Minaret

menara masjid

CEPAT ATAU LAMBAT kejadian pagi ini memang akan mereka alami. Pak Manu sebagai modin sebenarnya jauh-jauh hari sudah memperkirakan sehingga sama sekali tak menganggap ini sebagai kejutan. Hanya saja ia tak menyangka kegaduhan akan memuncak dengan kerumunan warga yang berdesakan di halaman masjid. Semuanya berdiri sambil berbisik berisik sampai sesepuh dan takmir datang yang meminta jemaah duduk di serambi.

Ini memang pemandangan aneh, setidaknya tak lumrah di masjid yang setiap Subuh hanya diisi segelintir jemaah manula. Warga bergerombol pagi-pagi jelas bukan untuk shalat berjamaah, tetapi memprotes modin yang dianggap tidak becus. Ucapan dan tanggapan ketus terus terdengar bahkan ketika ketua takmir mulai berbicara.

“Bapak-bapak, ibu-ibu. Saya minta tenang,” suara Pak Sur ketua takmir membuat semua terdiam. Senyap sejenak lalu kasak-kusuk kembali terdengar. 

“Pak Modin?” ujar Pak Sur kali ini dengan suara agak tinggi. Jelas sekali ia ingin mendapatkan jawaban.

“Betul, Pak Modin yang harus tanggung jawab. Enggak becus ngatur Hanan!” suara-suara menceletuk bersahutan membuat kegaduhan tercipta lagi.

“Mohon bersabar, saudara-saudara. Pak Sur ingin tanya Pak Modin…” tukas Pak Mul yang ternyata disambar oleh teriakan warga lainnya.

“Kami juga ingin tanya Pak Modin bagaimana bisa Hanan pergi tapi beliau enggak tahu. Azan Subuh yang mestinya terdengar merdu akhirnya kacau balau.” Seorang lelaki paruh baya bersuara tanpa ragu. Ucapannya segera disambut gemuruh setuju karena selama ini Hanan memang muazin andal yang terkenal seantero kampung.

“Saya sendiri tidak tahu kapan Hanan pergi, Pak Sur.” Pak Manu akhirnya berbicara. Jemaah mendadak tercekat, tak sabar mendengar kalimat Pak Modin selanjutnya—entah menunggu penjelasan yang dicari atau semata menanti jawaban untuk disalahkan.

“Waktu saya datang ke masjid menjelang Subuh, saya heran karena lampu masjid masih padam. Biasanya sebelum saya maju sebagai imam, Hanan sudah membereskan semua, termasuk mengumandangkan azan yang sangat kita kenal.” Pak Manu lanjut berbicara. Hadirin terdiam, tak berani berkomentar sebab penasaran apa alasan Hanan pergi tanpa pamitan.

“Pak Manu, apa ada hal ganjil akhir-akhir ini?” tanya Pak Bas, kepala dusun yang belum lama dilantik. “Maksud saya hal-hal yang enggak biasa pada diri Hanan sebelum ia menghilang.”

Pak Manu tak segera menjawab, seperti sedang mengorek ingatan. Kedua tangannya ditangkupkan, lalu mengusap janggutnya yang memutih. “Kalau enggak salah ingat, dia keberatan dengan rencana kita membangun menara.” Mata Pak Modin menerawang. “Kira-kira dua minggu lalu dia sampaikan selepas Jumatan.”

“Edan!” sahut Edi sambil memukul pelipisnya spontan. “Dia kan muazin hebat, suaranya merdu dan bacaan Qurannya bagus. Bisa-bisanya menentang pembuatan menara.”

“Betul, Ed. Dia itu anak kemarin sore, kuliah juga enggak. Kok mau ngatur menara yang jelas-jelas bagus buat syiar agama.” Kali ini Kamin yang menyambar, kalimatnya tegas dan tedas.

“Setuju!” Pak Sur mengamini. Warga terdiam, termasuk pak modin. “Di desa mana pun masjid-masjidnya kini punya menara. Bukan cuma indah, tapi lihat fungsinya. Azan bisa terdengar lebih jauh. Belum lagi kalau acara-acara penting lainnya di masjid, suara bisa lebih gegap gempita.”

Pak Modin mendongak dan bercakap, “Mungkin ada baiknya kita mempertimbangkan kembali keputusan soal menara,” ujar Pak Modin seraya memandang sekeliling. “Biayanya sangat besar, padahal warga kita tidak semuanya mampu. Kalau hitung-hitungannya benar, uang sebanyak itu bisa kita pakai untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak.”

“Pak Modin sudah termakan omongan Hanan ini! Menara ya menara, titik.” Seorang jemaah berseloroh.

“Kita tahu masih ada warga yang miskin dan perlu kita bantu. Uang sedekah yang sudah masuk mungkin bisa kita pakai untuk mengangkat nasib mereka. Soal menara bisa kita tunda; toh pengeras suara yang ada masih cukup bagus dan bisa didengar seantero kampung kan? Ya toh?!”

“Ah, bisa-bisanya Hanan itu cari alasan, Pak!” Dugel berkomentar cepat. “Mau bantu warga miskin bagaimana?”

“Mas Dugel, saya setuju sama Hanan. Uang yang ada bisa kita kelola untuk renovasi bangunan sebelah masjid agar anak-anak bisa belajar di sore hari. Kata Hanan, anak-anak sekarang enggak bisa lepas dari internet. Kita bisa pasang jaringan internet agar bisa mereka manfaatkan jadi mereka betah di masjid. Tentunya dengan persetujuan jemaah yang sudah berdonasi.” Pak Manu berbicara mantap, tapi tak terlihat memaksakan kehendak.

“Tahu apa Hanan soal internet. Kayak pernah kuliah saja…” suara Kamin meledek.

“Hanan pernah kuliah, Mas Kamin. Walau putus sampai semester 5 sebelum akhirnya dia jadi marbut di sini. Sekarang zaman Internet Keluarga, Bapak-Ibu. Saya yakin  setiap keluarga punya hape dan bisa mengakses internet.”

Pak Bas tampak mengantuk sementara Pak Sur beringsut ke lemari pendingin untuk mengambil segelas air. keduanya belum terlihat ingin berkomentar.

“Kalau ada internet di masjid, anak-anak bisa belajar banyak hal. Begitu kata Hanan. Terutama buat anak-anak yang kurang mampu, mereka akan terbantu untuk tambah pengetahuan atau keterampilan baru. Apa pun yang anak-anak kita sukai, mereka bisa punya Cerita Tanpa Batas untuk mengejar impian.” Pak Manu melirik ke arah Edi, lalu ke Dugel, keduanya kini terduduk lesu.

“Pak Modin benar. Barangkali kita terlalu buru-buru soal menara yang biayanya sangat besar. Mewajibkan jemaah menyetor uang bulanan sampai setahun rasanya akan memberatkan.” Pak Sur menjawab serius setelah menyedot air dari gelas. “Tapi jangan sampai salah pilih. Pastikan Internetnya Indonesia biar kita enggak kecewa.”

“Sampean kan kerja di kota, Ed. Di kantormu pasti ada internetnya toh. Bisa bantu?” Pak Bas menimpali.

Internet Keluarga membuat semuanya mudah. (Foto: Pixabay di Pexels.com)

Edi mengangguk. “Yang paling enak pasang IndiHome seperti kantor saya, Pak Bas. Pekerjaan online apa saja sekarang cepat dan enggak pernah terkendala.”

“Betul, cocok itu! Sudah semestinya kita pakai produk Telkom Group sebagai kebanggaan anak bangsa,” Kamin menyahut sambil membetulkan pecinya. “Kalau pas libur saya akan temani Edi ke kota.”

“Syukurlah kalau begitu. Sudah gamblangya? Proyek menara sementara kita tunda, kita alihkan ke renovasi perpustakaan sebelah. Setelah berbenah, internet pastikan dipasang.” Pak Manu terdengar sangat berkharisma.

“Nanti siang saya coba ketemu Hanan di rumah kakaknya,” kata Pak Sur. “Semoga dia di sana. Kamu ikut ya, Gel?”

“Siap, Pak! Insyaallah.”

***

 “Alhamdulillah, Han. Semua kembali seperti semula. Setidaknya apa yang kamu mau hampir jadi kenyataan.”

“Terima kasih buat Pak Manu yang sudah bantu saya. saya betah di masjid ini. Saya senang menemani anak-anak kampung belajar dan berselancar di dunia maya.” Hanan menjawab dengan wajah semringah. Ia bangkit, merapat ke gigir serambi lalu berucap, “Semoga anak-anak betah dengan internet yang dipasang nanti.”

“Bantulah mereka, Han.”

“Baik, Pak. Saya punya teman-teman dari kuliah dulu yang mau bantu kalau memang perlu. Biar anak-anak tidak bete. Enggak cuma mengaji tapi sesekali tambah keterampilan dan mungkin juga uang.”

Semoga Cerpen IndiHome ini menjadi inspirasi bagi siapa saja yang tengah mencari dan berjuang untuk menemukan arti kedamaian dan hakikat pencapaian sesungguhnya. Tak ada kata tertinggal atau gagal kalau kita mau bergerak dan berkeringat.

Seperti Hanan yang telah menemukan dunianya, bukan hanya berkat suaranya yang indah, tapi semangat besar untuk terus belajar. Dengan internet ia seperti telah membangun minaret yang tinggi, menjangkau jiwa-jiwa yang merindukan kemerduan lewat kumandang azan dan pikiran-pikiran muda yang menanti kemajuan.

10 Comments

  1. Di tempat Mimin juga gitu, Kak. Menara-menara tinggi menjulang, mencapai ratusan juta pembuatannya. Enggak salah sih, cuma kalau prioritas lain yang lebih mendesak seperti pendidikan anak atau pengentasan kemiskinan tentunya lebih afdal.

    Like

  2. Zaman sekarang mau apa aja bisa didapatkan pakai internet. Media sosial juga makin menjanjikan buat mendulang cuan, apalagi ibu rumah tangga bisa dapat cuan tambahan dengan ngeblog yang konsisten. IndiHome memang pilihan ideal biar bisa maju.

    Like

  3. Cerita yang kontekstual ini, sekarang memang gitu gejalanya, tren bikin menara tinggi sementara kemiskinan di sekitar masih marak. Semoga Hanan kembali dan pasang Internet bisa diwujudkan….

    Like

  4. Minaret-nya lebih tinggi daripada yang lainnya.
    Bagus juga kalau masjid bertransformasi jadi tempat menuntut ilmu yang tidak berbatas.

    Like

  5. Iya ya, terkadang hal yang seharusnya dilakukan karena dibutuhkan malah sering dilalaikan. Btw, keren ni Pak tulisannya 😍

    Like

  6. Mister yang tinggal di kampung juga sering lihat sih, kadang warga miskin masih ada di desa, bahkan di sekitar masjid tapi kayak kurang diperhatikan padahal mereka butuh bantuan. Apa mereka ga bisa dibantu atau dibuatkan semacam Baitul Mal gitu?

    Liked by 1 person

Tinggalkan jejak