Suatu siang, belum lama ini, seorang ibu tunggal berkunjung ke rumah kami. Suami sang ibu meninggal sekitar dua tahun lalu dan kini wanita tersebut merawat tiga buah hati mereka. Si sulung cewek tengah menempuh kuliah pada tahun awal, si tengah cewek di SMP, dan si bungsu cowok kelas 3 SD. Pada bulan Ramadhan kemarin si ibu kami undang untuk menerima bingkisan istimewa dan uang saku dari para donatur NBC (Nasi Bungkus Community).
“Heran juga ya Bu kenapa harus dikomentari begitu,” ujar si ibu kepada istri saya dengan suara penuh kepedihan. Ia menceritakan seorang tetangga yang mencemoohnya akibat menguliahkan si sulung. Ia tak habis pikir kenapa tetangga tersebut bisa berpikir demikian.
“Buat makan sehari-hari aja susah, pakai sok nguliahin anak?!” begitu sergah si tetangga yang juga seorang ibu. Saya tengah me-layout naskah tesis di dalam kamar saat mendengar penuturan sang single mom itu. Seketika saya muntab; darah menggelegak seolah-olah pengin menapuk lisan si tetangga. Tapuk adalah kata berbahasa Jawa yang berarti aktivitas menampar dengan kekuatan ringan tapi bertenaga sehingga menimbulkan sensasi panas pada hal yang ditapuk.

Apa urusanmu?!
Kalau tak sanggup membantu, sebaiknya diam saja. Mind your own business! Ibu itu tak pernah mengeluhkan kesulitan ekonominya kepada si tetangga, jadi kenapa pula ia repot mengambil kesimpulan bahwa ia kerepotan makan sehingga tak perlu menguliahkan anaknya. Kalaupun ia repot, itu urusannya sendiri—ia sebagai tetangga tak perlu ikut campur atau mencibir.
Ibu itu kini bekerja serabutan sebagai babysitter anak tetangga dan berjualan apa saja yang menghasilkan uang. Ia bercerita bahwa ada saja rezeki sewaktu si sulung harus membayar uang kuliah. Itu bukti bahwa setiap usaha, apalagi untuk kegiatan positif demi pendidikan anak, pasti dimudahkan jalannya.
Menyinyir atau cibir-mencibir rupanya tak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya. Kemajuan teknologi terutama media sosial rupanya memang menyihir manusia modern. Sayang sekali, tidak semuanya memanfaatkan untuk meraup manfaat. Sebaliknya, tak jarang sebagian menggunakan medsos untuk menggiring opini untuk membenturkan dua hal yang seolah dikotomis; menciptakan kubu-kubu yang seolah berlawanan padahal tidak demikian asalnya.
Kenapa harus dipertentangkan
“Aku mah enggak bangga kalau anak hafal Quran. Lebih bangga kalau anak bisa mengamalkan isi Al-Quran.” Begitu bunyi sebuah status di linimasa Facebook. Komentar pun segera menyusul, saling membela dua opsi yang seolah-olah bertentangan. Padahal dua hal itu tak selayaknya dipertentangkan. Anak yang hafal Quran ya bagus, bisa mengamalkan isinya juga bagus. Kenapa juga tak mendambakan keduanya sebagai sesuatu yang ideal? Ya hafal ayatnya, bagus akhlaknya, mengamalkan isinya. Ya toh? Tak perlu berdebat mengenai hal yang sama-sama substansial. Mother yes, no nyinyir. Mbok ya jangan mencibir.
Working mom vs stay-at-home mom
Contoh lain, soal working mom versus stay-at-home mom. Ini juga tak ada habisnya. Debat kusir muter-muter kayak gasing. Orang usil memang pemicunya. Suatu hari saya baca status seorang wanita bekerja yang meledek atau menyindir ibu-ibu rumah tangga yang tidak bekerja di kantor. Betapa menyedihkan kehidupan mereka karena tak punya penghasilan sendiri untuk menyenangkan diri sendiri. Komentar pun membanjir—saling menyerang dan membela. Padahal dua kondisi ini bukan soal benar atau salah.
Secara semantik, penggunaan frasa working mom sebenarnya taksa alias kabur dan meragukan. Adanya kata working seolah menegaskan bahwa hanya wanita karier saja yang working (bekerja). Faktanya, selama 9 tahun mendampingi istri yang stay-at-home sebagai ibu rumah tangga, saya menyaksikan betapa pekerjaan seorang ibu tanpa pembantu sungguh tidak berkesudahan. Dari pagi hingga malam semua slot waktu penuh dengan aneka pekerjaan. Tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikis dan memeras pikiran. Maka tidak betul bila dikesankan ibu rumah tangga itu TIDAK bekerja sebab nyatanya aneka tugas dan pekerjaan mereka tiada henti.
Kembali ke pro-kontra ibu bekerja. Mbok ya jangan menyinyir dan tak perlu dibandingkan atau malah diadu sebagai kubu yang harus berteseru. Ibu bekerja di kantor atau di rumah berpihak pada kebahagiaan keluarganya masing-masing. Tak perlu lagi menakar mana yang lebih mulia. Dua-duanya mulia kalau dijalankan dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab. Tanpa dua syarat itu, kita hanya akan berdebat kusir tanpa faedah.
pertimbangan sendiri
Setiap keluarga punya prioritas, derajat kepentingan, dan kondisi yang tidak sama. Bekerja di kantor atau bekerja di rumah sudah diputuskan melalui serangkaian pertimbangan masak-masak demi menjaga kebaikan keluarga mereka. Bukan domain kita untuk mencampuri atau menduga-duga atau bahkan menghakimi tentang jenis orang tua seperti apa mereka di mata kita. It’s completely none of our business. Bukan urusan kita. Termasuk menyimpulkan bahwa tetangga kita kesulitan ekonomi hanya karena anaknya berkuliah sementara kita orang kaya. Tak perlu mencari tahu atau cari alasan agar hal itu jadi urusan kita. Mother yes mind your own business….
Soal lain bisa disusun menjadi daftar yang panjang. Pertentangan anak ASI versus anak sufor, jumlah anak, anak homeschooling dan sekolah konvensional, jomblo yang enggak nikah-nikah, semuanya dinyinyirin, dibahas berlarut-larut seakan-akan satu pendapat saja yang valid. Selagi pilihan orang lain tidak menggangu kita, stop nyinyir! Kecuali bila opsi yang mereka ambil membahayakan tatanan sosial atau kenyamanan bersama, tentu harus ada intervensi. Toh itu pun ada prosedurnya. Bukan menyinyir di medsos semata-mata biar tampak gagah dan dipuji di sini-sana.
So, apa enaknya menyinyir?
Di nyinyirin buat aq sih bodo amat kak, biarpun mereka mau jungkir balik sampe koprol buat kepoin hidup aq juga, aq nyantai aja..
Tentunya aq juga gak mau sibuk2 mikirin hidup orang.
Karena prinsip aq, klo waktunya hidup bersosial ya kita membaur, klo waktunya untuk diri sendiri ya kita butuh menyendiri.
LikeLike
Betul, hidup terus berjalan, enggak perlu mikir pendapat orang asalkan kita enggak melanggar aturan dan merugikan orang lain. Asal jangan kita yang menyinyir. Biarin mereka nyinyir sampai lambene nyonyor wkwkwk….
LikeLike
itu bikin ramai mas, kalau gak ramai kayaknya pada gak suka,
LikeLike
Iya, Mbak Tira. Apa-apa dibikin heboh dan harus diperseterukan.
LikeLike
Mengurusi hidup orang lain (dlm hal ini lewat: nyinyir), adalah salah satu cara tercepat melarikan diri dari memikirkan masalah pribadi.
LikeLike
Saya pikir demikian, biar enggak kepikiran masalahnya sendiri plus kadang mengiri pada kehidupan orang yang dinyinyiri.
LikeLike
100 untukmu!
LikeLike
Lisan itu cerminan akhlak. Dan PR buat kita semua adalah menjaga lisan ini. Kadang kita memang ga sadar kalo ucapan kita menyikiti orang.
LikeLike
salah satu efek samping dari medsos, segala hal yang diposting pasti dikomen. saya pribadi,kalo ada yang komen negatif langsung delete dan lupakan. banyak hal lain dalam hidup kita sendiri yang harus dipikirkan, ga perlu mikirin hidup orang lain. karena esok di akhirat kita ga ditanyain tentang kehidupan orang lain. Baarokallahu fiik untuk tulisannya Pak Rudi
LikeLike
Iya, Kak. Baiknya kita rajin introspeksi karena pasti banyak kekurangan daripada mengoreksi kondisi orang lain. Bakal meras lebih baik atau lebih mulia, jangan sampai ya. Belajar dan terus belajar.
LikeLike
Semacam sihir kalau lingkungan pada suka nyinyi semua, kadang keikut juga 😥
Padahal udah tau juga ada hal yang lebih penting yang harus dilakukan. Asli nggak enak kok kak, apalagi dinyinyirin. Berasa kek penuh kekurangan aja nih hidup. Anw, ibuku juga pernah dinyinyirin macam cerita di postingan ini. Makanya, sampai kapan pun kekuatan batin yg dimiliki ibu benar2 pengen ku apresiasi sebanyak2nya.. Tanpa beliau, entah aku bakal jadi kek apa..
LikeLike
Lanjutkan proses kreatif dan kebaikan, asalkan tidak menggangu orang lain atau norma agama.
LikeLike
Siaaaap kak 🙂
LikeLike
Menyinyir seolah jadi kayak hal yang biasa ga sih. Banya banget yang nyinyir, meski sebnernya mereka tau bahwa itu.. ya ngapain nyinyir seh
LikeLike
Ga da gunanya, malah berbahaya kalau sudah terbiasa.
LikeLiked by 1 person
Siaaaap kak 🙂
LikeLike
Karena kita tidak terbiasa dengan perbedaan pendapat.
LikeLike
Seolah-olah kondisi yang berbeda harus diperdebatkan.
LikeLike