SIAPAKAH YANG TAK pernah gagal? Arianna Huffington menegaskan bahwa kegagalan bukanlah lawan dari kesuksesan, melainkan bagian dari kesuksesan. Dengan demikian, kesuksesan lazimnya terlebih dahulu diwarnai oleh beberapa kegagalan. Kegagalan itu melatih kira untuk kuat. Meski demikian, kesedihan tetap terasa saat kita gagal.
Berdasarkan mengikuti lomba menulis, misalnya, saat kalah tentulah perih di dada. Kendati syarat dan ketentuan dari penyelenggara sudah cukup jelas, ada kadar di mana peserta harus menafsirkan kemauan juri tentang cara mengelaborasi tema atau mendekati tema dengan pola atau sudut pandang yang paling akurat.
Kekecewaan harus dirasakan ketika pengumuman dirilis dan nama saya tak tercantum di deretan pemenang. Barulah tampak pola penyajian yang disukai juri atau panitia yang ternyata luput oleh perhatian atau jangkauan kreativitas saya.
Sedih tentu saja, murung tak dapat dicegah. Bukan, bukan karena kalah lantaran ada yang lebih bagus, melainkan akibat batasan yang menghalangi sudut pandang yang jernih mengenai tema lomba tersebut. Namun lambat laun, rasa sedih bisa terkikis dan semangat pun pulih kembali. Toh masih banyak kesempatan lomba yang lain dengan peluang besar setelah belajar dari kegagalan sebelumnya.
Kegagalan sejati
Namun perihnya belum seberapa. Dalam berperilaku dan beramal baik selama hidup di dunia ini, boleh jadi kita merasa sudah melakukan yang terbaik dan lebih hebat dibanding orang lain sehingga kita merasa jemawa dan yakin akan melenggang ke surga. Ketika tiba dihisab semua amal, ternyata tak satu pun perbuatan baik kita lolos dalam seleksi lantara banyak anasir riya dan pencitraan belaka.
Oh sungguh menyakitkan sebab telah salah menafsirkan kehendak Tuhan. Berbeda dengan lomba yang masih akan datang hari demi hari, kehidupan tak akan berulang. There is no turning back. Penyesalan tiada berguna sebab koreksi sudah mungkin lagi. Ujian telah lewat, tak ada remedi bagi yang hasilnya gawat. Tinggal konsekuensi yang harus dihadapi. Itulah kegagalan sejati.
Yang penting tetap semangat nulis ya mas. Gagal itu hebat….
LikeLike
Tetap semangat!
LikeLike
orang yang taat lebih memerlukan pertolongan Allah karena ia berada pada kondisi yang rawan tergelincir. Karena merasa sangat saleh, seseorang bisa saja punya kecenderungan untuk mengabaikan bahaya dosa-dosa kecil. Karena merasa banyak ibadah, seseorang kadang punya tendensi meremehkan orang lain. Dan seterusnya. Demikianlah, ketaatan membawa jebakan yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam perasaan ‘ujub (bangga diri), angkuh, atau sombong.
Terima kasih pencerahannya.
Salam hangat dari Jombang
LikeLike
Iya, Pakde. Semoga kita bisa terus memperbaiki diri dan tidak meremehkan orang lain karena tampilan fisik semata.
LikeLike