Semalam di Jombang: Dari Tahu Solet Hingga Charly Van Houtten

Setelah meninggalkan rumah Pakdhe, Mas Azzet segera membawa saya meluncur ke rumahnya di Banjardowo. Kami sengaja melewati jalanan kampung agar tidak perlu memutar seandainya memilih jalan raya. Walau ada sebagian jalanan yang aspalnya telah rusak dan berlubang, pemandangan dari pematang ke pematang cukup meneduhkan mata, apalagi udara sedang sejuk setelah hujan batal turun.

Sebagian besar sawah sudah terendam air dan siap ditanami padi, namun tak sedikit sawah yang ditanami semangka dibiarkan begitu saja sebab hama tikus seolah tak terkendali. Di sana sini tampak butiran semangka teronggok tanpa isi akibat dirusak binatang pengerat tersebut. Sulur yang merambat tercerai-berai di atas tanah lembap. Sejenak saya teringat maraknya binatang yang sama di rumah Lamongan yang juga sedang merajalela.

Aneka buah penggugah selera

Kira-kira menjelang pukul 4 sore kami tiba di rumah Mas Azzet. Saya langsung betah sebab aura pedesaan kental di sana. Jauh berbeda dengan kampung saya yang sudah banyak berubah. Di tempat Mas Azzet tanah kosong (atau disebut lalatan di Lamongan) masih banyak tersedia. Rumah-rumah dibangun di tengah lahan dengan pekarangan yang mengepung. Tak heran jika aneka sayuran dan buah tumbuh subur di sana. Saya bisa dengan mudah memetik buah tin, jeruk purut, blueberry, mangga, belimbing, lidah buaya, dan sebagainya. Lalapan kangkung yang saya santap esok harinya pun cukup dipetik dari pekarangan depan. Disantap dengan sambal terasi segar dan nasi hangat, waduh—lezaaat! Serius, saya sampai nambah … hehe.

Nah, soal makan di rumah orang, entah kenapa saya sangat menikmatinya sejak masih kecil dulu. Sensasinya luar biasa ketika mencicipi masakan yang diracik tangan ibu teman-teman saya sewaktu SD hingga SMA, bahkan kuliah. Menu yang sama pun bisa bercita rasa berbeda ketika digarap oleh koki yang berbeda, dalam hal ini para ibu rumah tangga. Saya patut menduga itu mungkin lantaran keikhlasan hati dan dedikasi mereka yang telah berpuluh tahun memasak untuk keluarga. Walau tak menampik makan di luar, menyantap masakan rumahan punya keunikan tersendiri. Tak ada ceritanya makanan tak enak di rumah teman-teman yang pernah saya kunjungi!

Charly azan di sini

Setelah mandi dan berganti pakaian, kami menuju ke musholla tak jauh dari rumah. Bahkan sangat dekat karena cukup ditempuh dengan beberapa langkah. Beres shalat Ashar, barulah saya minta Mas Azzet untuk mengabadikan foto saya di depan prasasti pendirian musholla tersebut. Loh, apa pasal? Gara-gara Charly. Kalau boleh jujur, saya termasuk orang yang tak suka difoto, apalagi selfie. Kalau bukan karena tuntutan lomba atau kesempatan kopdar, saya sering enggan menampilkan diri di depan kamera. Cenderung kikuk dan tak leluasa, entahlah.

Sobat BBC Mania yang pernah mengikuti berita infotainment mungkin paham bahwa musholla ini diresmikan oleh Charly Van Houtten vokalis ST12 yang kesohor itu. Tujuh tahun lalu Charly mengumandangkan azan Magrib sebelum meresmikan penggunaan musholla ini. Saya baru tahu ternyata Rifai Madkur adalah pengacara artis yang sering bergerilya ke kampung-kampung di Jombang untuk menemukan lahan kosong yang siap dihibahkan lalu dia mendanai pembangunan musholla sebagai tempat shalat berjemaah bagi warga yang jauh dari area masjid utama. Jadilah tercipta foto canggung berikut ini, haha.

Jengkerut dan calon pengarang

Rampung dari musholla, kami beringsut ke kursi panjang di teras rumah. Damai sekali, tanpa perlu mikir deadline pekerjaan atau gegap gempita lomba, hihi. Sementara Mas Azzet mengupas dua butir mangga besar yang matang di pohon, saya asyik mengagumi buah tin yang baru pertama saya saksikan dan pegang-pegang. Baru beberapa potong mangga saya embat, ayah Mas Azzet muncul dengan membawa jengkerut dalam stoples bekas biskuit. Hari gini enggak paham apa itu jengkerut? Please, Google aja haha …. Ini makanan masa kecil, tetap enak walaupun saat itu sedikit melempem karena tutup stoples mungkin tak ditutup sempurna.

Sebagai sesama pegiat di dunia perbukuan dan terutama penyuka karya sastra, topik perbincangan kami tak jauh dari tren buku yang sedang digandrungi pembaca muda, kegiatan sastra di Jogja, sejumlah nama penyair atau sastrawan, dan tentu saja besaran royalti seorang penulis muda yang bikin mata melotot. 1,5 M rupiah! Tapi kami bukan mata duitan, jadi tak banyak bahas soal royalti. Masalah sebenarnya adalah sebab saya tak pernah sampai pada angka itu, hehe. Satu-satunya antologi puisi tunggal yang sempat terjual hingga 2000 eksemplar pun royaltinya tak sampai menyentuh tiga juta. Namun yang lebih penting dari itu, besarnya nominal royalti tersebut menandakan masih bergairahnya pasar perbukuan di tanah air dan semoga diimbangi dengan isi yang bergizi.

Sembari bercakap-cakap, adik ipar Mas Azzet sempat nimbrung karena ia ternyata juga berasal dari Lamongan. Entah karena tak banyak omong atau memang pemalu, dia tak banyak bersuara kecuali saya tanya. Beda banget sama saya kan, disuruh berhenti pun masih terus berbicara! Sambil menunggu azan Magrib, sesekali percakapan kami disela oleh tiga keponakan Mas Azzet yang mengajukan beberapa pertanyaan saat melengkapi LKS dari sekolah. Yang paling mengejutkan, salah seorang dari mereka yang kalau tak salah bernama Ifa menunjukkan sepenggal karangan pendek yang menurut saya sangat menjanjikan sebagai pengarang jika ia terus berlatih. Kalimatnya sudah efektif dan kata-katanya mudah dipahami. Ide mengalir dan tersampaikan dengan lugas walau ada fragmen yang masih dipengaruhi oleh gaya tutur bahasa Jawa.

Nasi kikil bikin lidah usil

Magrib pun berlalu. Tentu masih di musholla yang sama. Selepas magriban, kami kembali merapat ke bangku di teras. Mas Azzet mengusulkan agar saya mencicipi menu kuliner khas Jombang yakni nasi kikil yang sepanjang siang kami obrolkan di rumah Pakdhe. Karena terlalu jauh, maka kami berempat tak jadi menyantapnya. Malam itu Mas Azzet akhirnya mengantar saya ke bilangan Mojosongo tempat nasi kikil enak yang biasa disambangi mendiang Gus Dur.

Dengan mengobrol sepanjang jalan, sebenarnya lokasinya tak terasa jauh. Bagi saya sih No, enggak tahu kalau Mas Anang! Kedai nasi kikil ini terletak tepat di pinggir jalan raya ke arah luar Jombang. Saya lupa nama kedainya, tapi orang kadung menyebutnya Nasi Kikil Kesukaan Gus Dur sebagaimana tertulis di poster depan warung. Selain banyak foto artis yang pernah makan di sini, tentu saja Gus Dur sering singgah ke sini sewaktu beliau masih hidup.

Kesan saya saat menyantap nasi kikil khas Jombang adalah enak. Saya langsung suka. Kikil adalah bagian tertentu dari kaki sapi atau kambing, di Lamongan juga kerap dimasak menjadi semacam soto namun disajikan dengan lontong. Nasi kikil Jombang diolah dengan santan dan pedasnya pas dengan irisan tewel atau nangka muda yang bikin semakin gurih. Daun jeruk membuat masakan ini semakin sedap, duh ngiler deh baru bayangin! Sebenarnya pengin nambah, cuma perut sudah cukup terisi aneka makanan sejak sore di rumah Mas Azzet. Di kedai ini Mas Azzet banyak cerita soal kehidupan di Jogja, terutama seputar pengelolaan masjid yang kini pengurusannya ia pimpin.

Tahu solet dan kecap lezat

Kenyang, kami pun meluncur ke alun-alun tempat Mas Azzet biasa menyantap tahu solet. Penjualnya sudah akrab karena Mas Azzet sudah jadi pelanggan. Tahu solet sebenarnya tahu putih biasa yang diiris persegi panjang lalu digoreng. Jika tahu di tempat lain kadang terasa asam, tahu Jombang ini murni tanpa rasa. Untuk menikmatinya, tahu disobek atau disolet kemudian diisi sambal petis yang pedas. Hmm, yummy! Jika ingin variasi, tahu goreng cukup dicocol garam dan disantap dengan cabai mentah. Enak enak enak. Selain tahu solet, saya sempat mencicipi gorengan dari tempe mbos yang tak boleh dilewatkan.

Kami pulang karena belum menunaikan shalat Isya. Setelah bersih-bersih dan mengobrol sejenak, kami beranjak tidur. Kenyang dan tenteram. Sebenarnya ada agenda untuk berkunjung ke seorang guru di desa yang sama, namun sayang tak terlaksana. Tak apa, saya memang harus balik ke Jombang. Bukan hanya untuk melahap nasi kikil bersama keluarga, tapi juga memborong kecap Cap 2 Ikan Loreng dan jenang kelapa yang esok harinya saya bawa sebagai oleh-oleh.

Penasaran bagaimana kelezatan kecap produksi lokal yang konon lebih nendang ketimbang merek pabrikan kondang bagi warga setempat? Datang dan rasakan sendiri. Terima kasih, Mas Azzet atas keramahan menyambut saya selama semalam. Maturnuwun, Pakdhe atas kesudian kami sambangi di siang yang riang. Tak lupa terima kasih juga buat Mas Jun yang membekali saya dengan dua bungkus kopi Excelsa yang uwow banget rasanya. Sampai jumpa lagi di Wonosalam saat kita menjelajahi kebun kopi dan menikmati segarnya air terjun.

This is the beauty of blogging, kata Om NH. Bukan begitu, BBC Mania?

Advertisement

7 Comments

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s