“Aku pengin banget jadi penulis. Tapi aku enggak suka baca.” Begitu ujar seorang kakak tingkat belasan tahun yang lalu. Saya mendengus agak kesal. Betapa tidak, bermimpi hendak jadi penulis atau novelis, tapi minat baca rendah. Bagaimana mungkin?
Bila otak tak diisi ilmu atau bacaan bermutu, maka pikiran akan mampet. Kalaupun lahir tulisan, mungkin akan berupa karya yang dangkal dan kurang greget. Bagi seorang penulis, kegiatan membaca bukan lagi hobi, melainkan kebutuhan rutin. Selain untuk memasok ide, membaca juga merawat pikiran agar tetap sehat. Dengan kata lain, membaca ibarat energi besar bagi seorang penulis.
Lebih banyak membaca
Saya pernah baca pengalaman seorang ghost writer, yang menegaskan bahwa menuliskan pengalaman orang lain menjadi buku ternyata lebih banyak didominasi oleh kegiatan membaca. Melakukan riset dari berbagai pustaka, membandingkan sumber-sumber, menguji validitas teks, serta menambah bahan semuanya dikerjakan melalui proses membaca.
Ibarat baterai, otak kita juga butuh di-recharge. Daya yang sudah melemah harus disuplai lagi dengan tenaga baru. Vitalitas yang menurun harus dipacu kembali dengan membaca. Bila sudah terlalu banyak yang dikeluarkan, maka harus ada jumlah lebih banyak yang diserap.
Bahkan kegiatan membaca yang dilakukan secara kontinu dan teratur lambat laun akan mendorong otak melahirkan buah berupa tulisan. Atau kalau tidak berupa ucapan yang dipetik dari hasil bacaan. Saya teringat analogi kendi yang pernah diceritakan oleh seorang kawan. Kendi yang kosong, bila diisi terus dengan air, maka lama-lama akan mengucurlah air bersih dari mulut kendi. Demikian juga dalam proses menulis. Membaca dan membaca akan memancing otak untuk mengeluarkan sesuatu.
Bahan bacaan itu layaknya air yang terus disuntikkan sehingga lama kelamaan memercik. Menambah bacaan ibarat menyuplai asupan energi bagi otak. Semacam proses recharge alami yang suatu hari akan menghasilkan panen.
Pelatihan dan workshop
Recharge otak tentu tidak hanya dari bacaan atau buku belaka. Bagi pegawai atau staf kantor di suatu perusahaan, pelatihan atau training bisa pula berfungsi sebagai pemasok energi. Saya jadi ingat saat masih bekerja sebagai editor di sebuah penerbit beberapa tahun silam. Kami bekerja tiap hari mengandalkan kreativitas dan skill sesuai latar keilmuan. Menyusun buku yang bermutu. Namun jarang sekali kami mendapat asupan bergizi berupa pelatihan atau workshop untuk memulihkan energi dan semangat.
Ada satu titik di mana kami merasa jenuh lantaran energi begitu divorsir tanpa di-recharge. Butuh pembaruan semangat dan pasokan ide-ide yang lebih inovatif. Sama halnya ketika kita merasa loyo secara spiritual, maka diri perlu disuntik dengan membaca buku bagus atau menghadiri majelis ilmu. Bisa pula dengan menemui tokoh yang kita yakini bisa membantu memfasilitasi.
Yang jelas, recharge itu penting–apa pun bentuknya.
Iya… Kadang ide lahir dari membaca karya orang lain
LikeLike
Iya, Kang. Ada banyak inspirasi dari karya orang lain. Yang tadi mampet atau kosong biasanya jadi ada pancingan.
LikeLike
sepakat mas, 70% kegiatan menulis itu memang membaca kok, kalo ada penulis yg ga suka baca, ga logis menurutku hihihihi
LikeLiked by 1 person
Nah, itulah, Rin. 😀
LikeLike
Iya emang kalo kurang baca, nulis jadi kurang nendaaang hehehee.
Btw, om belalang, koq blognya susah dikomen sama platform blogspot sih 😦 ?
Nnt kunjungi blog ku yg ini yaaa >>> djayantinakhla.com
Hehe.. makasiiih 🙂
LikeLike
Masak sih susah, Mbak. Teman-teman dari blogspot sejauh ini oke-oke aja kok. Tinggal masukkan nama, akun email, dan alamat website/blog. Kesulitannya gimana? Ya nanti coba BW.
LikeLike
Ooh gitu, iya nih, enggak tahu kenapa, aku kalau mau post komen di blog om belalang, malah diarahkan ke wordpress terus hehe..
Makanya ini skrg pake akun yg wordpress dulu supaya bs komen xD
LikeLike
Kurang tahu juga 😁
LikeLike
workshop penting banget buat menambah keilmuan 🙂
LikeLike
Yoi, Win.
LikeLike
ibaratnya sepatu atau tas kulit… semakin banyak dipakai, semakin banyak disikat/dibersihkan akan lebih mengkilat daripada sepatu kulit yang disimpan saja….. Ibu saya suka eman-eman tas kulitnya, disimpan saja di lemari, akhirnya terkelupas dan bulukan sehingga terpaksa saya buang….Karena tidak ada waktu untuk baca, recharge saya sekarang menonton acara kuiz dan bahasan di TV nih.
LikeLiked by 1 person
Betul, Mbak Em. Makin diasah makin tajam. Sayang ya tas bagus akhirnya malah terbuang. Ya, meskipun baca buku berkurang, minimal tetap ‘membaca’ dengan cara lain, yakni dengan memperkaya informasi dan ilmu dari televisi berupa tayangan pilihan sesuai minat dan preferensi.
LikeLike
hmmm 3 hari ini saya menulis dan hasilnya 2 padagraf yang tidak berujung pangkal, apa perlu dcharge ya?
LikeLike
Sangat perlu. Jeda sejenak dari tulisan, mengobrol dulu sana teman plus membaca buku, atau majalah.
LikeLike
Setuju, nulis blog aja mesti jg rajin2 baca buku or BW biar ada ide
LikeLike
Top! Toss! 😀
LikeLike
Setuju pisan Kang!
LikeLike
Siap!
LikeLike