis khat Arab cukup besar dengan spidol hitam yang tegas. Jika ditransliterasi dalam bahasa Indonesia, tulisan itu akan berbunyi: Muhammad Isnaini Khomarudin.

Ya, ada tambahan satu kata pada nama lengkap saya. Saya tak perlu tanyakan mengapa beliau mengguratkan konfigurasi nama baru itu. Pun saya tak tergoda untuk membocorkannya kepada teman-teman satu tingkat atau sekelas tentang penambahan tersebut. Seketika itu saya bisa menyimpulkan betapa beliau ingin mempertegas maskulinitas pada nama saya yang terlihat sangat feminim.

Tak heran jika orang kerap menyangka saya adalah perempuan hanya dengan melihat nama diri. Dalam berbagai acara sudah sering terjadi kekeliruan panggilan dan bahkan tak jarang nama saya menjadi bahan ledekan lantaran terlalu feminim. Sewaktu kuliah, teman-teman iseng memanggil Kokom juga Iis yang lebih sering dilekatkan sebagai nama panggilan cewek.

Sebal tentu saja tapi saya tak marah. Saya selalu berusaha mengingat tambahan kata yang disematkan oleh ustaz belasan tahun sebelumnya. Diam-diam saya merasa tenang, kata Muhammad yang mengawali nama diri itu menjadi semacam sugesti positif bahwa saya memang lelaki tulen. Tak ada alasan saya marah atau kesal hanya lantaran orang salah panggil atau sengaja meledek.

Namun melihat kasus yang menimpa Muhammad Bernie belakangan ini, juga melihat sosok Pak Mamad dalam film garapan Sjumanjaya, saya barulah tersadar bahwa ustaz sepuh itu bukan sekadar melindungi saya dari bully atau persekusi teman-teman akibat nama yang kurang gagah.

Esensi nilai, bukan gengsi

Lebih dari itu, beliau ingin agar saya selalu berusaha meneladani sikap dan perilaku Muhammad Rasulullah, manusia paling mulia dan sempurna yang pernah dikenal manusia. Tak penting apa kata teman atau orang tentang kegagahan nama atau gengsi belaka, sebab emosionalitas nilai dan integritas yang hakiki itulah yang harus saya pedulikan.

Lihatlah kasus belakangan di negeri ini ketika pelaku korupsi malah meminta dibebaskan sebab merasa teraniaya oleh cercaan publik alih-alih mengakui tindakan busuknya dan menerima segala konsekuensi.

Dari Muhammad Bernie, Pak Mamad, dan terutama dari Muhammad bin Abdullah saya belajar tentang pentingnya berhati-hati dalam berucap dan berperilaku. Ucapkan yang baik atau diam, begitu pesan beliau. Adapun contoh kejujuran beliau sebagai nabi atau pribadi sungguh telah banyak jadi testimoni. Namun kejujuran dan sifat pemurah beliau kini hanya jadi teori yang dalam kenyataan sekadar semakin jadi anomali.

Advertisement

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s