SEKITAR MARET 2009 saya memutuskan resign dari pekerjaan kantoran karena alasan kesehatan. Walau belum populer WFH, saat itu saya akhirnya bekerja di rumah sebagai freelancer, baik menyunting maupun menerjemahkan naskah buku. Aktivitas sehari-hari berkutat pada menerjemah atau mengedit buku, momong anak, dan mengajar di Bright English Institute yang saya kelola bersama istri.
Karena kami gagal mendapatkan pengasuh, maka istri kemudian mengikuti jejak saya, mengundurkan diri dari pekerjaan kantoran demi merawat anak pertama kami yang masih sangat butuh perhatian. Saya sendiri belum berani menanganinya sendiri, maka kehadiran istri mutlak saya butuhkan.

Selain membantu mengasuh balita, lambat laun saya juga ikut memasak di dapur mungil yang kami desain semi terbuka. Ya, rumah yang kecil itu kami siasati dengan dapur terbuka agar ruangan tampak lega. Memang memasak jadi sangat mengasyikkan: angin sepoi berembus dari luar yang masih didominasi rumpun bambu dan sawah. Suara bambu bergesekan, membuat suasana tambah syahdu. Namun, kalau malam datang, tikus dan binatang lain tak jarang bikin suara heboh di belakang.
Pelajaran hidup dari #SuamiIstriMasak
Selama menjadi bapak rumah tangga, saya mulai menikmati dua kegiatan domestik: memasak dan mencuci pakaian. Untuk kegiatan pertama, saya memang lebih banyak membantu alias menemani karena memasak di rumah bisa menghemat pengeluaran. Sedangkan untuk aktivitas kedua, saya lebih mandiri sebab sangat menikmati sensasi baju bersih yang sudah kering dan wangi.
Yang jauh lebih penting, aktivitas memasak ternyata menyisakan pelajaran berharga tentang kehidupan. Berkawan dengan aneka bumbu dan aneka sayur lama-lama membuat pikiran saya terbuka, semacam mendapat pencerahan untuk melihat hidup dengan sudut pandang yang lebih segar.

1. Mengiris bawang dan berjuang
Menu-menu kuliner Nusantara, apalagi Jawa, nyaris tak bisa dilepaskan dari bawang merah dan bawang putih sebagai rempah yang menyedapkan masakan. Nah, khusus untuk bawang merah, saya butuh waktu untuk mengakrabinya. Dalam hal ini, bisa mengiris dengan terampil tanpa sering meneteskan air mata.
Namun, dari akvitias dasar ini saya belajar tentang perjuangan dan pengorbanan untuk bisa meraih kesuksesan. Jika kelezatan masakan saat disantap adalah titik kesuksesan, maka perjuangannya adalah meracik bumbu, terutama bawang, melalui derai air mata. Jangan berharap keberhasilan tanpa mau melewati kesulitan.
2. Gula garam dan kreativitas
Sejak sebelum menikah hingga dinyatakan sembuh dari kanker payudara, istri sudah tak pernah menggunakan vetsin dalam masakan. Sebagai pengganti, ia memanfaatkan paduan sederhana gula dan garam untuk menciptakan kegurihan. Mula-mula saya kurang sreg dengan inovasi ini, tapi lambat laun saya pun terbiasa dan bahkan merasakan kenikmatan serupa sebagaimana saat menggunakan MSG.
Dari sini saya belajar tentang kreativitas. Dalam hidup kita boleh saja mengalami keterbatasan sumber daya, tak ada privilese, dan tidak tumbuh dalam ekosistem keluarga yang serbamapan. Namun, hal itu jangan sampai jadi dasar apalagi keyakinan bahwa kita tak bisa mencicipi kesuksesan.
Kadang dibutuhkan sedikit perpaduan dari apa yang sudah ada untuk dapat menciptakan perubahan sesuai harapan. Saya selalu terkesima oleh pesan Umar bin Khattab, “Gerakkan tanganmu, maka Allah akan menurunkan rezeki kepadamu.” Asal mau bergerak, mau belajar, dan sudi berinovasi, niscaya impian bisa jadi kenyataan.
3. Mengulek bumbu dan pemetaan masalah
Setiap kali memasak bersama, saya hampir selalu mendapat tugas mengulek bumbu, terutama sambal. Maklumlah sambal adalah penggugah selera bagi orang Indonesia, maka tak heran jika banyak ragam sambal di antero Nusantara.
Begitu banyak bahan yang harus dihaluskan, tak jarang kegiatan mengulek cukup menantang. Rasanya tenaga sudah dikerahkan, tapi bumbu tak juga lembut. Itu karena saya menguleknya secara serentak, bersama-sama sekaligus. Padahal triknya adalah membuat semacam klaster di dalam cobek. Haluskan dulu sebagian kecil, lalu bergerak ke gundukan berikutnya, hingga semuanya halus.
Poin ketiga ini mengajarkan saya untuk bisa menyelesaikan masalah dengan cara menguraikannya agar bisa dibereskan satu per satu. Masalah terasa besar sebab tersusun dari keping yang beragam. Di sinilah perlunya pemetaan masalah, agar dapat mengincar mana yang mesti dituntaskan lewat skala prioritas.
4. Pecahnya santan dan kepekaan
“Wah, santannya pecah tuh!” ujar istri setengah memekik. Waktu membantu memasak bubur sumsum dan biji salak atau bubur kacang ijo, rupanya saya baru tahu bahwa santan harus diaduk secara konsisten saat berada di atas api. Karena ketika dibiarkan, santan pun pecah. Memang tidak memengaruhi rasa, tetapi cukup mengganggu pemandangan saat hendak disantap.
Tak sedikit hal dalam hidup yang sensitif seperti santan ini. Kita tak bisa memperlakukannya sebagaimana hal-hal lain. Ada topik atau tema yang bebas kita bagikan di medsos, misalnya, tapi ada juga jenis-jenis informasi yang cukup kita tahan di ranah keluarga—misalnya topik berbau curhat yang rentan membuka aib keluarga atau isu SARA yang berpotensi meresahkan jagad maya.
Dari santan saya belajar tentang kapan berucap dan kapan berbuat. Tahu mana yang bisa dibagikan secara leluasa dan mana bagian-bagian yang sensitif sehingga cukup menjadi rahasia keluarga.
5. Nyala api dan pemborosan energi
Sebagai perangkat utama yang menyuplai energi, nyala api kompor tak bisa ditawar lagi. Keberadaannya sangat vital untuk mendukung agar aneka sayur, ikan, dan bumbu bermetamorfosis menjadi menu keluarga yang lezat dan indah dipandang mata.
Namun pijar api ini tak bisa sembarangan sebab setiap masakan atau menu membutuhkan besaran daya yang berbeda-beda. Saya teringat sebuah fragmen dalam video Youtuber kondang Amerika Dhar Mann tentang seorang koki yang tak sabar menjadi head chef. Pada tahap awal pekerjaan, ia menggunakan api yang besar untuk menggoreng telur agar cepat matang sehingga kebutuhan pelanggan yang menunggu bisa terpenuhi.
Head chef restoran akhirnya mengoreksi keputusan itu dengan mengecilkan api kompor koki tersebut. “Semuanya butuh proses, tak bisa asal cepat,” ujar sang chef. Koki yang kesal kemudian melepas apron dan pindah ke restoran lain. Seperti halnya menggoreng kerupuk udang yang juga tak bisa digempur dengan api besar atau kerupuk akan kerdil alias tak mengembang.
Pelajaran pentingnya: tidak semua masalah dalam hidup harus dihadapi dengan energi yang berkobar-kobar. Setiap masalah punya karakter dan lingkup masing-masing, jadi bijaklah dalam mendekatinya dengan metode yang sesuai, bukan serampangan.
Jangan asal hantam saja mentang-mentang kita punya kuasa atau posisi yang bisa diandalkan. Kita sendiri harus paham kapan mesti bersikap ekspresif, optimistis, intuitif, atau obsesif. Semua punya takaran dan porsi, tak bisa ditangani dengan serangan ganas membabi buta. Ingat, forsir tenaga dan ngoyo malah akan membuat kita memboroskan energi tanpa hasil berarti.
6. Udang bau dan tersianya waktu
Suatu hari istri membeli udang tapi tak segera dimasak lantaran balita kami rewel. Saya juga tak kepikiran untuk langsung memasukkannya ke dalam freezer. Ketika akhirnya udang dimasak, rasanya jelas tak maksimal, menyisakan sedikit bau. Sudah tak enak. Mungkin hal serupa terjadi pada cumi agak bau yang dimasak dalam nasi goreng yang saya santap di depan Bioskop Galaxy Bogor belasan tahuh silam.
Fenomena ini begitu kuat menegaskan arti penting mengerjakan hal dengan segera tanpa menunda-nundanya dengan berbagai alasan. Kita harus menumbuhkan sense of emergency sehingga hal-hal yang benar-benar penting tidak terbengkalai lalu berdampak negatif pada lini hidup yang lain. Waktu terbuang percuma, makanan jadi tersisa.
7. Pisang malang, pisang terbuang
Tanpa bertanya-tanya, suatu malam saya membeli tepung terigu dengan maksud hendak menggoreng pisang pemberian ibu. Pisang itu harum bukan main, maka terbayang kelezatannya saat dilapisi tepung–tepat yang disukai si bungsu.
Begitu adonan siap, saya lantas menggorengnya di atas wajan. Di luar dugaan, pisang dan adonan tak mau menyatu. Alih-alih menempel dengan kematangan golden brown, pisang malah jadi lembek dengan minyak yang menyusupi adonan begitu tebal.
Saat saya angkat, minyak tak mau tiris dari pisang maupun adonan tepung. Meskipun tak banyak, pisang yang saya goreng itu pun tersia-siakan, terbuang percuma karena tak enak dimakan. Saya sungguh tak tak tahu pisang jenis itu tak mungkin digoreng dengan adonan. Mestinya langsung disantap tanpa tambahan.
Beginilah hidup akhirnya, kita jangan merasa sok tahu, harus membuka diri dan menyadari peluang bahwa kita bodoh sehingga butuh menggali keterangan atau informasi dari orang lain. Jangan malu bertanya, kembangkan diri dengan menyerap pengetahuan dari para ahli yang kompeten. Jika asal beraksi, akhirnya malah membuang makanan yang sebenarnya sangat berharga.
Manfaat #SuamiIstriMasak Bersama
Harus diakui, pandangan masyarakat tentang suami yang membantu istri memasak di dapur mulai mengalami pergeseran, ke arah yang positif. Jika dulu wanita diidentikkan dengan tugas di kasur, sumur, dan dapur, maka peran perempuan kini makin berkembang—mereka bekerja di ranah profesional. Tahun 2018 Hill Asean Studies melakukan survei mengenai kesetaraan perempuan dan pria. Survei yang melibatkan responden Indonesia itu menunjukkan bahwa ternyata 6 dari 10 istri bekerja demi meringankan beban finansial keluarga.
Adapun data mengenai suami yang membantu pekerjaan rumah tangga seperti memasak hanya 3 dari 10 suami. Ini data tahun 2018 dan saya yakin jumlahnya bisa meningkat tahun ini. Kabar baiknya, kolaborasi suami dan istri di dapur kian populer seiring dengan munculnya banyak chef laki-laki sejak era Rudy Choirudin.
Apalagi menurut penelitian Dr. John Mordechai Gottman, seorang psikolog dan profesor emeritus psikologi di University of Washington, para istri ternyata menganggap bahwa partisipasi suami mereka dalam mengerjakan tugas domestik seperti mencuci piring atau memasak menjadi bukti cinta yang membuat para istri tersebut kian tertarik secara seksual. Demikian sebagaimana ditulis abcnews.
Seiring dengan naiknya pamor medsos seperti Instagram dan TikTok, kanal memasak yang diampu oleh chef pria kian moncer. Walhasil, para suami kini tak canggung lagi untuk berjibaku di dapur sendiri atau bersama istri. Memang ada kekhawatiran bahwa ketika suami memasak, perabotan jadi berantakan dan dapur menjadi kotor. Saya pribadi mengakuinya, hehe.
Karena risiko dapur berantakan tidaklah sebanding dengan manfaat yang didapatkan oleh kedua pasangan dalam membangun harmoni keluarga, terutama sebagai role model bagi anak-anak mereka untuk melakukan hal serupa sebagai penghargaan bagi para ibu. Berikut ini sejumlah dampak positif dan berjuta manfaat kolaborasi memasak yang saya rasakan bersama istri di dapur.
1 | Daya ungkit pesona
There is no spectacle on earth more appealing than that of a beautiful woman in the act of cooking dinner for someone she loves
—Tom Wolfe
SECARA KASAT mata aktivitas di dapur—mulai dari menyiapkan bahan, mengolah dan menyajikan makanan hingga bersih-bersih perabot masak—barangkali tampak begitu sederhana dan tidak grande atau berkelas. Tentu saja maksud saya adalah memasak di dapur dalam rumah tangga biasa, bukan memasak sebagai profesi untuk memetik rezeki. Padahal kenyataannya aktivitas rutin kaum ibu di dapur ini membutuhkan kecermatan, kesabaran, keterampilan, dan beragam taktik atau teknik yang luar biasa.
Selain penguasaan resep, seorang pemasak wajib memahami aneka bahan, cara mengolahnya, serta kepekaan untuk memperlakukan setiap menu yang akan dia eksekusi. Inilah mungkin yang mendorong Wolfe untuk sampai pada pemikiran sebagaimana tertulis pada kutipan di awal. Seorang yang mengubah bahan mentah menjadi makanan matang untuk anggota keluarga atau yang tersayang punya pesona yang bertambah.
Dalam aktivitasnya tersimpan rasa cinta dan kepedulian, juga dedikasi, yang membuatnya berbeda dari orang lain yang sekadar membeli makanan jadi begitu saja. Mereka yang tidak memasak bukan berarti tak memesona, namun yang memasak jelas punya pendar pesona plus plus. They do stand out in the crowd!
Nah, mulai sekarang jangan ragu buat membantu orang terkasih saat memasak di dapur. Suami yang membantu istrinya akan tampak semakin wow sementara sang istri akan kian berkilau. Tak hanya itu, anak yang meringankan beban ibunya selama memasak akan tumbuh menjadi pribadi penuh percaya diri karena punya kecakapan khusus dan itu akan membuatnya semakin unggul di antara teman-temannya. Tak percaya?
2 | Sarana terapi dan media komunikasi
Cooking and baking is both physical and mental therapy.
—Mary Berry
MENYIAPKAN MAKANAN bersama-sama bepotensi meredam emosi dan kemelut jiwa. Jika salah satu atau kedua pasangan sedang dirundung masalah pelik di kantor atau tempat kerja, maka bergelut dengan bumbu dan berbagai olahan di dapur bisa menepis deraan emosi dan menimba semangat positif.
Dengan memasak bersama, siapa saja yang terlibat dapat memperoleh hiburan dari aktivitas yang dikerjakan. Melihat setiap bahan bereaksi dengan bahan lain di dalam tungku atau wadah tertentu akan menciptakan sensasi tersendiri. Menyaksikan perubahan bentuk dari mentah menjadi siap santap bakal melahirkan kepuasan tak ternilai.
Kondisi seperti inilah yang mampu menciptakan iklim kondusif sehingga pikiran menjadi damai. Sejenak otak mengalami cooling down untuk diajak bertamasya atau rekreasi ke dunia eksperimentasi rasa. Membantu istri mencemplungkan sebuah bahan ke dalam panci atau membentuk sesuatu dari sebuah adonan dapat menstimulasi otak dan hati untuk tenang dan gembira pada saat yang sama. Bisa jadi sarana terapi yang murah dan mudah kan?
Bonus lainnya, kegiatan memasak bersama bisa menjadi media bagi pasangan untuk saling menumpahkan perasaan atau unek-unek yang selama ini tersumbat dan tak mungkin disampaikan dalam momen biasa. Melalui serangkaian langkah memasak, komunikasi dua arah dapat terbangun secara positif. Bila ada bibit kemarahan, itu bisa dikikis lewat proses ‘asistensi’ selama memasak. Bahkan tahap-tahap awal belajar memasak akan mendorong arus komunikasi lebih lancar lantaran harus terjadi banyak tiktok dan klarifikasi perintah.
Hati gembira saat memasak akan bikin otot-otot bugar, sedangkan komunikasi lancar akan bikin hubungan makin harmonis dan lebih produktif.
3 | Media belajar dan sumber inspirasi
Cooking and gardening involve so many discplines: math, chemistry, reading, history.
—David Chang
MEMASAK ADALAH sebuah proses yang dinamis. Banyak hal bisa terjadi baik terhadap bahan-bahan yang dihadapi atau kepada siapa saja yang ikut memasak, entah akibat fisik maupun nonfisik seperti bertambahnya pengetahuan baru. Itulah bagian asyik dari memasak bersama-sama, apalagi jika kita melibatkan anak-anak untuk aktif membantu.
Memasak bersama anak-anak dan mengajak mereka menggeluti kegiatan-kegiatan riil secara langsung akan menjadi momen langka untuk mengajarkan kepada mereka tentang makanan sehat juga menunjukkan cara pandang yang tepat terhadap makanan. Lewat kegiatan memasak, kita bisa bertukar pendapat atau ilmu baru yang sudah diketahui oleh partner memasak.
Saat mengolah menu yang dominan rempah, misalnya, anak-anak bisa dikenalkan dengan sejarah kekayaan kuliner Nusantara yang bertahan hingga kini. Mereka akan bersemangat menemukan hal-hal baru lewat kegiatan di dapur. Seperti kata David Chang, kita bisa simpulkan bahwa saat memasak kita butuh presisi ilmu matematika, akan menghadapi atau mengandalkan reaksi kimia berbagai bahan atau olahan, dan sebagainya. Ketersediaan pangan yang cukup bisa mengajari mereka untuk tak lupa bersyukur.
Bagaimana dengan orang dewasa? Belum tentu mereka tahu banyak hal melebihi anak-anak. Seperti saya yang juga sering mengungkap informasi baru dari istri selama membantunya memasak. Entah itu pengetahuan tentang memasak yang didapatnya dari membaca buku, atau bisa pula mengenai jenis makanan tertentu yang kental nuansa budayanya di sebuah negara. Semuanya bisa saya catat menjadi inspirasi yang kemudian saya tulis beberapa di antaranya menjadi pelajaran berharga. Siapa bilang memasak tidak inspiratif dan kaya ilmu?
4 | Berlatih jujur dan percaya diri
Cooking is in a honest profession where you cannot hide and let others do the work for you. You have to show up, work hard and prove you can do it faster and better.
—Marcus Samuelsson
Kejujuran ternyata bisa dipupuk lewat pekerjaan memasak loh! Bagaimana tidak, segala sesuatu yang diramu menjadi sebuah menu tidak bisa dimanipulasi meskipun masih bisa diganti. Bahasa kerennya: dikreasi! Namun jangan coba-coba menipu penikmat kuliner dengan mengatakan suatu menu sebagai sayur sop padahal bumbunya sayur bayam walaupun tampilan fisik benar-benar serupa sop.
Begitu pula sepiring mi pasta berlumur bumbu merah tidak mungkin bisa diklaim sebagai spaghetti asli padahal sebenarnya itu sambal terasi walau disiramkan pada pasta yang sama. Tampilan sama, rasa jelas beda. Porsi bahan dan presisi bumbu tidak bisa dicurangi untuk menghasilkan paduan yang mantap.
Modifikasi bahan sangat mungkin terjadi dan bisa ditoleransi, namun jangan berharap mendapatkan citarasa yang sama seperti yang tertulis pada resep baku. Kecuali bila kita menggemari rasa-rasa unik atau lantaran keterbatasan bahan di suatu lokasi. Berlatih memasak akan membiasakan kita jujur mencampur dan mencicip rasa. Bahwa rasa enggak bisa bohong—seperti kata iklan! Berawal dari ketepatan meracik bahan, perlahan kita akan terbiasa jujur dalam menghasilkan sesuatu.
Geoffrey Zakarian, chef asal Amerika yang juga penulis dan pemilik beberapa restoran, pernah menulis begini, “The kitchen is where I feel most at ease and where I feel most like myself.” Bukan rahasia bila dia sangat menggandrungi masak-memasak sebab dapur menjadi tempat di mana ia memperoleh ketenangan dan kemerdekaan berekspresi.
Lewat aktivitas memasak dia menemukan dirinya apa adanya—merasa nyaman dengan kemampuan yang dimiliki sehingga akhirnya percaya diri dalam berkarya sesuai keterampilan, dalam hal ini memasak.
Memasak bersama pasangan dapat menjadi ajang berlatih menemukan kekuatan pribadi lalu memperkuatnya menjadi kepercayaan diri. Praktik bersama akan menjadi peluang untuk saling menyemangati dan bermula dari percaya diri dalam mengolah makanan, lalu muncullah penghargaan pada potensi diri yang lain. Asyik bukan?
Inspirasi #SuamiIstriMasak
Banyak yang bisa dilakukan oleh pasangan agar hubungan tetap solid melalui masakan. Kalau versi kami, saya dan istri belum lama ini memasak pecel lele khas Lamongan karena kini kami tinggal di kota kelahiran saya.

Di Jawa Timur mungkin kurang populer, tapi di Jabodetabek, kedai pecel lele biasa menyajikan sambal khas dengan pilihan kecap manis di tiap meja. Dengan kecap manis ABC, rasa sambal makin tegas dan istimewa. Gurih dan harum, bikin ketagihan.
Setelaha menonton video #SuamiIstriMasak persembahan Kecap ABC berikut ini, saya jadi terinspirasi untuk bikin tongseng ayam bersama istri yang berdarah Jogja. Resepnya mudah walau bikinnya jelas harus penuh kesabaran, hehe.
Resep tongseng ayam buat yang tersayang
Bahan-bahan:
- 500 gram daging kambing atau daging ayam dipotong dadu besar
- 200 gram kol, buang tulangnya dan potong kasar
- 3 buah cabai merah diiris tipis
- 4 buah cabai rawit atau sesuai selera diiris tipis
- 2 buah tomat dipotong kasar
- 1 cm jahe dimemarkan
- 1 cm lengkuas dimemarkan
- 1 siung bawang putih diiris tipis
- 3 siung bawang merah diiris tipis
- 2 lembar daun jeruk
- 5 sendok makan kecap manis ABC
- 1 ½ liter air
- Minyak goreng secukupnya

Bumbu halus:
- 3 siung bawang putih
- 5 butir bawang merah
- 1 ½ sendok teh merica bubuk
- ½ sendok teh kunyit bubuk
- garam secukupnya
- gula pasir secukupnya
Pelengkap:
Jeruk nipis dan emping melinjo
Cara memasak:
- Panaskan 2 sdm minyak, tumis bumbu halus, jahe, lengkuas, dan daun jeruk hingga harum.
- Masukkan daging kambing, masak sambil sesekali diaduk hingga berubah warna.
- Tuang air dan masak hingga daging lunak.
- Pada wajan yang lain, panaskan 2 sdm minyak, lalu tumis bawang merah dan bawang putih hingga harum. Tambahkan kecap manis, cabai rawit, tomat, dan kol, lalau aduk rata. Tambahkan rebusan daging dan didihkan kembali. Setelah matang diangkat ke mangkuk saji. Sajikan tongseng hangat dengan pelengkapnya. Untuk 4 porsi tongseng kambing.
Tips memasak:
- Agar daging cepat lunak, pilih daging dari kambing yang masih muda.
- Jika tidak suka/bisa pakai daging kambing, bisa gunakan daging ayam.
- Agar daging kambing cepat lunak, tambahkan parutan nanas atau bubuk papain sebelum daging dimasak.
- Pilihlah tomat yang sudah tua, tetapi masih keras agar tidak hancur saat dimasak.

Yuk dukung #SuamiIstriMasak
Jadi, enggak khawatir lagi kan, buibu buat mengajak para suami untuk ikut memasak di dapur? Manfaatnya jauh lebih besar ketimbang mudaratnya, kalau itu ada hehe. Dapur berantakan bisa dirapikan bersama, piring dan perabot kotor justru awal kebersamaan yanag akan semakin merekatkan cinta. Pokoknya jangan ragu karena rangkaian kegiatan #SuamiIstriMasak persembahan Kecap ABC ini telah dimulai sejak tahun 2018.
Tahun 2018, kampanye dimulai. Lalu setahun berikutnya, kampanye diperkuat selama peringatan Hari Kesetaraan Perempuan. Tahun 2020 menandai tonggak penting ketika kolaborasi dengan platform edukasi dijalin dengan melibatkan anak-anak dalam kampanye Hari Kesetaraan Perempuan agar mereka menyadari peran dalam rumah tangga kelak.
Lalu tahun 2021 Kecap ABC memperkenalkan kolaborasi antara Titi Kamal dan Christian Sugiono sebagai keluarga artis yang peduli parenting dengan tujuan menekankan pentingnya kolaborasi antara suami dan istri memasak di dapur. Bukan hanya menghasilkan makanan sehat tetapi membangun quality time yang berharga.
Lewat kampanye sederhana ini, kita bisa membangun ikatan yang saling menguatkan antara suami dan istri. Kegiatan memasak bukan hanya ranah para istri yang eksklusif sehingga para suami tak perlu mencampuri. Justru sebaliknya, partisipasi aktif di dapur, dengan menemani atau berkolaborasi memasak, suasana hangat tercipta diikuti dengan resep-resep unik yang unik untuk membuat keluarga semakin semarak.
Membaca tentang penelitian Dr. John Mordechai Gottman ini, saya ingat pernah membaca testimoni seorang istri di Quora … apa yang dia katakan seperti dalam penelitian itu … saya juga suka sekali melihat momen saat suami masak 😀
Btw, paparan tentang poin-poin pembelajaran di atas menarik, Mas Rudi .. pelajaran kehidupan ternyata bisa dicermati dari proses memasak ya.
LikeLike
Keren banget Mas, sekian tahun jadi perempuan baru kali ini tahu filosofi memasak..mengiris bawang, mengulek bumbu. Pencerahan banget ini. Btw Lamongan sambelnya enak… Di mana-mana penyetan Lamongan ada.
LikeLike
Membaca artikel sampean sebagai juara 1 membuat saya melongo dan ketawa (saking terpesona) dengan setiap aksara yang sampean buat, Mas. Perpaduan memasak dengan kehidupan iki, lo. Uapiiiiiiik!
Selamat ya Mas.
LikeLike
Mohon maaf baru sempat balas komentar Kakak. Makasih banyak sudah sudi mampir dan membaca tulisan saya. Semoga ada manfaatnya. Salam puasa dan bentar lagi lebaran! Jangan lupa makan semur jengkol pakai kecap hehe….
LikeLike