SAMBIL MERINGIS menahan sakit, saya menggamit tangan Bunda Xi ketika menunggu panggilan masuk ke ruang dokter spesialis urologi. Lisan ingin berucap, “Bagaimana cara menerima takdir dalam hidup kita, terutama yang tidak mengenakkan?” tapi pertanyaan itu tak pernah tertutur. Berkali-kali saya mengurungkannya sebab diam-diam saya merasa tak siap mendengarkan jawaban.
Selama beberapa bulan terakhir, kondisi fisik saya memang tak menentu. Selain lelah fisik, batin juga seperti terforsir kehabisan energi. Produktivitas menulis terhambat, yang tentu saja berdampak secara ekonomi.
Kopdar bikin bugar
Bahkan ketika kopdar dengan Mbak Nurul awal November silam, badan rasanya tak enak, sungguh tak nyaman meskipun siang itu saya dikepung makanan lezat. Yang membuat saya bersemangat adalah mengobrol dengan sobat narablog yang hadir, yaitu Mbak Avy dan Mbak HM Zwan yang belum pernah kopi darat. Percakapan ringan seputar banyak hal sejenak melenakan saya dari kalutnya pikiran, termasuk kondisi badan yang entah.
Setelah menjalani tindakan medis hari Jumat pekan lalu, saya makin bersemangat karena akan kopdar dengan puluhan bloger dalam Surabaya Blogger Gathering di Klaska Residence di bilangan Wonokromo, Surabaya. Apalagi pulang dapat voucher belanja yang segera saya tukar dengan perabotan dapur.
Menghadapi takdir buruk
Namun yang lebih menggembirakan adalah informasi dari akun Masjid Namira tentang kajian Minggu pagi yang akan mengangkat tema “Menghadapi Taqdir Buruk”. Semesta seperti memantulkan resonansi pikiran saya untuk menemukan jawaban. Berbagai pertanyaan yang menggelayuti pikiran bisa diikat dalam satu simpul: takdir yang tidak saya kehendaki.
Selepas azan Subuh saya meluncur ke Namira tanpa duo Xi karena mereka kecapekan. Tiba di sana, saya ketinggalan shalat jemaah. Singkat kata, ustaz favorit itu kemudian menyampaikan tausiyah kepada jemaah, termasuk rombongan dari Kudus Jawa Tengah.
Ustaz Rofi’ Munawar kemudian memaparkan enam sikap yang harus ditumbuhkembangkan oleh setiap muslim saat mereka didera musibah atau takdir buruk. Sebelum jauh membahas, Ust. Rofi’ mengingatkan bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya takdir buruk dalam hidup sebab apa pun yang terjadi adalah hal terbaik yang Allah berikan sebagai ujian. Yang enggak enak adalah ujian, yang enak juga ujian, ujarnya menyitir dua ayat Surah Al-Fajr.
Enam sikap mental itu disebut dengan masyhad atau sudut pandang. Dan inilah pentingnya mengembangkan sudut pandang yang tepat saat kita dirundung duka yang seolah mengekang/menyiksa padahal sebenarnya bukan.
1 | Sudut pandang tauhid (masyhadud tauhiid)
Kita mesti sadar bahwa dalam kerangka tauhid Allah SWT adalah Dzat yang menentukan, menghendaki, dan membuat semuanya terjadi. Coba ingat ikrar yang sering kita ucapkan: radhiitu billaahi robban wa bil islami diinan wa bimuhammadin nabiyyan warasuulan. Sebagaimana kita ridha pada Allah sebagai Tuhan kita, maka segala yang terjadi harus kita ridhai pula.
2 | Sudut pandang keadilan (masyhadul ‘adl)
Harus kita pahami bahwa di dalam ketidaknyamanan takdir atau kataklisme apa pun yang kita alami ada keadilan Allah atas diri kita. Yakinlah Allah tak pernah menzalimi kita sebagai hamba-Nya.
Ingatkah ketika Abdurrahman bin ‘Auf mencemaskan kehidupan akhiratnya lantaran kehidupan dunianya senantiasa diliputi oleh hal-hal enak dan keberuntungan? Ia khawatir jangan-jangan nikmat akhirat disegerakan di dunia sehingga nanti tak ada lagi yang bisa dipanen di kehidupan berikutnya.
3 | Sudut pandang kasih sayang (masyhadur rahmah)
Dengan mindset ini, kita yakin bahwa rahmat Allah SWT di dalam takdir buruk tersebut mengalahkan kemurkaan dan siksaan-Nya. Artinya, yang terjadi pada kita tidaklah seberapa dibandingkan kenikmatan yang telah kita terima. Coba hitung dan renungkan sendiri.
Ingatkah ada hadis yang diriwayatkan oleh mam Bukhari yang menyatakan bahwa rahmat Allah mendahului murka-Nya?
4 | Sudut pandang hikmah (masyhadul hikmah)
Kita meyakini bahwa apa pun yang terjadi tidak pernah sia-sia sehingga berbagai ketentuan yang telah Allah SWT buat tidak pernah percuma. Coba pikirkan lagi betapa hal-hal buruk yang menimpa kita ternyata punya lapisan lain yang sebenarnya berguna atau malah menyelamatkan kita dari bencana lain di luar dugaan.
5 | Sudut pandang pujian (masyhadul hamdi)
Sudut pandang kelima ini mungkin terbilang unik, untuk tidak mengatakan aneh. Kita diminta menerima takdir buruk tapi pada saat yang sama juga dianjurkan untuk memuji kebesaran Allah. Pujian kita haturkan karena kita tak berdaya di depan Tuhan dan bahwa ujian lebih berat sebenarnya bisa saja ditimpakan kepada kita.
Ada kisah menarik ketika Umar bin Khattab mengucapkan hamdalah sebanyak empat kali ketika ia dirundung musibah. Ketika ditanya, ia menjelaskan bahwa setiap pujian ada maksudnya.
Hamdalah yang pertama adalah karena Allah tidak menurunkan musibah yang lebih besar dari yang ia terima, padahal Dia jelas maha kuasa. Pujian kedua dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur bahwa Allah tidak memberikan musibah dalam soal agama. Bagi Umar segala musibah di luar urusan agama terasa sepele.
Hamdalah ketiga adalah karena Allah memberinya kesabaran sebab kesabaran akan diganjar dengan surga. Adapun syukur keempat adalah karena Allah masih berkenan menganugerahkan taufik untuk mengevaluasi diri. Bagi seorang muslim, taufik sungguh sangat berarti. Umar berkata dengan tegas:
“Demi Allah, selama aku masih menjadi muslim, tak peduli aku pada apa pun yang menimpa diriku.”
Umar bin Khattab
6 | Sudut pandang penghambaan (masyhadul ‘ubuudiyyah)
Kita tak bisa mengingkari bahwa kita adalah hamba, abdi yang tugasnya beribadah kepada Allah. Sebagai hamba, kita tak bisa terlepas dari berbagai keputusan dan hukum-Nya sebab kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita akan dikembalikan.
Menyadari kita adalah obyek, maka hukum dan takdir berlaku atas kita sebagaimana berlakunya hukum syar’i yang hakiki. Kesadaran diri sebagai hamba yang lemah akan membuat kita tunduk dan bisa menjalani berbagai ujian dengan selalu mengandalkan pertolongan Allah semata.
Meningkatkan ketergantungan kepada Allah SWT, itulah kalimat yang perlu saya garis bawahi sebagai pembangkit energi. Siapa saya sehingga bisa mengatur Allah untuk selalu mengabulkan apa yang saya mau? Siapa pula saya berani melawan kehendak-Nya dengan menafikan musibah yang datang walau tak saya minta.
Memang sesekali ada godaan untuk mendengarkan bisikan, “Kenapa harus saya? Why me?” Pertanyaan-pertanyaan berkelindan, “Saya kan bukan orang jahat, enggak pernah korupsi atau merugikan orang lain, mengapa harus melalui semua ini?”
Jawabannya, “Why not?” Silakan baca lagi tulisan ini jika pertanyaan serupa masih menggoda hati.
nice advise…
terima kasih mas, resume singkatnya… pentingnya bersyukur…
LikeLike
Tulisan yang pas dengan kondisi saat ini, selalu khusnudzon bahwa dalam kondisi yang tak diinginkan ini penting agar hati tetap terawat dr energi2 negatif dan jg percaya nanti semua akan ada hal baik setelahnya. Terima kasih sdh menulis ini kak 😀
LikeLiked by 1 person
Sama-sama, Kak. Saling mendoakan untuk menguatkan, semoga setiap musibah dan kesulitan membawa keberkahan.
LikeLike