SAYA TAK MUNGKIN melupakan sahabat muda ini. Namanya Ferdi. Kala itu saya mengajar bahasa Inggris di sebuah lembaga kursus di Semarang segera setelah saya lulus. Di antara murid yang saya ajar, ada satu murid yang saya sebut sahabat tersebut. Sosoknya akan selalu saya kenang sebab ia punya keunggulan dibanding anak didik lainnya. Penampilannya selalu rapi dan sesekali berperilaku tak biasa, termasuk senandika (berbicara sendiri). Ia seperti punya dunia mengasyikkan yang tak kami ketahui.
Yang paling menonjol adalah kemampuannya berbahasa Inggris mengungguli teman-teman sekelas yang duduk di bangku SMP sementara Ferdi masih kelas 5 SD. Belakangan saya ketahui ternyata ia menyandang disabilitas yakni autisme. Anugerah Tuhan ini ternyata menyumbangkan kecakapan unik melebihi teman sebayanya meskipun ia kerap bertindak tak lumrah.
Penyandang autisme memang cenderung mengalami hyperlexia yaitu kemampuan membaca luar biasa pada anak usia dini padahal ia mungkin belum memiliki kemampuan berbahasa dan berbicara yang sesuai dengan usianya. Ini fakta menarik sebab selama ini autisme kerap diidentikkan dengan disbilitas mental, padahal sebenarnya disabilitas perkembangan. Autisme berbeda dengan skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, atau bahkan gangguan kepribadian. Ini tercantum dalam Pasal 4 ayat 1 huruf (c) UU Penyandang Disabilitas.
Dengan kesadaran seperti ini, kita mestinya bisa lebih bijak menyikapi perbedaan perilaku anak, lebih-lebih yang kebetulan hidup dengan disabilitas—apa pun bentuk dan kategorinya. Entah itu down syndrome ataukah OYPMK (orang yang pernah mengalami kusta) tak boleh menerima perlakuan diskriminatif dalam mengakses layanan publik atau interaksi sosial.
Optimisme pendidikan inklusif
Pendidikan inklusif di Indonesia, kendati sudah berjalan, harus mendapat perhatian serius bagi pemangku kepentingan dan masyarakat luas. Anak-anak dengan disabilitas tak boleh dikecualikan dari akses pendidikan bermutu karena itu hak mereka sebagai warga negara yang sah di negeri ini. Penyandang disabilitas apa pun, termasuk karena kusta wajib mendapat jaminan untuk mengenyam pendidikan tanpa diskriminasi.

Pencegahan dan pengendalian penyakit kusta di Indonesia memang masih jadi problem menantang. Menurut data yang dirilis WHO, tahun 2020 Indonesia masih berada di peringkat ke-3 terbesar di dunia untuk kasus baru kusta. Jumlah kasus berkisar 8% dari kasus dunia, ini angka yang signifikan karena proporsinya dalam skala global. Setidaknya ada 9.061 kasus baru kusta ditemukan di Tanah Air, termasuk kasus kusta baru pada anak.
Yang mencengangkan, kasus baru kusta pada anak ternyata mencapai 9,14 % menurut data per 13 Januari 2021 silam. Dengan target di bawah 5%, angka ini berarti belum mencapai target pemerintah. Baik penyandang disabilitas dewasa (karena kusta atau ragam disabilitas lainnya) maupun anak dengan disabilitas rupanya masih terjebak dalam lingkaran diskriminasi yang merugikan. Kasusnya bisa lebih serius pada anak karena melibatkan kekerasan dan perlakuan salah, terutama di ranah pendidikan.
Tak bisa dimungkiri, komitmen dan kolaborasi seluruh pihak diperlukan untuk mengatasi keterbatasan akses pada anak dengan disabilitas dan kusta, guna mendorong mereka bisa mendapatkan pola pengasuhan dan pendidikan yang layak. Pemerintah dan pihak terkait, terutama keluarga, harus punya concern untuk memastikan tumbuh kembang anak berjalan secara optimal agar mereka punya masa depan lebih baik tanpa mengalami diskriminasi dibanding anak nondisabilitas lainnya.
Mendorong kepedulian orangtua
Inilah poin penting pendidikan inklusif yang menjadi hak anak-anak. Pemenuhan hak dan pendidikan yang inklusif pada anak dengan disabilitas maupun kusta harus diwujudkan dengan berbagai upaya sinergi. Misalnya SDN Rangga Watu Manggarai Barat, NTT, yang berkenan memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas anak untuk belajar sebagaimana anak lain dengan penyesuaian kurikulum yang dibutuhkan.

Dalam podcast yang digelar melalui Youtube Live dalam Ruang Publik KBR dengan dukungan Yayasan NLR Indonesia, Jumat 21 Oktober 2022 pekan lalu, kepala sekolah SDN Rangga Watu, Frans Patut, menuturkan bahwa meskipun sekolah dasar yang ia pimpin termasuk sekolah reguler tetapi ia mengajukan adopsi kurikulum untuk ABK agar anak-anak berkebutuhan khusus dapat mengenyam pendidikan di sana.
Latar belakang munculnya ide itu karena sekolah khusus untuk ABK masih terbatas di daerah Manggarai Barat. Kalaupun ada, jaraknya cukup jauh untuk dijangkau sehingga menyulitkan orangtua. Sejauh ini sudah ada 7 siswa ABK yang belajar di sekolahnya dan kendalanya adalah kurangnya jumlah staf guru yang memang kompeten untuk mengajar ABK. Ia mendorong agar para sarjana yang qualified untuk mendaftar di sekolah reguler yang punya ABK di dalamnya.
Hal ini diamini oleh Anselmus Gabies Kartono dari Yayasan Kita Juga (Sankita) yang diundang sebagai salah satu narasumber. Ia menambahkan bahwa temuan Sankita di lapangan menunjukkan bahwa masih ada ABK yang belum sekolah padahal usianya mestinya sudah harus mendapatkan pendidikan yang layak secara terstruktur. Itulah sebabnya ia kemudian merekomendasikan SDN Rangga Watu sebagai solusi mudah.
Yayasan Kita Juga bukan hanya bergerak di bidang pendidikan inklusi tetapi juga pemberdayaan kesehatan. Anselmus menggunakan kiat sederhana agar orangtua mau menyekolahkan anak-anak mereka yang menyandang disabilitas ke sekolah formal. Dalam acara sosialiasi, staf Sankita yang penyandang disabilitas dilibatkan untuk berbicara di depan publik sehingga orangtuaa akan percaya diri tentang potensi ABK mereka.

Adalah Ignas Carly, siswa kelas 5 di SDN Rangga Watu yang menjadi bukti betapa anak berkebutuhan khusus juga diterima di sekolah reguler. Testimoninya sebagai penyandang disabilitas dalam acara kemarin diharapkan membangkitkan semangat orangtua dan ABK mereka untuk mengenyam pendidikan tanpa takut mendapatkan perlakuan diskriminatif.
Memang ia sempat mendapat perlakuan berbeda dari teman-temannya tetapi itu tidak berlangsung lama. Carly pintar membaur dalam berbagai aktivitas terutama olahraga sehingga kini ia menikmati pendidikan di sekolahnya. Ia tak menganggap kondisinya sebagai hambatan untuk belajar sebagaimana teman-teman lainnya.
Dari acara ini kita memetik pelajaran bahwa pendidikan adalah hak bagi anak terlepas dari kondisi fisik atau mentalnya. Generasi penerus Indonesia bukan hanya mereka yang tinggal di kota besar dengan berbagai privilese atau fasilitas yang mungkin tidak diperoleh anak-anak di daerah–seperti halnya Carly yang sekolah di sekolah reguler.

Kedua, ABK bukanlah kutukan sehingga patut disembunyikan. Indonesia telah memiliki UU untuk menjamin akses penidikan mereka sehingga harus diperjuangkan seperti yang diupayakan oleh Anselmus dan Frans Patut di Manggarai Barat, NTT.
Butuh kolaborasi dan kerja sama semua pihak, bukan identifikasi kesalahan lalu saling menyerang. Ini saatnya berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, dalam menyediakan kesempatan belajar yang sama bagi anak-anak penyandang disabilitas maupun kusta (OYPMK).