Melecehkan Janda dengan Corona aka Matinya Empati

Kepedulian dan kepo mungkin setipis kulit bawang bagi sejumlah orang, terutama warganet yang konon mahabenar. Alih-alih memperhatikan seluk-beluk kondisi orang lain, sikap mereka tak jarang melampaui batas dan justru mengusik kehidupan orang yang dikomentari. banyak yang bisa kita ambil sebagai contohnya, seperti kasus BCL yang belum lama ini ditinggal suami tercinta.

Saya sering terkagum-kagum pada daya analitis warganet yang piawai mengomentari berbagai isu dengan latar belakang keilmuan yang relevan. Tapi saya tak habis pikir ketika ada yang merepotkan diri merinci masa iddah BCL sampai bisa dinikahi lagi padahal belum kering air matanya sepeninggal sang suami. Hanya bisa mengelus dada, apalagi tayangan televisi dan media online yang mengeksploitasi kejandaannya.

Melecehkan lewat lagu

Di tengah wabah virus mematikan, Corona, yang mengancam seluruh dunia, ternyata ada komposer yang tega melecehkan janda melalui lirik yang ditulisnya. Bukan hanya melodinya yang tidak bermutu, liriknya memang murahan dan nirkreativitas selain mendompleng virus Corona. Comunitas Rondo Merana, begitu si penggubah lirik menyusun akronim. Komunitas janda merana–sungguh yang sangat menghina.

Dari sisi ketepatan bahasa, lagu ini gagal karena komunitas mestinya diawali dengan k, bukan c yang memaksa dari kata Corona. Dari sisi kepedulian, empati orang ini sudah mati. Liriknya menggambarkan seolah-olah para janda suka menggoda suami orang. Padahal tak harus jadi janda untuk lihai menggoda, yang nonjanda pun ada yang hobi menggoda kalau memang jadi sifatnya. Lagu ini berpotensi menguatkan stigma negatif di masyarakat selama ini padahal banyak fakta membalikkannya.

Adalah sebuah kecerobohan ketika menyebutkan bahwa status janda membuat mereka merana. Saya menyaksikan sendiri dari lingkungan sosial bahwa banyak janda yang berdaya, berjuang melebihi ‘kekuatan’ pria demi anak dan keluarga. Belum lagi para sahabat netizen saya yang aktif sebagai bloger, pembicara, pengusaha, dan menggeluti aneka profesi lain yang segera mementahkan implikasi lirik itu.

Shut your cocot up!

Seseorang menjadi janda dengan beragam sebab, sering kali pelik dan rumit, yang tidak kita pahami dan mungkin sebaiknya tidak kita ketahui. Kalau tak bisa membantu, lebih baik shut ur cocot up!

Saya teringat seorang ibu yang bercerita sambil berkaca-kaca saat berkunjung ke rumah. Dia seorang janda, ditinggal mati suaminya, dan pernah jadi resipien NBC. Anaknya tiga: si sulung kuliah, anak kedua SMP, dan ketiga masih di bangku SD.

“Buat makan sehari-hari aja susah, pakai sok nguliahin anak?!” begitu ujar si ibu menirukan komentar tetangganya. Ibu itu bekerja sebagai babysitter dan berjualan apa saja demi menyambung hidup. Sama sekali tak pernah mengeluhkan kesulitan ekonominya apalagi memamerkan kemeranaannya sebagai janda agar dibantu atau dikasihani. Ia berjuang dengan tangan dan keringatnya. Ia membesarkan keluarga dengan semangat dewa, seperti matahari yang tak lelah menghangatkan bumi.

Alih-alih membantu, janganlah repot mengambil kesimpulan bahwa hidup menjadi janda adalah merana dan seolah jadi penyakit masyarakat melalui sentimen negatif. Hidup mereka mungkin susah, jadi bantulah kalau Anda mampu. Yang jelas mereka tak berhenti berkarya dengan potensi apa saja. Tak bisakah menyisakan ruang toleransi atas perbedaan status keluarga? Jadi hentikan menyinyir sebelum mulut kita menyonyor.

Merespons virus yang mengancam keamanan global sebaiknya dengan doa, saling menolong dan menopang, salah satunya dengan meringankan beban para janda bukan malah menghancurkan mereka melalui lagu murahan yang miskin etika. Ketika empati sudah mati, apa lagi yang tersisa selain kedunguan dan antre menunggu kematian sendiri? Jangan GR dengan kondisi kita saat ini.

8 Comments

  1. Wah, ini ada lagi ya akronim nyeleneh baru? Dulu awal-awal Corona merebak, aku pernah nonton video singkat di Twitter ada yang memplesetkan nama virus ini jadi Comunitas Rondo Mempesona. Masih lebih sopan secara penamaan, tapi tetap saja nggak ada empati bagi korban Corona. Entahlah, kenapa orang masa kini susah sekali untuk menunjukkan empati pada orang lain. Giliran mereka sendiri yang jadi korban … entahlah.

    Like

    1. Iya, Mas. Tak tahu bagaimana cara berpikir produser atau komposer liriknya. Mengatakan bahwa janda itu merana dan kerjanya menggoda lelaki orang. Parah kan bisa menguatkan stereotip?

      Like

  2. Awalnya virus corona ini jadi semacam bahan guyonan dan bukan rakyat kecil yang bikin guyonan. Seperti yang bilang Komunitas Rondo Mempesona itu Ribka Tjiptaning saat rapat di DPR. “Virus corona tak masuk ke Indonesia karena izinnya susah”, ini kelakar Bahlil di depan Hary Tanoe. “Kita Kebal Corona karena doyan nasi kucing”, ini kelakar Menhub, Budi Karya. Malah Menkes sendiri menantang Harvard membuktikan corona di Indonesia, saat ada study tentang keberadaan corona di Indonesia.

    Kini keadaannya berubah. Corona sudah hadir disini.

    Semoga kita kuat bertahan dalam gempuran corona ini.

    Semoga Mas dan keluarga sehat selalu.

    Salam dari saya di Sukabumi.

    Like

    1. Aaamiin, Kang. Sudah selayaknya kita waspada dan tidak menepuk dada seolah kebal terhadap ujian Tuhan. Semoga wabah segera dicabut dan Ramadan menjadi penyelamat umat manusia.

      Salam dari Lamongan.

      Liked by 1 person

Tinggalkan jejak