Kenaikan Harga, Siapakah yang Bertanggung Jawab?

Begitu Ben Huberman melemparkan tema hike, bukan jalan-jalan di alam bebas atau pedesaan yang terbayang. Meskipun saya suka alam dan terutama daerah pegunungan, namun kebutuhan ekonomi nyatanya lebih menarik untuk ditulis, hehe. Saat membaca kata hike, yang spontan terbetik dalam pikiran adalah frasa price hike alias kenaikan harga.

Betapa tidak, bagi kami yang sudah bukan lagi karyawan, fluktuasi harga barang-barang sangatlah menentukan. Apalagi dua tahun terakhir kami serius menggeluti bisnis pangan yakni wingko babad. Penganan manis yang lebih banyak dikenal khas Semarang ini berbahan utama tepung ketan, kelapa, dan gula. Tepung ketan termasuk berada pada harga yang stabil mengingat kami berlangganan di sebuah toko grosir raksasa asal Korea. Harganya relatif bisa ditoleransi apalagi karena dibeli dalam jumlah banyak.

gula
Gambar dari katalogpromo.org

Gula dan Kelapa Berulah

Yang cukup merepotkan adalah harga dua komponen utama lainnya yakni gula pasir dan kelapa. Sejak menjelang lebaran hingga satu bulan setelahnya harga gula melambung seperti tak terkendali. Meroket tinggi seperti pasar menggila. Entah siapa yang mesti bertanggung jawab. Menurunnya penjualan ditambah meningkatnya harga gula memaksa kami melakukan moratorium alias berhenti produksi selama beberapa waktu.

Selepas Lebaran Haji harga gula perlahan turun meskipun masih terpaut cukup besar dari harga sebelumnya. Maklumlah, bagi pedagang angka ratusan rupiah pun sangat dihitung karena kebutuhannya cukup banyak dan harus diperhitungkan dengan rasio potensi penjualan dan komponen harga lain. Ongkos sablon plastik, harga boks, dan lain-lain turut menjadi pertimbangan.

Belum lagi harga gula kembali normal (which is improbable), harga kelapa ikut menguat. Naiknya sampai 20%. Melonjaknya harga kelapa, menurut pengakuan penjual, adalah lantaran langkanya kelapa di pasaran. Kelapa yang biasanya didatangkan dari Banten dan Lampung entah mengapa mendadak sulit didapat. Entah pohon kelapa mogok berbuah, ataukah ada yang memborong–tak ada kepastian.

Mengandalkan-Mu

Lebaran Haji tahun lalu kelapa bahkan sulit didapat–paling tidak yang sesuai kriteria untuk pembuatan wingko. Saat ada pun, harganya naik hingga 50%. Karena penjual langganan saya harus membeli dari penjual lain di Pasar Bogor, bukan dari petani sehingga harga terdongkrak naik. Kali ini pun skenarionya serupa. Penjual langganan membeli dari penjual lain sehingga harga jual cukup tinggi per butirnya. Mereka bahkan sempat dua hari berhenti berjualan lantaran kelangkaan kelapa.

Jika sudah begini, bukan pada pemerintah atau partai politik kami mengadu. Rasanya tak ada yang mendengar betapa sulitnya pedagang kecil mengumpulkan recehan. Tak ada yang peduli apakah kami akan survive atau kolaps. Kepada Tuhanlah kami meminta, hanya kepada-Nyalah kami curhat.

“Ya Allah ya Rabb, tumbuhkan butir-butir kelapa yang ranum untuk mengemas rezeki kami. Suburkanlah pohon-pohon kelapa para petani di mana pun berada agar sampai kepada kami sebagai rahmat bagi semua.”

12 Comments

  1. kalau udah harga2 naik rasanya pengen deh bisa nanam semuanya sendiri ya..
    tapi nunggu kelapa berbuah ya lamaaa..

    kalau aku nih harga cabe naik pengen nanam cabe, cari jeruk nipis susah pengen tanam jeruk he..he..

    Like

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s