Dari Rabu ke Rabu: Antara Tenggat dan Ikhtiar Sehat

Dua pekan ini hidup saya sungguh ‘berwarna’, untuk tak menyebut kelabu. Saya menuliskannya bukan sebagai ekspresi penyesalan, apalagi bernada keluhan, melainkan wujud rasa syukur sebab masih bisa menulis di blog yang selalu memberikan kegembiraan.

Memang ada hal yang saya sayangkan, yakni terlewatnya kesempatan berpartisipasi dalam lomba blog ASUS yang gegap gempita digelar secara bersamaan. Ide-ide sebentar berkelebatan tentang lomba ini, tapi sayang hingga Rabu 29 Juni 2022 belum ada ide yang cukup matang dan solid untuk digarap menjadi tulisan.

Ke Surabaya melepas lelah

Alih-alih memforsir tenaga, saya akhirnya menjemput si sulung yang sedang berlibur di rumah eyang. Mumpung sedang liburan, ini saat tepat untuk melipir ke Surabaya. Sampah berupa gelas bekas air mineral sudah menumpuk jadi dua kresek, harus segera ditukar dengan poin sebagai tiket untuk bisa naik Suroboyo Bus.

Selain menukar sampah, saya juga hendak mengunjungi Masjid Chengho di Ketabang untuk menjajal terapi akupunktur. Dua kali ke sana rupanya selalu tutup karena minimnya informasi. Jadwal praktik sensei asal Tiongkok itu adalah Selasa, Kamis, dan Sabtu. “Ya bukanya pas hari-hari genap,” begitu ujar pengurus takmir Masjid Chengho saat saya tanya pada kunjungan kedua.

Pantaslah saya gagal ketemu sensei sebab sebelumnya saya datang hari Minggu (beramai-ramai) dan hari Jumat (sendirian). Walau sempat nihil, saya tetap senang sebab anak-anak bisa keliling Surabaya naik bus idaman. Namun sayang sungguh sayang hingga tanggal 30 Juni kemarin mereka belum juga berhasil naik SBT alias Suroboyo Bus Tumpuk yakni bus tingkat yang selalu diincar anak-anak.

Kopdar mini di Jemursari

Setelah mencoba terapi akupunktur di areal Masjid Chengho, saya segera bergabung dengan anak-anak yg berkeliling mencari SBT. Sudah dibela-belain ke Terminal Purabaya alias Bungurasih, SBT tak kunjung ditemui. Dasar durung beja, belum beruntung!

Singkat kata kami pun bertemu di depan kampus Uinsa selepas Zuhur dan langsung meluncur ke rumah sahabat tempat kami akhirnya menginap. Sebetulnya tak ada rencana menginap, tapi karena anak-anak sudah lama enggak saling ketemu, jadilah kami melepas penat malam Jumat di belakang Uinsa yang termasuk wilayah Jemursari.

Saya segera teringat pesan Mbak Dian Kusumawardani, “Kalau ke Surabaya, bilang-bilang Mas, kita bisa ngopi!” Maka saya lantas mengirim pesan bahwa saya menginap di Jemursari. Sore itu dia kebetulan habis mengajar bimbel di bilangan Jemursari. Jadi kloplah, kami kemudian kopdar mini di Kafe Juang Jemursari.

Selepas Asar saya mengajak Bunda Xi ke kafe tersebut. Biar banyak bahan mengobrol. Mbak Dian sudah standby, saya baru berangkat jalan kaki. Sekitar 10 menit kami sampai dan langsung memesan lemon tea anget beserta roti bakar cokelat. Dilanjut dengan obrolan seputar blogging dan mahalnya pendidikan saat ini. Obrolan seru pun terhenti ketika Mas Arif, suami Mbak Dian, tiba di kafe dengan maksud menjemputnya.

Setelah berkenalan dan bercengkerama sejenak, saya dan istri lantas pamit sebab sebentar lagi azan Magrib berkumandang. Kopdar mini yang singkat, di Jemursari yang lalu lintasnya padat.

Sesak napas mendadak

To make story short, Jumat pagi kami putuskan main ke alun-alun bawah tanah yang sedang kekinian. Semua lancar, termasuk anak-anak yang betah begitu menemukan koleksi buku-buku di Perpustakaan Kota Surabaya di kompleks Balai Kota, berseberangan dengan Masjid As Sakinah yang megah.

Sabtu pagi sudah di Lamongan lagi, tapi badan terasa enggak enak. Ada dua tenggat pekerjaan yang harus dituntaskan. Pertama, menulis postingan. Kedua, job editing yang saya terima ketika masih berada di Surabaya. Kehilangan peluang mendapatkan laptop ASUS harus saya tebus dengan penyelesaian tenggat ini meskipun nilainya jelas tak seberapa dibanding harga laptop tersebut.

Rezeki sesedikit apa pun harus disyukuri, sebab Allah masih memberi keluasan materi untuk dinikmati kendati saya tentu menghendaki yang lebih. Kegembiraan toh bukan sebab berlimpahnya materi, tetapi ekstase karena kita menikmati apa yang kita kerjakan dan dari sana kebutuhan terpenuhi. Jadi teringat Putdel yang jadi trending di Twitter kemarin.

Tugas menulis rampung, tinggal penyuntingan yang mesti saya bereskan. Tiba-tiba sudah hari Rabu, saya membaca lagi hasil editan. Masih ada yang terlewat sehingga saya lakukan penyesuaian dari awal. Di tengah asyiknya kegiatan mengedit naskah, Rabu 6 Juli 2022 kemarin saya teringat si sulung harus berlatih Taekwondo seperti pekan-pekan sebelumnya.

Setelah mengantar si sulung ke dojang, saya memboyong laptop ke kedai kopi di Jalan Baru agar saya bisa melanjutkan pekerjaan di sana. Waktu dua jam sangat lumayan untuk menambah editan. Dan memang sangat lumayan. Kecuali ada gangguan yang mendadak saya rasakan, terasa betul mengusik kegiatan menyunting naskah di laptop.

Setelah bekerja sekitar 45 menit, sesak napas mendadak datang. Saya rasakan kontinu hingga saya pulang ketika azan Magrib berkumandang. Ketika menjemput si sulung dan meluncur ke Masjid Agung di alun-alun kota, sesak napas tak kunjung hilang. Sementara si sulung berwudu, saya izin bersandar di pilar depan.

Selepas magriban, kami langsung pulang karena saya ingin segera rebahan. Sesampainya di rumah, saya manfaatkan untuk membuka laptop dengan maksud melanjutkan pekerjaan editing. Namun karena sesak napas tak kunjung hilang, laptop akhirnya saya matikan. Pada saat yang sama pesan-pesan di WhatsApp bermunculan.

Saya seketika teringat hari itu ikut ngelist di sebuah WAG untuk membagikan tautan blog post di Twitter. Daripada tidak maksimal jika dipaksakan, saya merelakan untuk melewati ambang dengan niat akan menuntaskannya besok pagi. Sesak napas masih terasa, saya lanjut rebahan sampai bangun menjelang Subuh esok harinya.

Syukur alhamdulilah sesak mulai reda kendati saya waswas ia akan muncul lagi tanpa diduga. Yang saya ingat pada malam sebelumnya adalah polemik seputar cerpen berjudul “Keluarga Kudus” yang baru saja ditahbiskan sebagai pemenang cerpen terbaik Kompas 2021. Selebihnya, tenggorokan saya mulai terasa serak, seolah memberi sinyal radang akan mendera.

Biarlah terlewat

Benarlah sebab tiga hari belakangan meriang mengiringi batuk yang menyiksa. Mana mungkin bisa berkonsentrasi menulis blog post serius atau bahkan sekadar bersenda gurau di grup WhatsApp tempat saya biasanya bercengkerama.

Semua terlewat, sejenak saya mesti rehat. Bahkan hari ini saat NBC memotong sapi di RPH seperti tahun-tahun sebelumnya, saya terpaksa absen. Saya hanya kebagian menyiapkan desain banner dan stiker untuk ditempel di paket daging yang dibagikan tadi.

Sekarang tenggorokan masih kemriyek, gatal, dan batuk sesekali menyerang. Semoga esok pagi bisa ikut shalat Iduladha di Namira, atau di mana saja yang penting saya tidak menggangu kekhusyukan jemaah dengan bunyi batuk yang datang semerta-merta. Ya Allah, izinkan aku sehat sebab masih ada tenggat.

Advertisement

5 Comments

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s