Bagi sastrawan atau penulis, semua berawal dari kata. Pada mulanya adalah ide yang diramu dalam jalinan kata, lalu kalimat dan paragraf untuk menyampaikan pengalaman atau pesan tertentu.
Namun yang terjadi pada saya mungkin sebuah karma. Atau kualat? Akibat negative vibe yang saya ciptakan sendiri dalam pikiran? Daripada berasumsi, izinkan saya ceritakan kronologisnya.
Suatu sore, kira-kira akhir tahun 2005, saya berkumpul di ruang guru, tentu saja bersama para staf pengajar lainnya. Waktu itu saya masih mengajar bahasa Inggris di sebuah tempat kursus di Semarang, lembaga berjaringan nasional yang menerima saya bahkan ketika belum diwisuda.
Tempe mendoan dan sebuah bisikan
Kami gembira sebab sebentar lagi waktu berbuka. Di meja itu sudah tersaji tempe mendoan ala Semarang dan gorengan lain, juga minuman es yang terbayang sangat menyegarkan.
Ketika azan magrib berkumandang, bergantian kami memungut mendoan beserta es untuk membatalkan puasa. Sungguh nikmat tak terkira, lapar dan dahaga hilang seketika. Apalagi ditambah cabai rawit yang endeus banget.
Saat asyik bersantap buka, manajer kami pun datang. Masuk ke ruang guru tapi hanya untuk meraih gelas dan air putih dari galon. “Saya ga bisa … kena radang tenggorokan!” jawabnya singkat menanggapi tawaran kami untuk ikut makan gorengan. Di wajahnya jelas tersirat penyesalan sebab tak bisa turut serta, lebih-lebih gorengan yang memang sangat menggoda.
Apaan sih, radang tenggorokan segala. Gorengan enak gini masa ga mau makan gara-gara radang. Begitu kalimat yang terbetik di batin saya, merespons jawaban Pak Manajer. Sungguh sayang kenikmatan hakiki dibatalkan oleh kendala medis yang baru pertama saya ketahui.
Dua tahun kemudian, hidup membawa saya ke Bogor. Di Kota Hujan saya bekerja sebagai editor buku sekolah, masih seputar bahasa Inggris. Hanya saja kini saya menangani khusus buku teks untuk pelajar SMA.
Tak ada kendala berarti di tempat baru, baik lingkungan kerja maupun adaptasi di kota yang berbeda budaya. Pekerjaan sesuai passion, dan teman-teman baru pun mengasyikkan. Mana mungkin tak enak, mencari kesalahan eh malah dibayar.
Batuk tak terhenti
Sampai suatu hari, batuk menyerang tanpa permisi. Diawali dengan tenggorokan gatal, batuk selama dua hari akhirnya tak terhindarkan. Berbeda dari batuk-batuk sebelumnya, batuk kali ini tidaka mau berhenti dengan ramuan herbal seperti jeniper (jeruk nipis peras) dan kecap.
Karena tak tahan dengan deraan batuk beruntun, belum lagi dahak yang kerap muncul sehingga mesti sering ke kamar mandi di kos, maka saya pun pergi ke dokter. Bukan cuma berobat, tapi juga meminta surat izin sebab saya sudah 3 harian tak masuk kantor.
Pulang dari dokter, obatnya rupanya manjur. Saya bersyukur, tanpa sadar salah satu komponen dalam resep adalah antibiotik (AB). Betul-betul ajaib, batuk langsung reda seketika, tak bersisa saat antibiotik hampir habis. Kenyataan itu baru saya ketahui keika sudah menikah betapa antibiotika memang mujarab tapi tak boleh sering dikonsumsi–apalagi langsung dibeli di apotek tanpa resep dokter.
Yang jelas saya gembira bisa kembali bekerja tanpa batuk yang menyiksa. Tak perlu berisik di kantor dan bisa kembali mengonsumsi makanan seperti sedia kala. Batuk menyiksa bukan hanya karena bikin enggak bisa tidur malam, tetapi efeknya membuat kepala pusing dan demam akibat hentakan demi hentakan mendadak. Syukurlah antibiotik ada.
Berulang tapi tak boleh sembarangan
Belakangan ketika sudah menikah, batuk akibat radang tenggorokan ini kerap datang tanpa diduga. Kadang-kadang sih bisa diantisipasi, biasanya akibat makan gorengan berlebih atau mungkin minyak yang dipakai kurang bersih. Kalau sudah terlanjur, ya sudah radang berujung batuk pun niscaya. Sepanjang malam sampai ngiklik kata orang Jawa.
Ketika dihadang radang tenggorokan untuk kesekian kalinya, saya mulai waspada untuk tak sering ke dokter. Sebab pulang biasanya langsung diresepkan antibiotik. Sementara dari berbagai sumber disebutkan bahwa antibiotik memang cepat menumpas batuk itu, tapi bakteri jahat dan baik sama-sama dibasmi.
Dalam mulut ada bakteri baik yang bisa menjaga kesehatan rongganya. Jika bakteri baik ikut mati karena antibiotik, maka lingkaran akan berulang. Saya malah akan sering kena radang tenggorokan lagi lantaran bakteri baik yang menjaga sudah musnah.
Benar-benar jadi dilema. Eggak minum antibiotik, batuk akan lama mendera sementara saya harus bekerja. Namun jika minta antibiotik, maka saya malah akan rentan terhadap serangan yang sama sehingga tak sengaja memperpendek siklus kejadian yang memang terbukti nyata. Dan yang paling parah, frekuensi konsumsi antibiotik sebagai ‘obat dewa‘ alias obat segala penyakit akan meningkatkan resistensi bakteri terhadap obat. Dan itu berbahaya!
Karena tak boleh sembarangan pakai atau beli antibiotik, maka sebisa mungkin saya menghindarinya. Sebagai akibatnya, proses penyembuhan memang berlangsung relatif lebih lama. Saya alihkan terapi dengan memanfaatkan ramuan herbal atau rempah. Madu, kencur, dan lemon biasanya manjur–hanya saja memang tak bisa seketika. Butuh kesabaran menjalani proses.
Minta kalau terpaksa
Syukurlah masa-masa itu saya sudah resign dari kantor dan memutuskan jadi freelancer yang sepenuhnya ngantor di rumah. Artinya, tanpa kewajiban ngantor setiap hari, saya tak perlu minta izin karena serangan batuk luar biasa. Walau memang harus diakui tetap ada efeknya, yakni pengerjaan tugas freelancing jadi lebih lama sebab batuk bertubi-tubi sungguh bikin keki: kepala pusing dan konsentrasi otomatis sulit didapatkan.
Hanya pada momen tertentu saja saya kemudian meminta dokter meresepkan antibiotik. Karena sudah mengurangi konsumsi AB, saya pikir tak apalah sesekali memintanya. Biasanya saya minta ke dokter spesialis THT.
Misalnya tahun 2012 ketika saya mendapat panggilan wawancara di sebuah perusahaan transnasional asal Jepang di dekat Sarinah. Setelah wawancara pertama dengan manajer HRD berhasil, saya pun diundang untuk menjalani interview dengan presdir yang merupakan perempuan asli Jepang.
Karena batuk tak sembuh-sembuh, akhirnya saya menemui dr. THT dan meminta diresepkan AB demi mempercepat penyembuhan. Tak terbayang jika saat berhadapan dengan presdir itu saya malah terbatuk-batuk dan sulit mencerna pertanyaan apalagi menjawabnya.
Walau saya akhirnya tak mendapat pekerjaan itu (padahal bisa dikerjakan secara freelance), saya bersyukur sebab wawancara berjalan lancar dan mengesankan, tanpa sekali pun saya batuk yang merepotkan. Entah karena sihir AB ataukah lantaran ‘tegang’ sehingga tak terpikir untuk memberi waktu buat batuk tak perlu.
Yang jelas, hingga pindah ke Lamongan radang tenggorokan berujung pada batuk kadang masih menyerang. Cuma frekuensinya lumayan berkurang. Dulu saat di Bogor saya kadang didera sekali dalam enam bulan. Sudah mirip ujian semester mahasiswa. Istri saya berpandangan, itu bagus juga buat pembersihan paru-paru yang sulit mengeluarkan kotoran dengan prosedur biasa.
Berkat mengurangi AB
Namun pada suatu waktu saya pernah menemui dokter paru agar memeriksa apakah ada kelainan sehingga batuk dari radang ini kerap terjadi. Syukurlah hasil rontgen paru-paru tak ada masalah. Jadi langkah saya mengurangi AB tetap bijak meski kudu sabar menjalani terapi herbal yang agak lebih lama.
Sepulang dari Surabaya awal Juli kemarin, tenggorokan saya lantas terasa tak enak. Saya duga bakalan radang tenggorokan nih. Sebab sudah cukup lama tidak kena batuk-batuk seperti ini. Terakhir kena radang tenggorokan plus batuk menyiksa pas kena Covid-19 awal 2021. Berarti sudah setahun lebih, sebuah progres yang bagus.
Menilik ke belakang, penyebabnya boleh jadi ayam goreng suatu malam yang disajikan di rumah teman. Bukan salahnya menjamu saya, cuma tahu sendiri kan minyak yang dipakai penjual ikan-ayam di kedai pinggir jalan itu seperti apa keruh dan hitamnya? Sepertinya dari sana asalnya.
Sebenarnya kalau sedang fit, saya mempan radang. Masalahnya saat itu badan sedang enggak enak makanya saya ambil terapi akupuntur sehari sebelumnya di Masjid Chengho.
Namun saya tak menyesalinya, sebab bisa berjumpa sahabat lama semasa SMP-SMA, juga kopdar singkat dengan Mbak Dian bloger Surabaya di tengah tenggat, itu sungguh kenikmatan yang patut saya syukuri.
Kini badan sudah enakan, batuk sudah perlahan sirna, tinggal sesekali saja. Tanpa antibiotik, cukup kencur, madu dan vitamin. Alhamdulillah sesekali masih pusing dan lemas, tapi sudah bisa mengetik dengan nyaman di depan laptop. Tak ada lagi dilema, tak ada lagi perasaan bersalah sebab telah membatin pada Pak Manajer sebab itu sudah masa lalu.
Yang terjadi sekarang dan nanti, itulah yang penting dicermati. Perlu dirancang, dipersiapkan, dan yang paling penting, dijalani dengan sepenuh hati–tanpa keluhan atau sakit hati.
Pengalaman yang berkesan terkait prolog tulisan ini, adalah ketika saya berpikir gimana sih rasanya jatuh di tangga? Lihat di film atau sinetron itu kok kayaknya gak apa-apa ya gelundung-gelundung gitu?
Eh akhirnya saya ngerasain, jatuh di tangga kos-kosan temen. Hahaha.
Btw semoga semakin sehat ya, Mas Rudi. Jaga stamina terus biar radang dan batuknya gak bisa tembus 🙂
LikeLike