Dalam hitungan detik Jana sudah berada di atas mobil bak terbuka itu. Kakinya yang terbiasa menapaki jalanan terjal terlihat begitu kokoh menopang tubuhnya saat melompat. Setelah merapat dan bersandar pada kepala mobil, ia menoleh kepada ibunya. Debu pasir yang tersisa beterbangan menyaput wajahnya yang kuyu. Tatapannya tajam tetapi kosong. Suaranya tampak ditahan agar tidak pecah menjadi tangis. Dari jauh berkas cahaya matahari siang mempertegas parasnya yang jelita. Walaupun tidak panjang, rambut hitamnya yang kering bergerak mengombak dalam denting angin yang semakin mengiris hatinya.
Ia bergegas membuang muka saat ibunya menatapnya dari kejauhan. Bu Siwi hanya berucap, “Jana, jangan pergi. Jana…” Suaranya lirih dan akhirnya sama sekali tak terdengar ditelan derum mesin yang membawa Jana pergi.
“Semua keberhasilanmu tak akan bermakna selama kamu masih menahan hak orang lain.”
Jana melotot.
“Kau tak berkirim kabar atau berbagi kegembiraan dengan ibumu sejak SMA. Kamu tak butuh doanya lagi?”
Jana terdiam. Matanya mendadak panas; hatinya berdegup kencang. “Ibu sejati tak akan berbohong tentang siapa ibuku sebenarnya.”
“Kamu malu dibesarkan keluarga pemulung?”
Jana pura-pura tak mendengar.
“Jana, tidak semua anak dibesarkan oleh ibu penyayang seperti ibumu. Tidak semua orang tumbuh dalam keluarga penuh cinta seperti keluargamu. Kau tahu kan aku piatu sejak kecil, lalu diadopsi keluarga kaya. Setelah ayah-ibu angkatku dikaruniai keturunan, mereka melupakan dan bahkan sering menyiksaku. Banyak hal yang tak kupahami sebagai seorang anak. Kadang …”
Jana bangkit dan memeluk sahabatnya. Keduanya terisak dalam keharuan.
“Ibu?”
“Ja..Jana?”
“Aku ingin pulang.”
“Sepuluh tahun sudah, Nak.” Bu Siwi tak sanggup membendung air mata.
“Rumahku mewah, tapi terasa hampa.” Tangis Jana tak tertahankan lagi.
“Pulanglah, Nak.”
“Maafkan aku, Ibu. Aku ingin pulang ke rumahmu. Tidak ada rumah paling indah selain cinta dan dekapanmu.”
Jana terisak bahagia saat menutup telepon. Dengan menumpang penerbangan pertama, esok ia akan mengunjungi rumahnya. Rumah yang akan menjadi saksi setiap kesuksesannya.
hmmm cerpen penuh kehome sick an ya mbak
LikeLike
Bukan sekadar kerinduan, Mas Rinem, tetapi juga kemustahilan bahwa manusia bisa jauh (lepas) dari apa saja yang disebut ibu, induk, akar, pertiwi, atau apa pun namanya. Sejauh apa pun langkah kita, akan selalu ada ruang kosong di hati yang hanya bisa diisi oleh kerlip cahaya ibu. Ada jarak sejarah yang hanya mampu dikikis oleh kehadiran seorang ibu, baik secara fisik maupun imajiner. Terima kasih atas kunjungan Anda, Sob 😀
LikeLike
Jana rumahnya dimana? Mampir dong ke rumah bunda…
LikeLike
Yogya Mbak, deket ga sama rumah Mbak Niken? 🙂
LikeLike
salam kenal
kunjungan perdana, khas dari ff,pf..akhir yang mengejutkan 😀
LikeLike
Salam kenal balik, Sob. Terima kasih atas kunjungan Anda. Semoga hasil lombanya juga mengejutkan 🙂 Selamat Tahun Baru! Semoga 2013 menjadi tahun indah dan penuh berkah bagi Anda ya…
LikeLike