Review Buku A Cup of Tea for Working Mom: 14 Kisah Nyata Inspiratif Untuk Ibu Bekerja

Review buku A Cup of Tea for Working Mom — Kondisi ibu bekerja (working mom) dan ibu rumah tangga (IRT) sudah lama jadi sorotan yang memicu perdebatan tak kunjung usai. Sebagian orang membela satu kubu dan menafikan kubu yang lain seolah-olah kedua pilihan berseberangan dan mesti dipertentangkan dalam konteks antagonisme. Diam-diam kerancuan terjadi. Seorang working mom kerap dianggap tak sayang keluarga lantaran pengasuhan anak diserahkan kepada babystter atau asisten rumah tangga (ART) sedangkan IRT atau stay-at-home mom disebut tak mengoptimalkan kompetensi dengan bergulat di ranah domestik.

Rumitnya menyematkan label

Faktanya, banyak ibu yang memilih tinggal di rumah sebagai IRT penuh ternyata tak pernah menganggur karena pekerjaan domestik tak kunjung rampung. Saya membuktikan sendiri dari pengalaman istri yang berhenti dari working mom menjadi IRT. Walau tak lagi terikat jam dan tugas kantor, rupanya tugas di rumah selalu hadir untuk dituntaskan—yang menuntut konsentrasi pikiran dan curahan tenaga. Di sisi lain, seorang working mom sebetulnya tak begitu saja lepas dari tanggung jawab sebagai ibu kendati pengasuhan sebagian besar diemban oleh ART atau babysitter. Selalu ada kecamuk batin saat mereka harus meninggalkan rumah untuk bekerja sebab berjauhan dari buah hati tercinta. Selalu ada konflik batin begitu tugas kantor memanggil sementara naluri keibuan minta ditunaikan.

Singkat kata, menyematkan label working mom dan IRT bukan perkara mudah, setidaknya agak tricky. Sebagaimana tergambar oleh kisah-kisah dalam buku berjudul A Cup of Tea for Working Mom, tak ada seorang ibu pun yang sepenuhnya working mom atau IRT. Hakikatnya, kedua label itu melekat dan nyaris sulit dipisahkan apalagi dimaknai secara dikotomis. Sebab seorang ibu senantiasa memikul peran keduanya, hanya saja dalam kadar yang berbeda. Setiap keluarga atau rumah tangga punya tuntutan dan kebutuhan yang tak sama sehingga masing-masing memilih pola yang paling nyaman untuk dijalani.

Ilusi kenyamanan

Tepat seperti kisah Rindawati yang dituturkan dengan apik oleh Yusnia Agus Saputri lewat sepenggal tulisan berjudul “Lebih Dari Apa Yang Terlihat” di mana Rindawati mengalami pergolakan batin ketika harus berjauhan dari sang suami lintas pulau sementara nafkah tak dikirimkan sesuai perjanjian. Ia pun terpaksa bekerja guna mencari rezeki tambahan. Orang lain lantas menyinyirnya dengan sinis, berkomentar negatif seolah ia tak menyayangi anak-anaknya. Suaminya yang mengurus berhektar-hektar kelapa sawit di Palangkaraya mestinya sanggup membiayai keluarga mereka dengan mudah sehingga ia tak perlu lagi bekerja.

Pada akhirnya, hidup bagi Rindawati tak lebih dari sekadar ilusi sawang-sinawang yang menempatkan hidup seseorang terlihat lebih menyenangkan dibanding hidup orang yang memandangnya. Maka ia tak lagi mengacuhkan pendapat orang tentang statusnya sebagai working mom. Baginya, pilihan seorang wanita untuk berada di rumah atau bekerja di kantor tak akan mengikis peran esensialnya sebagai ibu yang tetap menyayangi anak-anak dengan penuh ketulusan. Kutipan berikut layak kita awetkan dalam ingatan.

Ibu rumah tangga berjuang dengan ranahnya. Ibu yang bekerja pun demikian. Tak ada yang harus merasa lebih dari yang lain. Masing-masing sedang berjuang dengan perannya. Kita menjalani apa yang dijalani tak semata agar orang lain menilai diri ini hebat atau luar biasa. Tetapi alasan terbesar di balik itu adalah keluarga. Anak-anak yang ada di dalamnya. Juga orientasi yang dimiliki masing-masing keluarga. (hal. 129)

Ambivalensi keputusan

Sebagaimana yang tersirat dalam konsep sawang-sinawang, kita sebagai ‘penonton’ memang kerap tak mampu memahami kondisi orang lain atau menjangkau nalar keputusan yang mereka ambil karena selalu ada sisi-sisi ambivalens yang melingkupinya, termasuk pilihan seseorang untuk bercerai atau melajang seumur hidup. Pada titik itulah kita mesti berdiri, sadar diri sebagai onlooker alias pengamat belaka, yang harus memberikan ruang bagi para wanita itu untuk merumuskan kebaikan menurut pertimbangan paling masuk akal sesuai kondisi masing-masing tanpa khawatir dihakimi.

Seperti tecermin dalam “Perjuangan” (hal. 111) yang ditulis Yeni Endah asal Semarang yang menceritakan kisah nyata: perceraian Noviana akibat kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya. Bahtera rumah tangga yang dibangun dan dikayuh bersama selama 10 tahun rupanya harus koyak akibat gelombang konflik tak terduga. Menjadi single parent atau janda akibat bercerai tentu tak mudah, apalagi di tengah konstruksi sosial kita yang telanjur sesak dengan stigma negatif dan bahkan komentar yang cenderung melecehkan.

Melajang dan berjuang

Ujian Noviana bukan hanya kegagalan berumah tangga, tetapi juga Uta anak ketiganya yang mengalami disabilitas intelektual. Dengan IQ sangat rendah, Yeni tentu mencemaskan masa depan sang anak, termasuk biaya terapi yang cukup besar mengingat kondisinya pascabercerai tanpa dukungan finansial dari mantan suami sebagaimana dijanjikan. Dilema menghampiri Yeni ketika harus bekerja untuk meraup rezeki sementara tak mungkin meninggalkan Uta sendirian di rumah.

Drama demi drama pun mewarnai hidupnya terutama dari Uta yang bahkan sempat masuk IGD karena sebuah kejadian pahit saat berada dalam pengasuhan sang nenek. Biduk rumah tangga yang hancur dan hati yang koyak memang menyakitkan, tetapi Noviana tetap tegak membawa ketiga anaknya—khususnya Uta yang istimewa—untuk melalui badai berkabut dan kerikil kehidupan yang tajam. Yeni Endah berhasil menuliskan pengalaman Noviana dengan lancar dan emotif hingga Uta berusia 18 tahun dan bekerja walau tanpa ijazah.        

Jika Noviana bekerja ekstrakeras pascabercerai, maka Nur dalam kisah bertajuk “Untukmu, Mutiara Kehidupanku”(hal. 103) membagikan perjalanannya sebagai seorang pendidik. Semula ia menumpang di rumah kakaknya yang terlebih dahulu mapan. Ketika studinya rampung dan kariernya sebagai guru mulai meningkat, ujian bertubi menghampirinya. Kakak iparnya sering didera sakit kepala hebat yang ternyata indikasi penyakit serius, yakni kanker otak. Pendampingan yang intens selama terapi rupanya mempengaruhi kesehatan suami atau kakak kandung Nur. Setelah diperiksa, rupanya sang kakak menderita kanker usus besar yang tentu saja membuat hati Nur terpukul.

Ketika pasutri itu berpulang, Nur pun mengasuh dan membesarkan kedua keponakan yang yatim piatu dengan risiko sorotan sosial karena statusnya yang masih lajang sementara bilangan usianya kian menanjak. Ayah Nur rupanya turut memikirkan nasib sang anak, terbukti dengan beberapa kali upayanya mengenalkan Nur pada calon suami. Apakah Nur akan menikah demi membahagiakan ayahnya walau harus mengorbankan masa depan kedua keponakannya? Haya Aliya Zaki menuturkan kisah nyata ini dengan narasi yang lincah dan menyentuh sehingga emosi saya terbawa dan beberapa saat tertegun seolah ikut menanggung nasib Nur.

Life is tough, but women are tougher

Masih banyak fragmen lain yang bergizi dan tak boleh dilewatkan dalam buku A Cup of Tea for Working Mom. Salah satunya perjuangan Neysa Oktanina yang terpaksa menitipkan buah hatinya, Kiandra, di sebuah daycare sebagai pilihan terbaik bagi keluarga mereka. “Berjuang dari Balik Cubicle” (hal. 9) dari jam 8 pagi hingga pukul 5 sore setiap hari nyatanya bukan hanya perjuangan memeras otak untuk sebuah lembaga keuangan ibu kota, tetapi juga kerinduan pada Kiandra di daycare terdekat.

“Ibu yakin itu dihabisin semua? Dari mana Ibu tahu? Ibu kerja apa sih? Sudahlah, Bu, resign aja ngurus anak.”

Hati Neysa seolah remuk ketika Kiandra divonis nyaris ‘kekurangan gizi’ atau malnutrisi padahal daycare yang mereka pilih termasuk bagus dengan menu mingguan yang tampak menjanjikan. Pakar nutrisi yang mereka temui merespons dengan lugas saat Neysa menunjukkan daftar menu daycare tersebut. Tinggi badan Kiandra bahkan disebut sama dengan bayi 9 bulan. Perasaan gagal sebagai ibu pun menggelayutinya.  

Bagaimana proses berjuang Neysa dalam membesarkan Kiandra dengan keyakinan bahwa hasil tak akan mengkhianati usaha? Banyak yang bisa dicatat, salah satunya bahwa, “Saya dipilih menjadi ibu Kiandra juga pasti dengan alasan.” Sebagaimana belasan kisah lain dalam buku ini, setiap peristiwa memang terjadi karena suatu alasan, dan yakinlah bahwa keadaan atau apa pun yang kita miliki saat ini adalah pengalaman terbaik yang Tuhan hadirkan untuk Anda, untuk kita semua.

Hangat dan kuat

14 kisah nyata inspiratif ini akan membentuk para wanita, baik stay-at-home maupun working mom—menjadi pribadi yang lebih hangat dan lebih kuat. Serupa mencecap secangkir teh manis yang memberikan kesegaran pada tenggorokan dan seluruh sel. Sehimpun kisah-kisah dalam buku mungil ini mungkin akan menciptakan harapan atau percikan semangat baru bahwa banyak sekali alasan kita bersyukur dan terus bekerja keras.

Buku yang nikmat dibaca, mungkin dengan sedikit mint atau camomile, kita akan masuk dan menjelajah kemungkinan menafsirkan cerita-cerita yang menggugah tersebut. Terserah Anda mau dibaca dari mana, yang jelas buku ini renyah dan kita bisa bersatu dengan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Mengalir dalam alur tanpa tergoda untuk berkata-kata. Dengan penyuntingan yang rapi dan desain buku yang manis, saya harap pembaca akan menemukan pengalaman berkesan seperti yang saya dan istri rasakan saat menuntaskan pembacaannya.

Judul: A Cup of Tea for Working Mom: 14 Kisah Nyata Inspiratif untuk Ibu Bekerja

Penulis: Gea Aulia, Neysa Oktanina, dkk

Penerbit: Stiletto Book

Editor: Herlina P. Dewi

Proofreader: Desi Tuparman

Desain Cover: Teguh Santosa

Desain Isi: Arya Zendy

ISBN: 978-623-7656-05-0

Semoga resensi buku ini bermanfaat.

6 Comments

  1. Ah, istriku mustinya ikut nyumbang tulisan nih. Bahkan dia punya dua perspektif sekaligus: pernah sebagai working mom yang harus meninggalkan bayi selama 7 jam perhari, dan sekarang sebagai fulltime IRT. Dan, sudah diduga tentunya, menjalani kedua-dua peran itu tetap saja ada yang nyinyir, hahaha.

    Waktu istri masih ngajar dan ninggalin bayi: “Melas anake esih bayi ditinggal-tinggal.”
    Waktu istri akhirnya berhenti ngajar dan jadi fulltime mom: “Eman-eman ya kuliah duwur-duwur mung momong anak gaweane.”

    Like

    1. ku juga enggak tahu Mas ternyata ada seleksi buat nulis buku ini. Sayang banget ya harusnya punya cerita juga. Biasa Mas warga +62, ga yang dunia maya ataupun nyata, sama-sama hobi menyinyir, hehe. Pilihan apa saja terlihat salah di mata mereka. Padahal makan enggak makan ya enggak minta mereka tuh.

      Like

  2. Betul banget, kenyataan di lapangan tak bisa hitam putih seperti itu. Banyak working mom yang juga ibu yang peduli anaknya, tak sedikit juga IRT yang juga bekerja. Jadi banyak faktor sebelum menilai status dan ilusi kemapanan tadi. Buku menarik nih!

    Liked by 1 person

Tinggalkan jejak