Dalam tulisan sebelumnya, saya berkisah tentang keasyikan menggeluti puisi pascalulus SMA. Tidak hanya membaca banyak puisi karya beragam penyair, tetapi juga kerap mendapat serangan menulis puisi. Puisi sering lahir tanpa rencana. Tiba-tiba ada serangkaian kata atau metafora yang minta ditulis menjadi larik-larik puisi. Namun tak jarang pula saya merencanakan menyusun puisi tentang tema tertentu atau subjek yang memang ingin ditulis.
Hapus dan pindahkan
Puisi-puisi pun menumpuk, baik tersimpan di komputer rental maupun dalam catatan folder di kos. Atas usulan seorang teman, sebut saja Andy, saya pun menyalin semua puisi ke dalam disket lalu memindahkannya ke dalam komputer baru miliknya. Puisi di komputer rental langsung saya hapus semua. Puisi-puisi yang masih dalam bentuk tulisan tangan segera diubah menjadi versi digital alias file di komputer. Dengan mesin printer barunya, saya diperbolehkan mencetak semua puisi yang ada. Ada seratus lebih.
Setelah keluar dari mesin printer, semua puisi lalu difotokopi menjadi dua salinan dan dijilid menjadi dua dua buku kumpulan puisi. Buku puisi (asal-asalan) tersebut dibalut dengan sebuah gambar hasil coretan (asal) seorang teman satu kamar kos. Notasi Telaga adalah judul yang kami pilih untuk menyebut buku tersebut. Judul buku ini meminjam salah satu puisi saya yang pertama kali dimuat di media massa, yakni puisi yang saya persembahkan untuk seorang guru selepas SMA.
Antologi puisi pertama
Berikut bunyi puisi tersebut:
Notasi Telaga
Bundabukankah sebenarnya bulan adalah matahari
yang lelap menikmati pemandangan terpencil
dari lubuk kolam dan telaga?ataukah lekatnya mata yang tak berkedip
telah menyimpan sejuta gambar
wajah-wajah tebal mengunci rapat
mulut sungai dari butir-butir air terpencar
ke segala persimpangan muarabening air mendekap lumpur pada balok-balok nada
yang tak pernah dimainkan manusiasebait sebait dipilih gembala sebagai kata
: aku tak bermimpi jadi komponi
sebab aku takkan berhenti
untuk memilih
Jangan tanya apa isi puisi itu. Awalnya saya hanya meragukan bahwa jangan-jangan rembulan dan matahari adalah satu objek yang sama. Walaupun pengetahuan ilmiah jelas menegaskan perbedaan keduanya, namun saya seolah ingin membantahnya dengan fakta puitis bahwa keduanya sama: rembulan adalah matahari yang kemalaman. Lalu bait-bait berikutnya lahir begitu saja.

Andy berulah, rupiah bertambah
Kala itu belum ada tren penerbitan indie dengan sistem percetakan digital yang bisa mencetak order minimal seperti sekarang. Notasi Telaga boleh dibilang adalah buku antologi puisi pertama saya, yang dicetak tanpa penerbit dan tanpa ISBN tentunya. Salinan buku pertama saya simpan sebagai dokumen pribadi, satu salinan lagi saya hadiahkan kepada Andy si pemilik komputer dan printer yang juga menyukai puisi.
Diam-diam Andy ternyata membawa Notasi Telaga ke kampus saat kuliah. Walhasil, banyak teman seangkatan yang berminat membelinya. Walau bingung kasih harga, akhirnya kami memperbanyak juga dengan metode memfotokopi isinya dan mencetak sampulnya dengan printer milik Andy. Lumayanlah hasilnya buat tambahan uang makan, hehe. Kala itu tak terbayang bahwa teman-teman akan sudi membelinya. Antara kasihan dan kagum kadang tipis bedanya. Tapi lembar rupiah jelas begitu menggoda. 😀
Ini baru versi fotokopian. Di luar dugaan saya, ternyata puisi-puisi dalam buku tersebut akhirnya menemukan sebuah penerbit dari Bandung dan diterbitkan menjadi buku kumpulan puisi dengan judul baru. Royalti pun mengalir. Kisah selengkapnya akan saya tuturkan dalam post berikutnya. Terima kasih.
Keren kang, dari cetak sendiri dengan bantuan teman, bisa tembus ke penerbit resmi. Ini karunia dari Tuhan.
LikeLike
Alhamdulillah, Mas. Semua terjadi tanpa rencana karena saya sendiri memang tidak pede dengan puisi-puisi itu. Dua jilid buku buat saya dan Andy semata-mata buat dokumentasi pribadi saja mengingat ada upaya membajak dan kalau-kalau file-nya rusak masih ada backup dalam versi cetak. Diterbitkan dan dijual di toko-toko buku sungguh di luar imajinasi saya, walaupun tentu saja sangat gembira 🙂
LikeLike
Aku kok mbiyen ga dikasih sih?? Sya menuntut keadilaaann!!!!
LikeLike
Menuntut keadilan? Apalah yang telah kuperbuat Nok? xixixixi. Dirimu mah somse bingits sewaktu kuliah. Aku mah ga ada di radarmu keleus hehe 😦
LikeLike