Dua anak terpesona pada ekskavator yang tengah bekerja. Mesin berat itu ditugaskan untuk mengeruk tanah beserta kotoran di depan sebuah sekolah dasar. Air nan pekat dan kotor kehitaman berdebum ketika sekop raksasa menyerok tanah lalu mengangangkatnya ke atas truk khusus. Pengendara motor dan pengguna jalan lain terpaksa memutar arah lewat jalan alternatif agar tak mengganggu proses pengerukan got.
Dua bulan terakhir ini perumahan yang sering kami lewati, tempat di mana sekolah si sulung berada, juga jalur alternatif menuju Masjid Namira, tengah disibukkan oleh pemasangan beton precast untuk membangun gorong-gorong baru sebab saluran air sebelumnya tampak tak efektif menanggulangi banjir jalanan sewaktu hujan deras. Aktivitasnya berdampak positif dan negatif.
Positif dan negatif
Sisi baiknya, got menjadi lebar dan dalam sehingga aliran air diproyeksikan akan lebih lancar demi menghindari tumpahan air hujan ke badan jalan. Dampak buruknya, jalanan menjadi sangat panas sebab pohon-pohon besar harus rela ditebang dan dirobohkan demi memudahkan pemasangan beton. Butuh waktu lama untuk menyaksikan pohon-pohon baru tumbuh sebagai pengganti.
Di tengah debu jalanan yang beterbangan dan tanah-tanah bekas galian yang mencuat, tentu sangat lumrah jika pemandangan mesin-mesin berat masih bertengger di sana sini. Suatu sore ekskavator berdiri kokoh menantang semburat merah di ufuk sana. Bayangannya nyaris segarang kegagahan bodinya yang kekar. Waktu perlahan bergerak hingga gelap mulai menyelimuti malam. Saat itulah dua anak bercakap tentang ekskavator yang mereka lihat.
Sebut saja Haqi dan Sato, keduanya tak dapat menyembunyikan ketakjuban pada alat berat itu. “Wawww, keren banget!” sergah keduanya sewaktu melewati sebuah ekskavator di tepi kanan jalan. “Aku mau jadi pengendara buldoser itu!” ujar Sato dengan suara nyaring tanpa peduli mesin yang ia lihat bukanlah buldoser. “Aku pengin jadi insinyurnya!” pekik Haqi tak kalah girang. Selama ini sudah jadi kebiasaan Haqi menggambar alat-alat berat termasuk truk trailer dan ekskavator.
Spektrum aspirasi
Begitulah kacamata anak-anak. Keluguan mereka tak gentar oleh cemoohan orang lain, dalam hal ini orang dewasa. Kata-kata berupa aspirasi masa depan atau cita-cita meluncur tanpa berat hati. Satu mesin besar berdiri di depan mereka, dua bayangan cita-cita tergambar di benak mereka. Bayangkan jika ada 10 anak yang menyaksikan ekskavator ini. Mungkin akan muncul spektrum keinginan yang beragam tanpa malu atau terbebani.
Bandingkan dengan iklim politik tanah air di media sosial menjelang pemilihan presiden tahun depan. Melihat dua sosok capres yang akan bertarung, nyaris tak ada kreativitas yang lahir selain dikotomi cebong dan kampret yang sama-sama menyebalkan. Kalau Anda bukan cebong, berarti Anda kampret dan berlaku sebaliknya. Tak ada arus lain, tak ada spektrum warna dukungan. Keduanya tak memberi ruang bagi ragam ekspresi yang lebih santun dan meneduhkan. Mereka boleh jadi tak semata-mata mencerminkan pendukung asli kedua capres, namun aura di jagat maya begitu kental dengan permusuhan. Kubu lain bukan lagi lawan, melainkan musuh yang harus dihancurkan. Saling menghancurkan.
Apa yang bisa kita harapkan dari pola penyerangan yang tidak kreatif seperti ini, BBC Mania?
Jangankan anak kecil, aku aja selalu senang dan takjub melihat alat2 berat yg besar spt ini.
LikeLike
Takjub ya Mbak karena enggak selalu ada di sekitar kita. Beda ma kendaraan penumpang.
LikeLike