TIBA-TIBA sudah Desember, penghujung tahun yang seolah bikin keder. Agak bingung menyimpulkan tahun ini sebagai apa. Saya tidak percaya shio atau perbintangan, jadi bahasan ke arah sana jelas tak mungkin ada. Atau boleh jadi ‘keder’ adalah pilihan kata yang kurang tepat, malah ekstrem. Kadang-kadang begini, manusia kehilangan kemampuan memilih diksi yang tepat mewakili perasaannya.
Desember jadi bulan yang up down up down, mengutip Ranchodas saat menjelaskan konsep mesin di kelas pertamanya. Kondisi fisik terutama, naik turun di luar rencana. Sampai akhirnya sakit tak tertahan di pinggang, terpaksa ketemu dokter urologi tanggal 1 Desember Kamis siang.
“Wah, ada batunya di sebelah kanan. Kecil sekali, jadi bisa dipecahkan pakai ESWL. Ga perlu bedah, ga perlu infus!” ujar urolog tanpa keraguan. “Tadi pakai umum ya, kalau bisa sih pakai BPJS karena biayanya lumayan,” imbuhnya sembari mempersilakan saya bangkit dan meninggalkan ruangan.
Di faskes yang saya pilih memang cukup sulit minta rujukan. Bunda Xi yang ingin sekali check-up untuk mengetahui kesehatan jantung selalu ditolak dengan berbagai alasan. Wajarlah kalau saya kemudian pakai jalur umum untuk bayar pengobatan lantaran sakit sudah tak tertahankan.
Waktu hendak bayar di kasir, mata terbelalak melihat angka tercetak di struk pembayaran. Sudah lama enggak ke dokter spesialis, jadinya kaget biayanya cukup besar dan mesti dibayar pakai kantong sendiri. Itu pun belum termasuk resep obat yang harus ditebus di luar.
Dari RSUD saya dan Bunda Xi langsung ke faskes di selatan kantor Pemda. Petugas baru mau memberikan rujukan setelah menerima surat dari urolog. Kenapa harus nunggu bayar pakai kocek sendiri baru dikasih surat rujukan?
Keuangan menipis, saya kebelet pipis. Beser sudah biasa, berpuluh tahun lamanya. Bisa hidup dan berkeluarga, terutama menjalani hubungan yang penuh rahmat dan persahabatan yang penuh penghiburan–sungguh itu anugerah tak terperi.
Jumat pagi saya masih sanggup ngider nasi titipan donatur NBC seperti pekan-pekan sebelumnya. Setelah balik ke rumah, Bunda Xi memacu motor untuk mengantar anak-anak ke sekolah. Saya menyantap sarapan walau tak bisa sampai kenyang karena itu gangguan.
Terpaksa makan nasi NBC karena beberapa hari itu rice cooker merek Cosmos mati. “Kabelnya kebakar dan enggak mau menanak nasi lagi.” Kalau mau sarapan pagi ya harus masak nasi dengan mengaron pakai dandang, lebih pagi lagi. Kasihan itu bikin capek Bunda Xi yang sudah banyak saya repoti.
Lanjut ke RSUD lagi, sampai jam 9 lalu masuk ke dokter urologi. Tumben enggak antre, apakah karena Jumat pagi? “Oh yang kemarin?” ujar dokter singkat. “Nanti dijadwalkan jam setengah satu ya habis Jumatan,” sambungnya yang bikin saya jeri karena enggak tahu apa yang akan saya lalui. Takut dan terasa nyeri, mendadak silih berganti.
Saya diminta menunggu di depan ruang periksa sementara Bunda Xi pulang untuk menjemput anak-anak, Rumi dan Bumi. Kira-kira jam setengah 11 dia pamit dan saya bertahan sesuai instruksi, duduk di antara deretan kursi. Semakin lama semakin sepi.
Setengah jam kemudian, petugas atau mungkin asisten dokter membimbing saya menuju ruang tempat ESWL tempat saya akan diterapi. Jalan cukup jauh, tapi saya kuat walau sedikit tertatih.
Sampai di tempatnya, ibu petugas menyerahkan dokumen kepada petugas di ESWL. Saya ditinggal sendiri dan lagi-lagi disuruh menanti sampai panggilan atas nama saya sendiri. Entah bosan atau kalut, tak bisa saya putuskan mana perasaan yang hakiki.
Saya menunggu dengan waswas tanpa bisa berkonsentrasi. Teringat pertanyaan Mbak Nurul yang wapri, “Mas kenapa enggak daftar acara Kang Harris di Klaska pada Sabtu pagi? Ada yang mundur jadi bisa diganti.” Saya mau berpartisipasi tapi setelah nyeri ini pergi.
Saya buka ponsel, baterai habis jadi tak bisa kontak Bunda Xi. Dari dalam petugas memanggil saya, bilang prosedur terapi akan dilakukan tanpa menunggu shalat Jumat selesai. Dari masjid-masjid terdengar suara murottal alias orang mengaji.
ESWL dipercepat karena habis Jumatan dokter banyak menangani pasien operasi. Selain itu, dia kasihan biar saya bisa ikut Jumatan, oh sungguh perhatian sekali. Walau yang saya mau adalah Jumatan bareng duo Xi di masjid langganan karena bisa sekalian ngopi.
“Mas takut ya?” tanya petugas saat saya merebahkan diri di bawah lampu besar layaknya meja operasi. Pinggang dihimpit sesuatu dan ia berpesan bahwa sayan enggak boleh berjingkat saat mesin dinyalakan nanti. Ya Allah ya Rabbi, kenapa saya harus melalui semua ini? Gumam saya dalam hati, antara pengin lari keluar atau pengin sakitnya pergi.
Nunggu mesin diatur cukup lama, proses penembakan atau kejutan itu selama 10 menit. Apakah sakit? Oh, perlukah saya jawab dengan terperinci? Saya sedih karena melalui itu semua sendiri. Bunda Xi belum balik karena mengira terapi habis Jumatan. Berkali-kali saya minta petugas mengecek apakah istri saya muncul di ruang tunggu, ternyata tidak ada sampai terapi selesai.
Habis terima resep, saya berjalan tertatih mencari penjual air minum yang ori. “Bahaya ini (minum air isi ulang), usahakan minum air mineral yang asli,” pesan petugas sesaat sebelum terapi. Walaupun direbus tetap ada risiko terkontaminasi. Lama-lama membentuk kerak di organ dalam yang perlu diwaspadai.
Saya menepi di dekat kasir tengah, tak jauh dari resepsionis yang saat itu sepi. Duduk dan bersandar di dinding, saya rasakan air mata menetes dan saya ngguguk sendiri. Tak tahu apa karena sisa rasa sakit ataukah karena perasaan sendiri. Bisa juga akibat kombinasi.
Saat azan Jumat kedua berkumandang, Bunda Xi datang. Dia kaget karena terapi sudah selesai. Sambil meringis, saya bergerak ke masjid agar bisa shalat jemaah. Area utama masjid penuh, saya terpaksa naik ke lantai dua.
Alhamdulillah badan lebih enak, pikiran jadi lega. Tiba di rumah saya istirahat beberapa waktu setelah makan siang. Sore hari saya tanya Mbak Lidya bloger Bekasi apakah punya nomor WA Kang Harris Maulana yang kerja di Sinar Mas Land. Dia kirim nomornya, saya berterima kasih.
Saya mulai menimbang-nimbang untuk ikut liputan dan Surabaya blogger gathering dengan banyak teman. Ketemu mereka saja sudah hiburan buat saya, menjalin silaturahmi. Kalau boleh jujur, tujuan saya ikut itu demi voucher belanja yang dikabarkan Mbak Malica. Dia sudah ikut di Semarang dan kupikir voucher itu adalah jalan ninjaku untuk punya rice cooker baru.
Beli baru sedang tak mungkin sebab uangnya tak cukup. Kondisi pekerja lepas yang full berharap pada waktu. Kalau waktu pencairan terlambat, tak ada uang untuk ini itu. Syukurlah Kang Harris balas pesanku jam 10 malam, lalu saya masuk grup dan lanjut tidur dengan tenang.
Sabtu pagi dan siang berlalu, senang dan terharu pulang bisa bawa alat penanak nasi baru, tak perlu merepotkan kami untuk mengaru sejak Subuh. Jam setengah 4 sore duduk di kursi Transmart, menunggu Fiona dan Elisa belanja. Mataku tak bisa menahan haru saat menatap rice cooker Miyako warna putih abu-abu.
Sampai rumah malam, rice cooker baru dibiarkan. Esok siang kardus pun dibuka dan ternyata ada bagian bawah rice cooker yang agak penyok. Entah terbentur apa, barang sesama penumpang kereta yang penuh atau apa saya enggak tahu. Tapi fungsinya normal untuk memasak nasi dengan menguarkan bau.
Syukur kupanjatkan berkali-kali karena apa yang diimpikan menjadi kenyataan. Sekitar dua pekan masak boros gas elpiji, kini semudah tekan tombol sana-sini. Tapi penerimaan rupanya enggak bertahan lama.
Semula hanya mengincar voucher demi rice cooker, lama-lama serius mengupayakan hadiah kamera atau stabilizer dari lomba blog SEO itu. Sangat butuh untuk pengambilan video setiap Jumat pagi bersama NBC. Videoku goyang dan berantakan.
Walau muncul di 3 besar halaman pencarian, nyatanya belum berjodoh dengan itu barang. Ikhlas dan rela melepas apa yang tidak layak diterima. Bukan sakit hati, bukan mengiri, hanya merasa bodoh dengan konten yang ditulis serius berhari-hari.
Sampai Ustadz Hanan Attaki datang di suatu Subuh, Ahad pagi tanggal 25 Desember di Masjid Namira kebanggaan kami. Bukan karena Hanan Attaki aku menghampiri. Setiap Minggu pagi aku datang siapa pun ustadz yang diundang.
“Sering kali kita enggak bisa menerima ketentuan Allah karena enggak sesuai dengan doa yang kita panjatkan.” Saya seketika teringat pada kekecewaan dan kekalahan apa pun dalam hidup.
Kalah lomba, kalah pengaruh dalam pergaulan, hingga ditinggal orang yang saya gadang sebagai istri adalah sederetan kegagalan yang memuakkan. Itu jika kita salah menafsirkan.
“Padahal Nabi Musa diselamatkan Allah justru dengan cara dihanyutkan dan malah dirawat di dalam istana penguasa yang hendak menghabisi semua anak laki-laki.” Jika dilihat dari kacamata manusia, skenario kita mungkin Musa akan dibuang dan dirawat oleh keluarga nun jauh di sana lalu dilatih perang untuk melawan kebiadaban Firaun. Itu Hollywood.
Dan benar, saya akhirnya mendapatkan pasangan terbaik dalam hidup, memiliki teman-teman yang luar biasa, dan terutama menikmati hobi yang bisa tetap dekat dengan Sang Rabbi.
Apalah arti rice cooker atau barang apa pun yang mahal kalau kita tidak membutuhkannya. Apalah arti rasa sayang pada orang yang tidak memahaminya. Apalah arti kegagalan kalau kita justru semakin dekat dan didekatkan kepada Tuhan dengan cara-cara yang tak kita pahami.
Bismillaahirrahmaanirrahiim. Tahun 2022 kita tutup dan tahun 2023 biarlah terbuka. Lembar-lembar baru nanti tak perlu kita cemaskan sebab Tuhan sudah menyiapkan tinta untuk menulis cerita penuh kejutan. Apakah cerita itu akan kita sukai atau sebaliknya, mungkin kita tak lagi akan peduli lagi.
“Kalah lomba, kalah pengaruh dalam pergaulan, hingga ditinggal orang yang saya gadang sebagai istri adalah sederetan kegagalan yang memuakkan. Itu jika kita salah menafsirkan.”
Ngerasa relate banget dengan dua poin pertama. Pas baca bagian itu, langsung nyebut di dalam hati, me too.
Tetep kuat, Mas. Yakin semua ada hikmahnya, entah kapan bakal terbuka.
LikeLiked by 1 person
Semangat, Mas. Sama-sama berdoa dan menguatkan.
LikeLike