[Resensi Buku] Hindari Jebakan Konsumerisme, Kita Bisa Kece Tanpa Kere

Judul: Kece Tanpa Kere | Penulis: Tim PermataBank | Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama | Desain isi & ilustrator: TBWA | Desain sampul: TBWA | Tahun terbit/cetakan: 2017/pertama | ISBN: 978-602-03-5340-1

Setelah membaca buku berjudul Kece Tanpa Kere yangringan tapi bergizi, saya seketika teringat pada kisah yang saya alami. Beberapa tahun silam, saya mendapat undangan untuk menghadiri Blogger Gathering di Pekalongan yang diselenggarakan oleh dinas pariwisata setempat. Karena sepatu lama sudah usang, saya pun membeli sepasang sepatu baru berwarna krem. Begitu sepatu dibawa pulang, mulai ada yang kurang sebab saya mendadak butuh celana baru dengan warna yang bisa dipadupadankan dengan sepatu baru tersebut. 

Kejadian serupa terulang tahun ini menjelang lebaran. Setelah berhasil memiliki celana baru, hasrat untuk punya ikat pinggang pun membuncah. Padahal celana ini harus lewat ‘perjuangan’ untuk didapatkan. Saya termasuk orang yang tak mudah tergiur untuk membeli sesuatu, entah karena tren atau ajakan orang. Atas desakan istri, saya baru luluh untuk membeli celana baru ketika celana lama sudah belel dan saya betul-betul membutuhkan yang baru. Itulah yang saya sebut perjuangan.

Sejauh ini saya beraktivitas menggunakan empat celana: dua celana kain, satu blue jeans, dan satu celana kargo yang terakhir saya beli. Saya konsisten menolak permintaan istri untuk membeli celana baru, atau pakaian lain, sebab saya sadar betul bahwa berdasarkan pengalaman nyata saya ternyata akan cenderung memakai baju (celana dan baju) yang itu-itu saja—apalagi kini saya bekerja sepenuhnya sebagai freelancer yang lebih banyak tinggal di rumah dan hanya sesekali mengikuti acara di luar.

Bukan bermaksud hidup asketik, saya hanya mencoba bersifat rasional. Terlalu banyak pilihan dalam hidup—bahkan dalam hal pakaian pun—rupanya menghadirkan kesulitan yang kadang malah membuat waktu saya tidak produktif sekadar untuk menimbang pilihan. Apalagi jika terpenuhinya sebuah keinginan hanya akan menuntut pemenuhan hal-hal lain (yang dirasa perlu), itu bakal menggeroroti saya secara ekonomi.

Diderot Effect yang bikin capek

Jawaban atas rasa penasaran itu akhirnya saya temukan pada sepenggal fragmen hidup Denis Diderot. Pada usia 52 tahun, penulis dan filsuf asal Prancis itu kesulitan menikahkan putrinya karena urusan biaya. Singkat kata, Diderot tertolong oleh kaisar perempuan Rusia Yekatrina Agung yang berkenan membeli koleksi perpustakaannya senilai kira-kira 50.000 dolar.

Selain menikahkan putrinya, Diderot pun mampu membeli jubah baru berwarna kirmizi. Jubah yang baru ini indah dan mewah sehingga terlihat mencolok di antara deretan benda-benda miliknya yang biasa saja. Atas dorongan memadupadankan dengan jubah barunya, Diderot kemudian membeli benda-benda lain. Mulai permadani buatan Damaskus hingga patung-patung menawan, semua ada di rumahnya—menggantikan benda lain yang tampak usang atau tak cocok dengan jubah kirmizi.

Pembelian beruntun karena dorongan inilah yang kemudian menjadi latar munculnya istilah Diderot Effect. Menurut kaidah ini, memiliki barang baru ternyata sering kali menciptakan spiral konsumsi yang mendorong untuk membeli barang lain lagi dan lagi. Seperti yang saya rasakan, saya kemudian merasa tak butuh barang-barang yang saya beli kemudian hanya lantaran untuk melengkapi barang baru padahal barang lama masih banyak yang layak dimanfaatkan. Saya lama-lama merasa capek, merasa digerogoti karena enggan teliti sebelum membeli.

Konsumerisme dan kamuflase apresiasi diri

Baik kisah Diderot maupun saya sejalan dengan salah satu contoh dalam buku Kece Tanpa Kere yang saya sebutkan di awal tulisan. Adalah Radit, pemuda yang diterima bekerja di sebuah bank setelah bertahun-tahun hidup pas-pasan sebagai mahasiswa. Setelah punya penghasilan cukup besar, ia pun bebas makan enak dan belanja tanpa khawatir makan mi instan di akhir bulan. Demi alasan kenyamanan, ia pun tinggal di kamar kos dengan biaya sewa 5 kali lipat kamarnya saat mahasiswa dulu. Alih-alih makan di warteg, ia kini rajin memesan makanan secara delivery dari restoran nyaris setiap hari.

Tidak berhenti sampai di situ, ia pun kian asyik mengeksplorasi hobi fotografinya. Jika semula hanya mengandalkan satu kamera SLR pemberian sang kakak, kini Radit punya DSLR terbaru, kamera mirrorless seharga 20 juta, action camera terbaru, dan tentu saja drone camera sebagai teman liburan. Satu hal yang yang mengganjal: walau penghasilannya 10 kali lipat uang jajan semasa kuliah dulu, mengapa ia selalu tongpes (kantong kempes) di akhir bulan selama bekerja 6 bulan di bank?

Kasus yang dialami Radit boleh jadi tidak unik karena terjadi di banyak tempat, oleh orang-orang terdekat dan bahkan kita alami sendiri. Ketika masih berstatus staf biasa, kita mungkin terbiasa makan di warteg yang ada di basement mall. Namun ketika mendapatkan promosi, tempat makan dan gaya berpakaian ikut menyesuaikan. Yang berbahaya adalah ketika kita menjadi brand-minded yaitu apa-apa harus bermerek dengan alasan aktualiasi atau apresiasi diri. Jangan-jangan yang terjadi hanyalah kamuflase belaka; bukan apresiasi sesungguhnya, melainkan emotional payoff atau kepuasan emosional yang dirasakan dari pencitraan diri sebagai sosok yang ‘baru’.

Menurut buku Kece Tanpa Kere ini, perubahan kebiasaan konsumsi saat pemasukan mengalamai peningkatan memang sulit dihindari. Bukannya memperbesar alokasi menabung karena pemasukan lebih besar, kita sangat mungkin malah longgar dalam pengeluaran terutama untuk memenuhi makanan yang lebih wah, tempat kongko yang lebih keren, dan busana yang lebih beragam.

Hal ini diperkuat oleh temuan BCG (Boston Consulting Group), sebuah perusahaan konsultan yang berbasis di Boston, Amerika Serikat. Laporan yang dirilis tahun 2014 ini menyebutkan bahwa ada perubahan perilaku pada kalangan kelas menengah urban Indonesia. Ketika mendapat peningkatan penghasilan, mereka cenderung meningkatkan konsumsi barang-barang yang menawarkan emotional payoff, misalnya kosmetik atau pendidikan anak (hal.7). Kita tahu bahwa kosmetik yang bagus dan pendidikan bermutu bisa sangat relatif, tidak selalu ada standar baku untuk mendefinisikan selera semua orang. Bisa sangat spesifik sesuai kebutuhan masing-masing sehingga tak perlu terbuai oleh merek atau tren semata.

Belum lagi kalau berbicara tentang produk perawatan diri (self care) yang kini semakin populer bagi wanita maupun pria. Produk perawatan dari rambut hingga ujung kaki bisa menyedot keuangan jika kita berkutat pada merek saja. Termasuk penggunaan merek smartphone tertentu, seperti iPhone yang telanjur diidentikkan sebagai penyumbang prestise dengan harga yang fantastis.

Jika gejolak konsumsi ini tidak terkendali, maka kita harus bersiap menjadi korban konsumerisme. “Consumerism, the society’s religion” menjadi judul bab pertama dalam buku ini. Mungkin terlihat ekstrem, tapi ini valid sebab kita bisa dengan mudah menjadi korban overkonsumsi sebagaimana dalam pengertian Diderot Effect kalau kita tak memperjelas pengertian tentang kebutuhan dan keinginan secara jeli. Berburu kualitas itu boleh, tapi terpaku pada merek hanya sebagai media ekspresi diri, itu yang wajib diwaspadai.

Menariknya, rata-rata orang Indonesia yang mengalami defisit hingga 35% dari pemasukan sampai disebut bangkrut bukanlah mereka yang penghasilannya kecil. Gaji mereka sebenarnya besar tapi dihamburkan untuk memenuhi tuntutan gaya hidup kekinian yang tidak selalu mereka butuhkan. Artinya, selalu ada opsi untuk memilih gaya hidup yang sama baiknya dengan pengeluaran yang lebih terkendali sehingga selisih dana bisa disimpan di bank atau dalam berbagai bentuk investasi.

Lebih baik dana disisihkan untuk berinvestasi ketimbang habis untuk konsumsi dan mendukung gaya hidup konsumerisme. Konsumerisme berbahaya sebab jika menilik Urban Dictionary, definisinya adalah praktik membeli barang-barang mahal yang mencolok dengan harapan bisa mengisi kekosongan hidup. Intinya, pembelian benda-benda mahal yang terihat atraktif atau mengesankan orang tidak pernah menjamin mampu menyempurnakan kebahagiaan hidup seseorang. Kehampaan diri tidak selalu bisa dilengkapi dengan materi.

Pada halaman 17, ada satu kutipan menarik dalam buku ini yang perlu kita camkan dalam merencanakan pembelian.

Too many people spend money they haven’t earned to buy things they don’t want, to impress people they don’t like.

Problem yang kita alami, terutama di era serbamodern saat ini, boleh jadi karena pembelian hal-hal mewah dan mahal yang belum tentu kita ingin/butuhkan tanpa peduli habis uang bahkan kalau perlu berutang. Ironisnya, perilaku konsumtif semacam ini kerap hanya dilakukan demi menciptakan kesan baik di mata orang—dikenal atau tidak—sebagai sebentuk pengakuan agar diterima secara sosial.

Buku penting saat masa genting

Seperti subjudulnya, You Only Live Once (YOLO), buku ini tidak melarang pembaca—terutama anak muda—untuk mengingkari atmosfer kehidupan kekinian. Gemerlap modernitas tak mungkin ditolak, hanya bisa dikendalikan lewat sikap yang bijak. Salah satunya menyikapi keuangan sebagai salah satu komponen penting dalam memenuhi kebutuhan. Adalah salah jika meyakini bahwa uang menjadi sumber kejahatan. Yang benar adalah kurangnya pemahaman yang baik mengenai uang itulah penyebab makar atau kejahatan. Sebagaimana kutipan yang ditampilkan pada hal. 200: Money is not the the root of evil. Lack undestanding of it is.

Buku ini sangat ideal sebagai teman pada masa genting saat ini. Bagus untuk menularkan hal-hal positif dalam menyikapi uang. Bukan hanya menabung, juga berinvestasi yang bikin untung. Anak muda boleh menjunjung YOLO, tapi harus dengan pola pikir yang benar yakni jadi generasi #SayangUangnya untuk hal-hal mendesak dengan perencanaan dan terutama kebutuhan masa depan. Boleh jajan asalkan punya tabungan, ini wajib ditanamkan. Jangan berutang jika tidak produktif.

Selain dilengkapi kutipan menohok yang menyiratkan penyadaran, setiap bab dalam buku ini dibekali dengan check list untuk meresapkan pemahaman dengan partisipasi aktif kita sebagai pembaca. Tata letak yang sangat atraktif, baik dalam penyajian font maupun kelengkapan grafis, dijamin bikin betah membaca karena disampaikan dengan narasi yang mengalir dan ringan tanpa kehilangan esensi atau kedalaman.

Ditulis oleh tim perbankan yang kompeten, menurut saya buku ini wajib dibaca oleh siapa pun. Kaum muda tepat untuk merencanakan pengelolaan uang yang lebih matang, sedangkan kaum tua bisa merefleksikan pengalaman masa lalu untuk membantu anak-anak agar tidak terjebak dalam kesalahan yang sama jika gejala konsumerisme pernah mereka alami.

Advertisement

1 Comment

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s