“Jare Kanjeng Nabi nek dodolan nang masjid iku engko ga laku!” ujar seorang pria paruh baya seketika kepada saya yang tengah berdiri di bawah minaret Masjid Agung Lamongan suatu sore. Kalimat dalam bahasa Jawa itu kira-kira berisi peringatan bahwa berbisnis di masjid dilarang agama. Saya setuju dengan peringatan bahwa rasulullah memang mengharamkan transaksi bisnis apa pun di masjid.
Yang tak saya sepakati adalah caranya mengingatkan seolah-olah langsung menghakimi. “Hehe, niki sanes sadean, Pak. Niki gratis saking komunitas sedekah,” jawab saya santai sambil tersenyum yang membuat Pak Tua tercekat seketika sehingga menceracau dengan mengatakan sejumlah kalimat spontan. Tiba-tiba tanya asal saya mana, yang saya jawab dengan nama kecamatan, dan disambut dengan pertanyaan lain seperti nama mantan dankoramil yang saya tak kenal. Sejujurnya saya tak peduli.

Sore itu, menjelang magrib, komunitas Nasi Bungkus Community (NBC) tengah menggelar makan gratis buat pengunjung masjid kota Lamongan yang berlokasi tepat di seberang alun-alun. Menu nasi boranan yang kami sajikan waktu itu. Sebelumnya, selepas Asar kami membagikan rawon di Pasar Sidoharjo yang baru. Karena nasi boranan masih utuh, kami pun memutuskan untuk membagikannya di area Mmasjid Agung tentunya atas seizin pengelola setempat.
Klarifikasi sebelum menghakimi
Kejadian di atas hanya salah satu contoh dari begitu banyaknya gejala sosial yang menilai atau menghakimi orang lain tanpa terlebih dahulu mencoba mengorek informasi. Tanpa menggali keterangan, tapi tergesa menyalahkan. Bukan tergerak mencari tahu alasan, tetapi langsung membuat pernyataan bernada serangan. Menyusun asumsi sebelum mengklarifikasi.
Saya teringat tulisan Mas Ari di blognya tentang alasan orang tak punya mobil yang ternyata bukan lantaran tak punya uang. Banyak pertimbangan orang untuk tidak memiliki kendaraan roda empat, begitu juga sebaliknya. Tak layak bagi kita untuk menyalahkan atau menghakimi pilihan masing-masing sebab itu keputusan yang akan mereka tanggung sendiri, tanpa sumbangsih dari kita sepeser pun.
Orang beli mobil bisa jadi biar mudah saat mengangkut barang yang ia jual. Atau mungkin demi kenyamanan ketika menuju ke masjid dan rumah sanak kerabat dalam rangka silaturrahim. Sebaliknya, orang tak punya mobil juga punya petimbangan. Karena memang belum perlu lantaran ada taksi online, belum punya garasi dan jalan ke arah rumahnya sempit, serta alasan lain yang tak perlu kita ketahui.
Teh tawar agar sehat
Sama halnya ketika saya dan istri yang memesan teh tawar di sebuah warung atau kedai makan. Tak jarang pelayan atau pemilik warung lantas mengernyitkan dahi atau berubah air mukanya begitu kami tak memesan jus atau es teh seperti arahan mereka. Kami bukan tak punya uang, melainkan sengaja pesan teh tawar sebagai penawar setelah menyantap makanan berlemak, misalnya. Kami di rumah memang penggemar teh tawar, sehingga dari mana pun biasanya langsung bikin teh tawar panas satu rantang. Tanpa gula, tanpa tambahan apa pun.
Sikap menghakimi memang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya seputar makanan dan kepemilikan kendaraan. Juga meliputi hobi dan ibadah. Pilihan profesi tak luput dari sorotan. Pelaku ibadah umrah juga disoroti, dikritik seolah-olah antisosial karena masih banyak masyarakat miskin yang wajib disantuni alih-alih buat umrah berulang kali. Sebagaimana pernah saya bahasa dalam tulisan berjudul Dasar Orang Kaya, Hobinya Pamer Harta!.
Bukan urusan kita
Kehidupan serbadigital entah kenapa malah menyulap manusia modern menjadi serbakepo dan cenderung ingin mencampuri urusan orang lain. Orang jomblo didorong buat menikah cepat-cepat. Pasutri diminta cepat punya anak. Yang sudah punya anak disuruh punya anak lagi, apalagi yang jenis kelaminnya sama, diminta lagi agar sempurna laki dan perempuan katanya.
Apa enaknya menyinyir padahal kita bisa manfaatkan waktu untuk mengerjakan hal lain yang lebih produktif? Menulis, membaca, berkegiatan sosial, menyambangi teman, membagikan ilmu atau keterampilan, semua bisa kita kerjakan tanpa menyusahkan orang lain. Orang mau punya mobil atau tidak, silakan saja. Termauk mereka mau minum dan makan apa di kedai yang juga mereka pilih sendiri. Apa urusan kita dengan mencela tanpa mencoba bertanya?
Kalo kenal Danramil memangnya kenapa sih? Dulu keluargaku masih terhitung kerabat dekat gubernur Sumatera Selatan, nggak pernah jual-jual nama beliau. Apalagi kalau momennya nggak pas begitu. Memang, sikap langsung menghakimi tanpa terlebih dahulu melakukan klarifikasi luar biasa mengerikan di era medsos ini. Kadangkala di taraf menyedihkan.
LikeLike
Itulah, Mas. Zaman maju begini masih ada yang suka jualan koneksi atau relasi sosial, hehe. Basi keuleus, wkwkwkw. Era komptensi dan kualifikasi sekarang mah. Di medosos apalagi, segala urusan bulu ketek artis diurusin, hihi.
LikeLike
Hahahahhahaha
LikeLike
Maturnuwun mas Rudi, sudah berkenan nyolek saya di dalam artikelnya…
Sepertinya yang paling pas adalah tidak men-judge orang lain, terutama yang tidak kita kenal secara personal. Adapun kalau bertanya, sepertnya bersikap asertif akan lebih baik.
LikeLike
Betul, Mas Ari. Kalau urusan pribadi, memang jangan bertanya ya. Jangan cepat menghakimi. Namun untuk urusan sosial seperti contoh yg membuka tulisan, saya pikir lebih baik bertanya dulu ketimbang membuat pernyataan judgmental.
LikeLike
makasih sharingnya, tp banyak yang suka begitu ya mas , kadang suak kesel ngadepinnya
LikeLike
Iya, Mbak. Suka pada kepo padahal bukan urusannya.
LikeLike
padahal aku pesene ses teh pait terus kak, biar tau gimana rasanya paitnya kenyataan hidup..heheh
LikeLike
Jiaaah, mantab dah. Teh pahit ternyata tak sepahit kenyataan yak, wkwkwk
LikeLike
Bagaimana agar sikap “bukan urusan kita” yang begini ini tidak berkembang jadi mentalitas individualistis, nggak mau tau, dan nggak peduli?
LikeLike
Bisa diukur dan ditimbang-timbang dari kadar mudarat yang mungkin muncul. Apakah itu ranah privat atau publik. Jika ranah pribadi, apakah mungkin bisa dimasuki/dicampuri? Jika terlihat butuh bantuan, kita bisa lakukan pendekatan.
LikeLiked by 1 person