Plung! Plung! Begitu bunyi benda yang kecemplung ke dalam air. Air berkecipak, menciptakan lingkaran berlapis yang segera menghilang menelan benda yang kecemplung.
Plop! Saya baru mengenal istilah plop dalam bahasa Inggris yang bisa dipadankan dengan kecemplung atau bunyi kecemplung ke dalam air, entah di ember, sumur, kolam, danau, atau lautan.

Bunyi plop atau kecemplung mengingatkan pada memori masa kecil. Saat masih SD, saya dan kawan-kawan terbiasa buang hajat di tambak menjelang isya dan shalat tarawih. Harap maklum, jumlah kakus yang ideal tidak sebanyak zaman sekarang.
Untunglah ada tambak punya kepala dusun yang bisa menampung residu dari dalam tubuh ini. Semacam simbiosis mutualisme. Kami lega mengeluarkan kotoran, pemilik tambak dapat asupan makanan gratis untuk ikan mas dan combronya.
Di tengah kegelapan sawah, kami menikmati momen itu. Mengobrol tentang apa saja ditingkatkan suara plung plung, plop plop kotoran yang meluncur ke air dan segera diperebutkan sekawanan ikan yang gembira ria.
Sesekali ada yang usil. Diambilnya pucuk padi yang penuh butir untuk dicelupkan pada himpunan ikan yang berkompetisi cari makan. Satu dua ekor ikan ikut terangkat akibat menggigit butir-butir padi itu. Namun kami tak mengambilnya. Ikan terlepas lagi ke dalam air, bergabung dengan teman dan keluarganya.
Plung, plung, begitulah suara mereka saat kembali menembus air tambak. Tak ada yang kami sesali karena bukan milik kami, apalagi yang plung sebelumnya hehe.
Kenangan sepele, tapi indah. Entah buat pembaca. 😁
Hahaa plop,masih gagal paham
LikeLike
Gagal paham justru lebih bagus, hahahaha… 😊
LikeLike
Haha postingannya unik dan jarang nih belalang cerewat wkwk
LikeLike
Siiip, kalau gitu ngopi dulu hehehe…
LikeLike
jaadi maksutnya plung itu….itu yaa…duh hehe
LikeLike
Awalnya sih iya, tapi bisa juga sebagai simbol atau pelajaran bahwa kalau ada yang hilang dari diri kita, relakan saja. Boleh jadi itu ‘kotoran’ yang membersihkan jiwa atau harta. Apalagi ternyata bukan milik kita.
LikeLike
aish.. aku malah jadi gagal paham soal makna artikel ini..
jadi keinget pas masih TK dulu, jatah hunian di PT belum support wc seperti sekarang.
Jadi cuma berbekal batang pohon kelapa ama karung putih untuk menutupi badan, kami bisa bersenda gurau sambil diiringi suara plung dan plung..
LikeLike
Makin enggak paham, makin bagus Di, hehe. Kok sama, di desaku juga waktu itu banyak yang bikin kakus model gitu. Karung putih didirikan pakai kayu seadanya, di dalam bilik dikasih lubang plus bambu sebagai pijakan. 😀
LikeLike
Itu kalo yang plung laki-laki biasanya ikan-ikan ga mau pergi walaupun plungnya sudah habis…ikan-ikan tetap menunggu di bawahnya, tapi kalau yang plung perempuan, habis plung ikannya berebut … habis rebutan ya langsung pergi
LikeLike
Tahu aja nih, Kang Nur hahahaha…
LikeLike
Tahu dong… kalau yang BAB laki-laki itu ikan-ikan akan menunggu yang gondhal-gandhul di atas… yang tidak segera jatuh… padahal itu kan ga bakalan jatuh
LikeLike
Malah diperjelas 😁
LikeLike
Jadi ingat masa kecil di Siantar, Sumatera Utara.
Paling menderita jika mules dan harus terbirit-birit ke sungai yang nun jauh di sana.
Walhasil, tidak semua tereksekusi sempurna.
Hmmm… baiknya aku tunda saja lelanjutannya.
Silahkan lanjutkan mandiri ya kaka…
Hahaha…
LikeLike
Haha, bisa dibayangkan menderitanya berhajat yang tidak tuntas ya Mbak. Dilanjutkan diam-diam aja hehe 😀
LikeLike
baca judulnya aja saya udah bayangin itu plung2…
LikeLike
Bayangin ikan-ikan yang banyak kan….
LikeLike
plop plung dan plong rasanya bagi sang pemilik perut 😀
LikeLike
Sangat puas, seperti terlepas dari separuh beban dunia, haha.
LikeLike