Kalau memang rezeki, enggak akan ke mana. Begitu kata orang, di medsos maya dan kehidupan nyata. Sepertinya kejadian Minggu pagi ini benar-benar menjadi konfirmasi. Dan tentu saja prinsip sebaliknya juga berlaku: kalau belum rezeki, apa pun bisa di luar kendali.
Seperti pekan-pekan sebelumnya, sebelum azan Subuh berkumandang, saya membangunkan duo boys untuk bergegas meluncur ke daerah Jotosanur di mana Masjid Namira nan megah berada.
Selepas kajian Subuh, sebagian jemaah segera berdiri untuk menunaikan shalat isyraq dan sebagian lain bergerak ke luar untuk mengambil nasi bungkus.
Saya sendiri beringsut ke sebuah meja di serambi utara dengan tujuan mengambil segelas kopi. Alhamdulillaaah, belum banyak yang antre, saya langsung mengamankan mood booster ini. Saya putuskan untuk ikut shalat isyraq dengan terlebih dahulu meletakkan kopi di rak rendah, di sebelah kanan pintu masuk sebelah utara.
Selepas shalat dan mengaji sebentar, dilanjutkan kunjungan singkat ke toilet di sebelah selatan, saya melangkah ke luar untuk menjumpai anak-anak yang sudah hampir selesai menyantap sarapan. Bukan nafsu makan mereka yang mengejutkan, tapi segelas kopi yang tadi saya letakkan. Kini raib entah siapa yang mengembat.
Pikiran sudah berfantasi sejak kemarin untuk bisa menyeruput kopi pagi-pagi sambil badan disiram cahaya matahari. Jujurly perasaan seketika anyep, membuat tangan tak bergairah membuka nasi bungkus yang menunya salah. Saya pikir lauknya bali ayam, ternyata nasi krawu dengan ayam suwir. Sama-sama enak, tapi lagi-lagi saya sedang mood makan ayam berbumbu bali.
Syukurlah masih ada beberapa teguk teh manis hangat untuk menemani nasi krawu yang tak seperti biasa. Ya, nasinya agak keras. Namun kerasya nasi belum sebanding dengan kerasnya hati saya yang pagi ini sedang mongkok, moody, dan kemlinthi.
Sambil memandang kepulan asap dari knalpot Jeep tua yang bergerak meninggalkan halaman parkir Namira, saya bergumam, “Betul memang. Enggak salah lagi.” Minggu, 8 Januari lalu Ustaz Sholeh Drehem asal Surabaya sudah mengingatkan bahwa rezeki kita yang sesungguhnya ada tiga.
Pertama, apa yang kita makan dan jadi kotoran. Jadi segelas kopi yang sudah saya amankan nyatanya bukan saya sesap dan malah jadi rezeki orang. Begitu pun dengan nasi bungkus berlauk krawu padahal ayam bali yang saya idamkan.
Kedua, apa yang kita pakai. Baju atau kendaraan, juga termasuk rumah–inilah rezeki kita yang sejati bagaimana pun bentuknya. Kita sudah menikmatinya entah berapa lama untuk mendukung berbagai aktivitas dan memenuhi kebutuhan.
Ketiga, ini yang unik. Jika kedua bentuk rezeki sebelumnya berupa hal yang kita “miliki” dan pergunakan, maka bentuk ketiga ini melibatkan kerelaan untuk melepaskan, diberikan kepada orang yaitu dalam bentuk sedekah atau infak. Memang hakikatnya itu untuk kepentingan kita sendiri, tapi untuk saat ini setidaknya kita merasa rezeki itu harus dikeluarkan sehingga memunculkan semacam perasaan kehilangan.
Menutup celotehan pagi ini, apa sebenarnya makna kehilangan? Apakah saya yang gagal meminum segelas kopi bisa disebut dengan kehilangan? Bisakah tertukarnya lauk bali dengan krawu adalah sebentuk hilangnya kenikmatan padahal saya toh mendapatkan gantinya walau tak saya suka atau kehendaki?

Bagi saya, yang lebih berbahaya adalah kehilangan energi untuk merenungkan hal-hal remeh yang selama ini kita abaikan. Kita berkutat pada rezeki yang mungkin bakal ruwet seiring kabar resesi yang akan menimpa dunia global secara ekonomi.
Fokus berlebihan itu lantas menciptakan overthinking yang membuat kita lupa bahwa memiliki dan menguasai hakikatnya adalah ilusi belaka. Apa itu punya kalau semuanya adalah titipan? Apa itu kehilangan padahal kita tak pernah benar-benar memiliki? Apa sebenarnya arti memberi dan menerima?
Hanya satu yang pasti: kita punya Tuhan yang menjamin berbagai kebutuhan dan selalu bisa diandalkan.
Apakah BBC-Mania sudah sarapan?