Dunia seakan-akan runtuh ketika Muhammad Amin Rafi divonis mengidap kusta. Amin bergeming, seolah dunia berhenti berputar dan hanya petaka yang menghantui. Di benaknya hanya terbayang dirinya akan terkucil dan menghabiskan sisa hidup di sanatorium dalam kesunyian dan mungkin penderitaan.
Ibarat pepatah, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, kekhawatiran Amin pun menjadi kenyataan. Begitu kusta merenggut tangan dan kakinya yang akhirnya menjadi cacat, orang-orang pun menjauhinya. Di sekolah dia dicaci, dihina, dan dimaki. Di ruang publik dia pun mendapat cemoohan. Bahkan keluarganya ikut dicemooh, hal yang sama sekali tak pernah terbayangkan olehnya.
Dipecat dan ingin bunuh diri
Penderitaan Amin seolah belum usai dengan dijauhi orang lantaran takut tertular. Puncaknya ia dipaksa berhenti dari pekerjaannya sebagai Pegawai Negeri Sipil padahal kala itu dia sudah mengabdi selama tiga tahun di instansi tersebut. Sudah jatuh, tertimpa tangga, mungkin peribahasa itu juga tepat menggambarkan keadaannya.
Ketika berumur 12 tahun atau kelas 5 SD, ia bercerita ada bercak putih di punggungnya yang mati rasa. Dia mengaku tidak tahu bahwa itu kusta. Ketidaktahuannya itu kemudian seolah menciptakan neraka mini karena ia merasa hidup sendiri. Di mana pun ia ditolak, dicaci maki, dan bahkan dihina oleh teman sejawat. Demikian ujarnya dalam Global Appeal 2014 di Grand Sahid Jaya Hotel yang dihelat tanggal 27 Januari 2014 silam.

Siapa sangka bermula dari bercak putih yang tak dipahami itu Amin jadi dilanda frustrasi dan bahkan ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Akibat kusta yang tak dideteksi dan ditangani sejak dini, ia harus menghadapi diskriminasi dan stigma negatif selama 28 tahun. Lebih-lebih ketika tangan dan kakinya mengalami cacat yang tak mungkin disembunyikan, perlakuan orang di Makassar tempat tinggalnya kian tak bisa dihindari.
Untunglah lelaki yang masih keturunan bangsawan Bugis itu mengurungkan niat bunuh diri dan memilih bangkit dengan semangat berkobar ketika mendengar penjelasan dokter bahwa kusta yang ia derita bisa disembuhkan. Meskipun ia akhirnya sembuh, tetapi tak mudah baginya terlepas diri dari stigma negatif dalam masyarakat, yang terlanjur percaya kusta adalah kutukan Tuhan, mudah menular, dan tidak mungkin diobati.
Gaung kusta di udara
Melihat banyaknya cemoohan dan anggapan negatif yang masih disematkan pada pasien kusta ataupun OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta), Amin pun berusaha mengedukasi masyarakat sekitar bahwa kusta tidak mengerikan asalkan mendapat pengobatan dan bukan kutukan sehingga sangat bisa disembuhkan. Dengan optimisme dan harapan menghapus diskriminasi, ia pun memprakarsai berdirinya Perhimpunan Mandiri Kusta (PerMaTa) yang beroperasi di NTT, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Ambon.
Kasus yang menimpa Amin Rafi hanyalah satu dari sekian contoh yang membuktikan betapa persepsi publik tentang kusta masih stereotip dan perlu dikoreksi. Hal itulah yang mendorong NLR Indonesia dan KBR menggagas Ruang Publik KBR bertajuk “Gaung Kusta di Udara” tanggal 13 September 2021 lalu. Dengan memanfaatkan momentum Hari Radio Nasional yang jatuh pada tanggal 11 September, acara ini diharapkan mampu menyebarkan kesadaran dan kewaspadaan tentang kusta yang masih ada di Indonesia.
KBR yang berdiri sejak 1999 memang tepat mengudarakan acara ini sebab selama ini telah memproduksi podcast dan konten radio berbasis jurnalisme dan memiliki jejaring dengan 350 radio di seluruh Indonesia. Dengan dukungan reporter dan kontributor terbaik di banyak kota di Tanah Air dan Asia, tak heran jika produk KBR telah digunakan lebih dari 500 radio di seluruh Nusantara dan 200 radio di Asia dan Australia.
Acara yang disiarkan secara live streaming di akun Youtube KBR beberapa hari lalu seolah mengingatkan kembali betapa radio punya peran besar dan signifikan dalam menyebarkan informasi juga ilmu jauh sebelum Internet ditemukan, termasuk menyebarkan pemahaman mengenai penyakit kusta.
Menurut dr. Febrina Sugianto yang merupakan Junior Technical Advisor NLR Indonesia, per tahun 2020 kasus kusta di negara kita mencapai 16.700, mengalami penurunan dari 17.439 kasus pada tahun 2019. Penurunan ini bisa jadi kabar baik atau kabar buruk. Jika penurunan itu benar menunjukkan keberhasilan effort untuk mengeliminasi kusta, maka itu kabar baik. Namun jika angka yang turun itu akibat rendahnya tingkat screening yang tidak rutin menyusul adanya pandemi yang menyebabkan berbagai keterbatasan (restriksi), maka kita mesti waspada.

Kabar baiknya, di Indonesia sendiri ada 26 provinsi yang telah mencapai eliminasi kusta. Namun masih ada 8 provinsi yang belum mencapai eliminasi, yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Ketika disinggung apa penyebab tingginya kasus tersebut, dr. Febrina menyatakan bahwa 17.000 kepulauan di seluruh Nusantara menghadirkan sulitnya akses untuk mencapai kantong-kantong kusta tersebut. Dibutuhkan effort cukup besar karena kondisi sosio-demografis dan sosio-geografis yang agak berbeda-beda di tiap daerah.
Kendala kedua yang cukup berpengaruh adalah soal stigma. Pasien enggan berobat karena beranggapan itu penyakit kutukan akibat dosa masa lalu yang tak terhindarkan. Walhasil, penderita kusta akhirnya dikucilkan akibat stigma negatif yang beredar tanpa ada pendampingan atau terapi yang berdampak pada kecacatan permanen sebagaimana terjadi pada Amin Rafi di atas.
Mengenal kusta dan gejalanya
Lebih jauh dr. Febrina mengingatkan adanya dua jenis kusta yang perlu diketahui, yakni kusta jenis PB (Pausi Basiler) dan kusta MB (MultiBasiler). Kasus yang sering ditemukan di Indonesia adalah kusta MB. Ciri umum kusta PB adalah:
- lesi atau bercak di kulit jauh lebih sedikit, antara 1-5 karena jumlah kumannya lebih sedikit;
- adanya hipopigmentasi yaitu warna bercak yang lebih cerah dibanding kulit sekitarnya;
- gejala mati rasa pada bercak saat disentuh atau ditekan
- keberadaannya asimetris atau hanya ditemukan di bagian tertentu saja, tidak menyebar rata;
- hanya menyerang saraf tertentu (muka saja atau kaki kanan saja sesuai lokasi lesi).
Sedangkan pada kusta MB, jumlah lesi banyak, melebihi 5 dengan bercak yang warnanya serupa kusta PB. Jika bercak ditekan, juga terjadi mati rasa. Perbedaan lain adalah keberadaannya lebih merata misalnya di punggung kanan dan kiri juga. Saraf yang diserang juga biasanya lebih banyak, bisa kaki kanan dan kiri sekaligus.
Peran media dalam penanggulangan kusta
Bisa dibayangkan jika penderita tak paham soal gejala yang ia idap padahal bisa berujung pada kecacatan dan dampak psikologis yang serius jika tak mendapat pertolongan. Dalam konteks inilah peran media, salah satunya radio, dibutuhkan. Malika selaku Manager Program & Podcast KBR menegaskan komitmen KBR untuk mengangkat isu-isu marginal seperti kusta dan disabilitas menjadi konten berita.
Media bisa mengambil peran aktif untuk membantu terwujudnya pemenuhan hak-hak kaum marginal, yaitu mereka yang mengalami hambatan secara struktural maupun kultural dalam pemenuhan hak-hak kewarganegaraan yang baik, baik karena kelas ekonomi, identitas, sosial, afiliasi politik, gender, usia, hingga perbedaan kemampuan fisik dan mental. Karena media punya jangkauan luas, media diharapkan membantu mengikis bukan malah melegitimasi atau memicu tindakan diskriminasi atas kaum marginal, termasuk penderita kusta.

KBR sangat mengapresiasi kolaborasi bersama NLR Indonesia dalam meningkatkan literasi masyarakat mengenai kusta, apalagi selama ini NLR memang fokus pada penanganan kusta. KBR juga bekerja sama dengan pihak lain dalam isu-isu yang terpinggirkan seperti pembuatan podcast berisi literasi kesehatan mental bersama Into The Light dan menangkal maraknya hoaks bersama Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia).
Menurut Malika, jaringan radio dimanfaatkan oleh KBR untuk mengetengahkan isu-isu marginal alih-alih memilih tema-tema populer yang memang jelas luas penggemarnya karena radio punya fungsi sama seperti media lain, yakni mampu memengaruhi proses pembuatan kebijakan publik. Jika terjadi representasi yang keliru di masyarakat, maka keberadaan dan aspirasi kaum marginal seperti penyandang disabilitas dan penderita kusta bisa terabaikan.
Lewat kerja sama dengan NLR dalam bentuk Ruang Publik KBR yang disiarkan di 100 jaringan radio dari Aceh hingga Papua, mereka optimistis bisa membawa perubahan terhadap stigma keliru masyarakat yang berbahaya bagi pasien kusta atau OYPMK. Kendati termasuk isu yang sensitif, KBR yakin bisa mengudarakannya dengan efektif sebab para penyiar telah dibekali dengan briefing yang jelas dan didahului dengan diskusi berbasis riset tentang materi terkait.
Adaptasi selama pandemi
Secara umum NLR Indonesia fokus pada penanggulangan kusta dengan menggunakan pendekatan tiga zero, yaitu zero transmission (nihil penularan), zero disability (nihil disabilitas), dan zero exclusion (nihil eksklusi). Ketiga pendekatan ini ternyata mengalami dinamika atau tantangan tersendiri selama pandemi ketika mobilitas massa dibatasi.
Untuk merespons kondisi selama pandemi Covid-19, NLR menerapkan strategi khusus yakni blended approach yaitu menggabungkan kegiatan offline dan online .
“Untuk kegiatan-kegiatan tatap muka yang bisa dilakukan secara virtual, maka dilakukan secara virtual. Untuk kegiatan tatap muka yang memang tidak bisa dilakukan secara virtual, maka dilakukan secara langsung (offline). Tetapi dengan mengedepankan protokol kesehatan Covid-19.”
–dr. Febrina Sugianto, Junior Technical Advisor NLR Indonesia
Menurut dr. Febrina, kuncinya adalah beradaptasi, yakni tetap melaksanakan program-program NLR untuk penanganan kusta sesuai dengan protokol kesehatan yang dianjurkan. Jika acara harus digelar dalam ruang meeting, maka kapasitas pengunjung dikurangi dari jumlah normal, atau dipindah ke ruangan terbuka (outdoor) dengan tetap menjaga jarak dan memakai masker serta dilakukan pemeriksaan pada peserta sebelum pelaksanaan acara.
Harapan dan pesan
Sebagaimana sinergi positif KBR dan NLR Indonesia yang penuh optimisme, WHO sendiri mengajak setiap negara untuk menyediakan akses bagi penderita kusta dalam mendapatkan pelayanan kesehatan di tempat rujukan yang komprehensif dan dikelola dengan baik. Selain itu, perlu terus dilakukan monitoring, dukungan, dan pelatihan bagi para penderita kusta tentang cara perawatan diri secara memadai.
Yang tak kalah penting adalah bagaimana bisa bersama-sama memerangi stigma atas penyakit kusta dan memastikan hak-hak kemanusiaan pasien atau OYPMK tetap terpenuhi. Kesehatan mental mereka harus dijaga melalui pendampingan psikologis dan terapi konseling untuk mencegah runtuhnya kepercayaan diri dan bahkan dorongan bunuh diri seperti yang pernah terlintas dalam benak Amin Rafi.

Mengembalikan kepercayaan diri pasien kusta tidak bisa dilakukan dalam satu sesi terapi, tapi mesti perlahan-lahan. “Yang kita lakukan ini kurang lebih sama dengan CBT atau Cognitive Behavioural Therapy. Kita mengubah pola pikir individu tersebut yang awalnya enggak percaya diri, awalnya merasa lebih rendah dari orang lain, merasa tidak normal … bisa mendapatkan understanding bahwa ini penyakit yang bisa disembuhkan dan ketika kamu sembuh, kamu bisa balik lagi seperti orang normal dan kamu bisa kembali ke masyarakat seperti biasa.” Demikian jawaban dr. Febrina saat menanggapi pertanyaan tentang proses pemulihan kepercayaan diri OYPMK agar menjadi individu yang produktif.
Kita perlu gaungkan bahwa kusta bukan penyakit kutukan akibat dosa masa silam atau keturunan. Kusta juga bisa disembuhkan jika ditangani dengan cepat dan memadai di sejumlah pusat kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit dengan obat-obatan gratis. Selain itu, kusta tidak mudah menular karena tubuh sebenarnya punya kekebalan atau antibodi untuk memerangi bakteri penyebab kusta. Artinya, kita tak lantas langsung terinfeksi kusta setelah berkontak langsung dengan penderita.
Terakhir yang perlu diingat adalah bahwa beban psikologis akibat stigma negatif sungguh sangat besar bagi pasien atau OYPMK. Dengan membiarkan stigma itu berkelindan di masyarakat, kita seolah membiarkan kemiskinan tercipta karena pasien kusta atau OYPMK bisa kehilangan kesempatan produktif secara ekonomi dan sosial akibat terkucil dari ranah sosial dan pekerjaan.
Kita tak pernah tahu bahwa satu kalimat positif atau konten bermakna di jagat maya akan sangat berguna dalam membangun kesadaran dan mengembalikan kepercayaan diri mereka yang membutuhkannya. Siapkah kita mengambil peran dengan menyebarkan pesan positif seputar pemahaman kusta yang benar demi menyelamatkan generasi bangsa yang bersinar?
1 Comment