Buku yang Bagus

Buku bagus adalah buku yang seperti apa sih? Jawabannya bisa beragam menurut kepala dan mulut yang menuturkannya. Untuk menjawab pertanyaan tentang seperti apa buku bagus, saya ingin menceritakan dua hal sebagai berikut.

Syahdan, seorang dosen penulisan kreatif dari UI pernah bercerita bahwa dia sempat dicemooh oleh temannya tentang buku yang ia tulis. Menurut sang kawan, buku itu terlalu biasa, tak terlalu istimewa, dan siapa pun bisa menulisnya.

Pak dosen ini pun santai menanggapinya dan berjanji dalam hati untuk melihat apakah beberapa tahun ke depan temannya itu sanggup menulis buku yang katanya remeh dan biasa saja itu.

Komentar memang mudah

Plekentus, kata orang Jawa. Waktu berlalu, tak satu pun judul yang dihasilkan kawannya. Sebab fakta membuktikan berkomentar dan merespons negatif jauh lebih mudah ketimbang mengapresiasi atau menjawab dengan tandingan buku yang lebih baik.

Saya teringat waktu masih bekerja sebagai editor di penerbitan dulu. Tak jarang calon penulis hanya sibuk bertanya ini itu tentang naskah tetapi tak sekali pun mencoba mengirimkan naskah utuh. Jadi, apa yang bisa ditanggapi dan dikritisi jika naskah–sejelek apa pun–tak pernah ditulis hingga rampung?

Terlalu banyak ide (yang biasanya mendayu-dayu) kadang malah menghambat produktivitas. Menunda lebih lama seolah-olah bakal lahir buku yang lebih wah dan meledak di pasaran. Faktanya, itu cuma impian belaka sebab tanpa aksi nyata naskah tak akan maujud menjadi buku yang bisa dibaca.

Buku yang selesai

Dalam bedah buku karya penulis Lamongan yang kini menjadi staf kepresiden dua pekan lalu, penulis mengakui bahwa bukunya belumlah sempurna. Apa urgensinya menunggu ide dan penggarapan naskah yang sempurna jika akhirnya yang dihasilkan kosong belaka?

“Buku yang bagus adalah buku yang selesai,” ujar penulis. Karena sehebat apa pun gagasan yang kita rancang, ia hanya akan bertahan dalam kepala dan tidak memberi manfaat apa-apa kalau tidak dituliskan. Kalau mengejar kesempurnaan, tentulah buku akan sulit diterbitkan lantaran kita terus dirundung ketakutan akan kecatatan.

Dalam konteks ini, saya menyambut dengan gembira meraknya penerbitan indie yang membantu penulis menerbitkan ide atau karya mereka dengan mudah. Memang tak semuanya bermutu bagus, tetapi langkah kecil menerbitkan sepenggal ide atau fragmen dalam hidup adalah sebuah keberanian yang patut diapresiasi.

Tuliskan sekarang juga

Saran saya: tuliskan pengalaman sesepele apa pun menjadi buku sebab tak semua orang betah membaca di blog, misalnya. Entah berbentuk curhat, kiat-kiat, memoar, puisi, cerpen, novel, autobiografi–semuanya berpeluang memberi pencerahan bagi pembaca.

Ingat, banyak hal-hal yang TERLIHAT atau terkesan sederhana tetapi membutuhkan pemikiran atau perenungan yang TAK sederhana. Jadi sudah menulis apa hari ini? Sudah berapa bab yang Anda tuntaskan? Sudah berapa naskah yang Anda kirimkan atau terbitkan?

Selamat hari Selasa, selamat membangun asa!

12 Comments

  1. Artikel ini menyadari kenapa saya lebih suka membaca daripada menulis. Karena saya bisa menyelesaikan bacaan sebuah buku, tapi saya sulit menyelesaikan sebuah tulisan. Terima kasih sudah berbagi ilmu dan pengalaman 🙏😎

    Like

    1. Saya juga lebih khusyuk membaca, Mas. Memang butuh usaha kuat untuk menuntaskan penulisan sebuah naskah agar jadi buku. Terima kasih sudah mampir dan salam kenal. 🙂

      Like

  2. Suka banget dengan quotenya, mas Rudi.
    “Buku bagus adalah buku yang selesai.” Sesederhana apapun, karena tidak semua orang bisa menyelesaikan idenya menjadi sebuah karya.

    Wah, aku jadi termotifasi untuk membukukan tulisan2 yg selama ini kuanggap sangat sederhana.

    👍👍👍🙏

    Like

    1. Iya, Mas. Sebagus dan sehebat apa pun idenya, kalau tidak dituntaskan ya belum bisa dibaca orang kan. Ayo Mas segera rapikan dan terbitkan sendiri biar jadi kenangan pribadi yang berharga buat keluarga terutama anak-anak kelak.

      Like

        1. Alhamdulillah, baik. Kekeringan panjang melanda kota kami seperti biasa–menanti hujan. Oh iya, berapa usia si kecil? Sedang lucu-lucunya, kerepotan dinikmati s aja hehe 🙂

          Like

          1. Wah sepertinya seluruh dunia memanas ya. Di beberapa negara bagian Amerika tercatat hottest summer tahun ini. Semoga di Indonesia lekas hujan ya. Di negara bagian New York sudah mulai hujan sih, tapi kami berharap winter kali ini nggak sedingin tahun lalu.

            Anak kami berumur 7 bulan. Sedang lucu-lucunya sih. Tapi ya kadang rewel. Haha… Iya. Dinikmati selagi dia belum minta uang jajan. Haha…

            Liked by 1 person

Tinggalkan jejak