“Rasanya seperti mau mati!” begitu ujar seorang teman bloger yang belum lama ini pulih dari Covid-19. Kalimat itu ia ucapkan untuk menjelaskan perasaannya sewaktu awal dihinggapi virus berbahaya tersebut. Walau belum pernah mengalami kematian, orang ternyata mampu mendeskripsikan near-death experience karena gejala parah yang menderanya akibat suatu penyakit. Dalam hal ini, coronavirus yang kini masih mewabah.
Selama menjalani isoman saat diserang Covid-19, teman bloger ini merasakan rasa lemah luar biasa sampai untuk menggeser badan guna meraih sendok pun seperti kehilangan daya. Menuju kamar mandi menjadi perjuangan tersendiri karena selangkah demi selangkah diselingi jeda demi menjaga kepayahan yang luar biasa parah. Bisa dibayangkan kalau penderita hidup sendirian tanpa bantuan orang lain dalam satu rumah, niscaya ancaman depresi dan halusinasi bisa jauh lebih berbahaya.
Halusinasi dan menurunnya fungsi kognisi
Seperti Ari Lasso yang mengaku sempat dilanda delirium atau halusinasi penuh mimpi buruh. Sulit membedakan fakta dan mimpi, tak mampu menguraikan timeline yang ia jalani. Dunia campur aduk, hanya monster mengerikan yang berkecamuk dalam kepala atau pikiran. Dalam kondisi demikian, karya apa yang bisa diharapkan terlahir dari seorang seniman? Bagi pekerja biasa, yang jelas terasa adalah menurunnya produktivitas yakni aktivitas ekonomi.

Itu pula yang saya rasakan awal Januari silam. Rasa lelah tak keruan, sakit kepala yang tahan lama, hingga pikiran linglung mewarnai hari-hari. Saya yang sudah pelupa makin merasakan kesulitan memroses informasi di sekeliling. Akhir Desember itu saya sudah menargetkan ikut lomba IIDN berhadiah laptop ASUS, yang gagal saya tuntaskan gara-gara Covid-19 yang menyebalkan.
Betapa tidak kesal, saya telah menghimpun data dan bahan dari empat kali webinar yang diselenggarakan. Giliran mengolah jadi tulisan, Corona hadir menghadang sehingga saya kemudian harus rela melepaskan lantaran pikiran blank tak berkesudahan. Ide sudah solid dengan dukungan data yang valid, ending-ya ternyata pahit gara-gara si copit. Bahkan pikiran masih sulit diajak bekerja setelah virusnya enyah. Entahlah….
Sumpil lezat dan ibu yang tak sehat
Beberapa hari sebelum Desember berakhir, saya berkunjung ke rumah adik tempat ibu tinggal. Sudah lama saya tak mengunjungi beliau dan seperti biasa beliau selalu bertanya kapan saya akan main ke sana bersama anak-anak. Waktu itu istri kebetulan berhasil mendapatkan sukun dari pasar untuk dibikin sumpil kesukaan ibu. Sumpil adalah kudapan berbahan utama sukun tua, dicampur tepung ketan dan kepala parut. Sungguh sedap dan nikmat rasanya. Saya biasa membeli di lapak langganan, tapi sayang sukun tak selalu ada sehingga sumpil jadi langka.
Sumpil matang, saya bertolak ke rumah ibu. Beliau kegirangan saat menerima camilan ini. Bukan hanya sebab dibuat oleh menantu tercinta aka Bunda Xi, tetapi juga karena hadir dalam jumlah berlimpah. Kontainer Tupperware berukuran 12 x 15 cm pun penuh dengan sumpil yang aromanya sangat menggoda. Ini jumlah yang besar dibanding beli di pasar yang hanya seikat kecil dicampur ketan.
Waktu saya datang malam itu, ibu sedang dipijat karena merasa kecapaian. Selepas dipijat, beliau langsung mencicipi dan menyukainya. Serat-serat tepung ketan membuat adonan makin istimewa. Namun esoknya badan ibu makin tak enak ditandai dengan suhu tubuhnya yang kian meningkat. Selain kelelahan akibat menyambangi sawah, faktor utama beliau drop adalah pikiran yang membebani. Pada saat yang sama kakak tengah terkena masalah yakni tertipu bisnis hingga ratusan juta, yang bagi ibu menjadi pukulan berat sebab tak terduga.
Setelah minum paracetamol, demam sempat turun walau lama-lama naik lagi. Saya berjaga untuk mengompresnya agar demam sedikit reda. Dari situlah saya jadi kurang tidur dan ikut merasakan capai. Dua hari berlalu, ibu saya bawa periksa ke dokter. Dokter meresepkan antibiotik dan paracetamol, juga obat batuk sebab beliau sesekali batuk basah. Sungguh tak terbayang itu virus Corona yang sedang merajalela.
Radang tenggorokan dan isoman
Lambat laun kondisi ibu alhamdulillah membaik, hanya lelah yang masih tersisa dan batuk kering jarang-jarang. Begitu ibu baikan, giliran saya yang dilanda rasa tak nyaman. Kira-kira setelah 4 hari menemani ibu, tenggorokan saya serak dan demam terasa kemudian. Saya pikir ini radang tenggorokan yang biasa saya alami setiap sekian bulan untuk membersihkan dahak dari dalam. Saya pun memutuskan periksa ke dokter yang sama agar mendapat obat.
Alhamdulillah perlahan-lahan radang dan demam segera hilang. Hanya batuk yang agak bandel, disertai dahak yang membuat saya kerepotan. Selain itu, rasa lelah terasa awet bertahan di badan, membuat pikiran tak jenak diajak bekerja. Terakhir, walau tak sering adalah hadirnya kepala pusing yang enggak ketulungan. Saya mulai curiga ini gejala Covid-19 dan segera mengisolasi diri di kamar depan agar jauh dari keluarga lain, terutama.
Tak lama berselang, suatu siang Bunda Xi mengalami mual hebat sampai muntah-muntah. Walau tanpa demam, sakit kepala dan lelah cukup menyiksa. Untunglah Bumi tak apa-apa sementara Rumi sempat demam tinggi selama sehari dan pulih dengan sendirinya. Praktis kgiatan saya selama isoman di rumah adik adalah membaca buku koleksinya dan menonton tayangan lama di Youtube seperti sinetron dan film Si Buta dari Goa Hantu serta acara kuis tahun 90-an.
Saya sempat tergoda untuk melakukan tes untuk memastikan itu Covid atau bukan. Namun melihat biaya tes yang cukup mahal, kami pun mengurungkan. Kalau positif, memang digratiskan. Sementara kalau negatif, biaya tetap harus dibayarkan. Jai selama isoman, pikiran dibuat tenang dengan tetap berjemur, mengonsumsi makanan bergizi dan multivitamin.
Kira-kira setelah 10 harian, saya dan istri, juga ibu kehilangan indra penciuman. Mulai dan durasinya beragam, tapi rata-rata selama 5 harian. Selama waktu itu, acara makan sungguh tak menyenangkan. Seperti makan kertas, tak ada bau, rasa, dan tekstur. Benar-benar hambar dan hanya kemarahan yang menjalar. Marah karena kena penyakit aneh, dan kenapa bukan kakak yang mengalaminya padahal dialah penyebab ibu drop karena memikirkannya? Begitulah virus mendera saya sambil pikiran makin linglung.
Napas tersengal dan pesan untuk istri
Kira-kira setelah sebulan, kondisi sudah baikan. Saya putuskan pulang dan melanjutkan isoman di rumah sebab pekan-pekan awal Januari waktu itu hujan turun begitu sering dan deras yang mengancam banjir di kompleks kami. Tiba di rumah, kami langsung membatasi interaksi dan menghubungi teman di komunitas NBC agar dibantu soal logistik. Saya sangat beruntung bergabung dalam komunitas itu sebab begitu saya terindikasi kena Covid-19, kurir berdatangan untuk mengantar obat-obatan dan logistik selama kami menjalani isoman.
Bukan hanya terbantu karena kami dikirimi sehingga tak perlu keluar, tapi kiriman itu digratiskan padahal kalau ditotal jumlahnya sangat sangat signifikan. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Hanya merekalah yang kami beritahu, bukan tetangga sekitar. Kami sengaja merahasiakannya dari lingkungan sekitar sebab mereka rata-rata abai terhadap prokes dan tentu saja tak percaya soal wabah ini.
Saya pernah menulis dalam When The Pandemic Turns us into a Public Enemy betapa kami telah dicemooh dan dijauhi gara-gara ga srawung dalam kegiatan warga yang mengumpulkan massa. Kata-kata yang mereka pergunakan sangat mengerikan loh, sungguh menyakitkan jika diceritakan. Dan perlu diingat, kami selalu taat prokes 5M. Keluar rumah hanya saat perlu saja, biasanya karena belanja ke pasar setiap 3 hari. Itu pun selalu pakai masker dan menjauhi kerumunan. Selebihnya kami lebih banyak di rumah.
Bayangkan jika para tetangga julid itu tahu kalau kami kena Covid-19 padahal sudah taat prokes. Tentulah mereka akan berceramah, “Tuh kan udah taat prokes aja masih kena, mendingan enggak usah prokes-prokesan sekalian!” Jadilah kami benar-benar mengisolasi diri sambil berkonsultasi dengan teman nakes di sebuah rumah sakit.
Kami juga bersyukur selama isoman teman baik Bunda Xi yang seorang penyintas Covid-19 mengirimkan paket obat dan multivitamin dari Tangeran sehingga stok obat dan vitamin kami lumayan tercukupi. Semua kondusif sampai suatu malam saya mengalami sesak napas. Saya abaikan karena saya pikir itu pengaruh udara malam yang lembab atau kotor.
Besoknya ternyata berlanjut, bahkan seharian hingga saya sulit tidur. Jika pun sempat tertidur sejenak, kadang bangun tergeragap karena mengejar napas. Esoknya saya mengontak pembina NBC yang seorang polisi, dengan harapan bisa mencarikan saya tempat di RS Covid kota. Rupanya kondisi RS sedang full waktu itu, sehingga saya diusulkan melanjutkan isoman sambil meminum obat yang kemudian dikirimi oleh istrinya secara cuma-cuma.
Kira-kira sepekan lebih mengalami sesak napas sampai enggak nyampai gitu. Sulit menjelaskannya. Saya sampai berpesan kepada istri tentang ini, itu, termasuk utang yang kami miliki seandainya saya berpulang duluan. Jangan bayangkan betapa pedihnya melalui saat itu. Pikiran masih linglung tak bisa diajak kerja, sementara sesekali napas tak bersahabat.
Menurut saya, dampak psikis Covid-19 jauh lebih mengerikan. Menurunnya fungsi kognisi yang belakangan dikonfirmasi oleh sebuah penelitian hanya salah satu di antaranya. Yang tak kalah penting adalah hilangnya kesempatan mendapatkan nafkah karena keterbatasan beraktivitas, dalam hal ini aktivitas ekonomi.
Kalau tak punya cadangan uang yang cukup dan tak juga punya dukungan komunitas yang solid, apa yang diharapkan selain kekalutan pikiran yang bisa terus-terusan menggerogoti kepercayaan diri? Itu pula yang saya rasakan: rasa marah dan sebal pada mereka yang enggak mau taat prokes, yang bisa jadi kuat tapi menularkan virus kepada orang lain yang sedang labil seperti saya dan ibu.
Belakangan baru kuketahui ternyata suami bulik, yang rumahnya ada di sebelah rumah ibu, ternyata pernah kena Covid-19 pada waktu bersamaan kami berkunjung sebulan sebelumnya. Suaminya dilarikan ke klinik karena mengeluhkan lambung sakit lalu diputuskan dirawat di RS Covid. Nah, lazimnya orang kampung, apalagi yang masih bersaudara, ibu paklik sering main ke rumah ibu, lebih-lebih saat ibu mulai enggak enak badan.
Menanti vaksin
Ditambah lagi fakta bahwa orang-orang desa masih banyak banget yang menyepelekan virus ini. Dianggap konspirasilah, itulah, inilah, yang kian membuat virus mengalami eskalasi baik dalam jumlah penderita maupun varian yang makin sulit ditaklukkan. Yang kuat mungki kuat, tapi yang punya komorbid seperti saya, istri, dan ibu tentulah harus ekstrawaspada.
Walau sekarang sudah sembuh dan beraktivitas normal, kami tetap saja memilih bertahan di rumah sampai kondisi benar-benar aman. Sambil menunggu jadwal vaksinasi pertengahan Agustus, kami berdoa semoga sehat selalu. Sebenarnya sudah berencana ikut di beberapa tempat, tapi terkendala kondisi fisik kami. Barulah sekarang kondisi fit dan bisa mendaftar.
Bagaimana pun, meminjam falsafah orang Jawa, “Ingsun mung saderma, mobah mosik kersaning hyang sukmo,” kami hanya bisa berikhtiar dan selebihnya terserah keputusan Allah Yang Mahakuasa. Kalau kami bertahan melalui pandemi ini, alhamdulillah, semga menjalani sisa hidup dengan bijaksana. Namun jika pandemi ini menjadi momen terbaik bagi kami untuk “pergi”, apalah yang bisa kami minta selain permohonan maaf dan husnul khatimah?
4 Comments