LELAKI BERUSIA 48 tahun itu bergegas meninggalkan rumah dengan membawa sejumlah jeriken. Udara dingin yang menyelusup tak menyurutkan langkahnya demi memenuhi kebutuhan yang mendesak. Warga RT 6 RW 2 Desa Nglampin, Kecamatan Ngambon, Kabupaten Bojonegoro yang bernama Sarim itu harus berburu dengan waktu demi menghindari antrean panjang guna mendapatkan air bersih.
Sejak pagi buta, warga telah berduyun-duyun ke sebuah sumber sumur padas dengan ember dan jeriken, yang segera mengular jadi antrean panjang. Yang disebut dengan sumur padas adalah sumber cekungan pada batu yang ada di pinggir sungai. Inilah sumber air andalan warga Desa Nglampin saat kelangkaan air bersih terjadi pada musim kemarau karena sumber-sumber air di wilayah itu mengering. Demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka harus rela antre dan berbagi.
Gagal panen karena air langka
Kasus yang menimpa warga Bojonegoro tersebut berlangsung tahun 2020 dan segera mengingatkan saya pada sepenggal fragmen tahun 2018 ketika saya dan komunitas sosial membagikan puluhan tangki air bersih ke lima kecamatan di Lamongan, kabupaten yang bersebelahan dengan Bojonegoro. Salah satu lokasi yang kami singgahi adalah Dusun Walang Kopo, Desa Kedungkumpul, Kecamatan Sarirejo.

Menurut Imam, kepala dusun setempat, kelangkaan air bersih yang melanda dusun mereka tahun itu cukup parah. Telaga yang jadi pemasok utama air mengalami kekeringan total. Sumur bor juga kandas sebab penggalian hingga kedalaman 70-100 meter sama sekali tidak memunculkan air walau setetes. Sumur galian biasanya bisa diandalkan berkat resapan air dari tanaman, tapi semuanya seolah mampet.
Selama kekeringan melanda, warga setempat harus berburu air di desa sebelah sejauh 1 kilometer, itu pun harus rela mengantre sangat panjang dan berbagi dengan warga lainnya. Yang paling menyedihkan tentu saja kegagalan panen di Walang Kopo sebagai dampak kelangkaan air tersebut. Bisa diduga ini akan berimbas pada masalah ekonomi dan kesehatan.
Belajar dari Green Star Nusantara
Kisah miris yang mendera Desa Nglampin dan Walang Kopo mestinya tak perlu terjadi jika warga setempat jauh-jauh hari melakukan antisipasi. Kita bisa mencontoh, misalnya, langkah kreatif yang ditempuh oleh Samsul Arifin bersama komunitas Green Star Nusantara (GSN).
Pemuda asal Desa Sumberagung Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro ini tergerak untuk melakukan sesuatu demi memulihkan kualitas oksigen di Bojonegoro yang memburuk. GSN yang dibentuk pada tahun 2010 juga menyoroti fakta di lapangan bahwa banyak sumber air perlahan-lahan mengering sebagai dampak dari aktivitas penambangan migas secara masif di wilayah Bojonegoro sejak tahun 2000-an.

Berdasarkan temuan GSN, banyaknya sumber mata air yang lama-lama mengering adalah akibat berkurangnya pohon-pohon penyangga. Pohon-pohon ini semula sangat berperan dalam menyimpan stok air bersih yang bisa dimanfaatkan saat dibutuhkan. Samsul menuturkan, “Ada pohon penyangga yang sudah tua, sudah lapuk sehingga banyak yang tumbang. Terus ada yang dibabat oleh manusia.”
Kendati demikian, dia menyayangkan lantaran tidak adanya upaya pemulihan segera atau penanaman lagi pohon-pohon yang akan berfungsi vital sebagai ikhtiar menghidupkan sumber mata air yang telah mati. Ia dan GSN sadar betul bahwa eksploitasi migas besar-besaran punya dampak langsung terhadap parahnya pemanasan global dan gas rumah kaca sehingga perlu kerja kolaboratif untuk mengatasinya.
Inspirasi pohon trembesi

Samsul bukan hanya mengumbar janji atau kata-kata manis belaka. Bersama GSN, ia lantas menelisik khazanah lokal sebagai solusi masalah air dan udara di daerahnya. Jika masalah dibiarkan tanpa aksi nyata, maka panas akan kian merajalela yang berujung pada terhambatnya pertumbuhan berbagai tanaman yang sangat kita butuhkan sebagai bahan pangan.
Lebih lanjut ia berujar bahwa perubahan tidak akan pernah terjadi jika kita hanya berpangku tangan tanpa melakukan tindakan. Dalam wawancara bersama tim Satu Indonesia Awards, Samsul mengatakan dengan serius, “Ibu Bumi wes maringi, aja dilarani!” Kalimat berbahasa Jawa yang bermakna “Bumi telah banyak memberi, maka janganlah disakiti” telah menggerakkan GSN untuk melihat potensi lokal sebagai jalan keluar sekaligus inspirasi.
“Tanaman untuk mengatasi perbaikan oksigen dengan menyerap gas CO2 terbagus dan punya daya simpan air yang bagus salah satunya adalah trembesi.”
Samsul Arifin Wijoyosukmo
Pohon trembesi selama ini hanya dikenal sebagai pohon untuk berteduh dan diambil pokok kayunya untuk dijadikan perabot rumah tangga seperti lemari, kursi, dan meja. Saya pribadi memiliki memori yang indah tentang trembesi. Saat SD dulu, saya kerap mengudap biji-biji trembesi sangrai yang banyak dijual sebagai camilan. Yang tak kalah menyenangkan adalah menikmati tepian polongnya dengan cara disesap. Rasanya manis dan khas karena masih alami.
Dengan manafaat sebesar itu, GSN pun memutuskan untuk menanam pohon trembesi di banyak tempat sesuai kebutuhan. Kendalanya saat itu adalah pada bibit. Karena biji trembesi belum banyak tersedia, maka mereka terpaksa membelinya secara daring dari Jawa Barat. Dia mengenang bahwa harganya cukup mahal, kala itu mencapai Rp200 ribu per kilogram termasuk ongkos kirim.
Meneladani kemandirian Suku Samin

Untuk menyikapi mahalnya biji trembesi yang dijual di pasaran, maka GSN memutuskan melakukan pembibitan sendiri demi menghemat biaya. Selain itu, biji juga didapatkan dengan mengumpulkan dari pohon-pohon trembesi yang telah tumbuh subur, yang biasanya menjatuhkan banyak polong di bawahnya.
Begitu benih siap, penanaman kemudian dilakukan di lokasi yang dirasa perlu atau bisa juga dibagikan secara cuma-cuma kepada mereka yang membutuhkan, misalnya komunitas atau desa yang membutuhkannya.
Samsul menegaskan bahwa siapa saja dapat mengadopsi benih trembesi tanpa harus mengajukan surat atau prosedur rumit yang serbaformal. GSN hanya menghendaki komitmen bersama untuk menjaga kelestarian lingkungan lewat ikhtiar yang tampak sederhana tapi nyatanya berdaya guna.
Bagi Samsul, Green Star Nusantara bukan hanya sebuah lembaga, melainkan sebuah sistem untuk menghijaukan dunia kembali dari ancaman pemanasan global, dengan harapan mampu memulihkan kualitas oksigen dan terutama mengembalikan sumber-sumber cadangan air bersih yang semakin langka keberadaannya.

Bagaimana dengan operasional GSN? Inilah yang unik dari komunitas yang dikelola Samsul Arifin. Pendanaan tidak mengandalkan pihak mana pun selain menarik iuran sukarela dari para anggota. Selain itu, GSN mendapatkan dana dari hasil penjualan jamu serbuk berbahan aneka rimpang produksi mereka sendiri. Tampak jelas bahwa spirit kemandirian telah menjadi value yang berharga dalam kelompok ini.
“Ruh yang kita pakai untuk membesarkan lembaga ini adalah mengambil spirit dari Suku Samin,” ujar Samsul lagi mantap.
Samsul Arifin Wijoyosukmo
Suku Samin yang hidup di Bojonegoro dan pedalaman Blora dikenal sebagai masyarakat adat yang memegang tradisi dengan kukuh. Mereka mirip Orang Kanekes atau yang dikenal Suku Baduy di Banten. Dalam memanfaatkan alam, mereka hanya mengambil seperlunya, tidak pernah memanipulasi apalagi mengeksploitasi. Suku Samin juga dikenal menjunjung kejujuran dan tidak sombong. Secara sosial dan ekonomi, mereka pun dikenal sangat mandiri dan tidak bergantung.
Dengan inisiatif positif dan jiwa kemandirian untuk mengembalikan sumber air bersih dan kualitas oksigen akibat penambangan migas dan pemanasan global, tak heran jika Samsul Arifin Wijoyosukmo akhirnya diganjar dengan penghargaan bergengsi dari Satu Indonesia Awards. Bersama GSN, Samsul telah membuktikan bahwa andil yang tampak kecil punya pengaruh signifikan terhadap lingkungan.

Pemilihan trembesi sebagai kearifan lokal yang berkesinambungan tanpa harus membeli adalah keputusan cerdas untuk merawat bumi yang tak pernah bosan memberi walau kita kerap menyakitinya. Dari Bumi Angling Dharma Bojonegoro, kita telah belajar untuk mengakrabi alam sebagai tempat kita hidup dan sangat kita andalkan.
Nusantara bisa tegak atau runtuh karena kita sebagai penghuninya. Satu langkah bijak bisa mengubah segalanya. Sebagaimana GSN, kita perlu menyatukan tekad dan langkah untuk Bangkit Bersama Untuk Indonesia maju dan sejahtera.
Sumber bacaan:
https://blokbojonegoro.com/2020/10/15/warga-nglampin-rela-antre-berjam-jam-demi-air-bersih/
Wow ulasan yang detail tentang Bojonegoro ini mengingatkan pada masa kecilku Mas. Aku akrab dengan suasana seperti ini. Para pencari air di musim kemarau sampai ke rumahku yang syukur nya selalu berlimpah air hingga bunyi sumur timba gemericik di malam gelap.
LikeLiked by 1 person
Oh, Mbak Tami asli Bojonegoro ya? Alhamdulillah rumah Anda termasuk yang berlimpahan air, cuma memang sumber air bersih ini masih jadi kendala di banyak daerah yang langganan tapi sering enggak diantisipasi atau dicari solusi.
LikeLike
Masya Allah … keren ya Mas Samsul, berpikiran Green Star Nusantara ini ke depannya bisa mengglobal. Saya jadi membayangkan para penerima Satu Indonesia kategori lingkungan berkolaborasi, menjalankan program yang berhasil di tempat lain … disesuaikan dengan keadaan di desanya.
LikeLike
Betul, Mbak Niar. Kalau banyak pemuda yang sadar lingkungan dan bisa memberdayakan potensi lokal begini, Indonesia bakalan maju. Semoga para penerima SIA bisa memajukan daerah masing-masing.
LikeLike