…the double-edged quality of life in small town—security and boredom
—OALD
HIDUP DI KOTA kecil biasanya memiliki dua ciri yang kontras, yakni rasa aman dan kebosanan. Begitu bunyi contoh kalimat dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary edisi 8 yang coba menerangkan arti frasa double-edged. Setelah direnungkan, makna kalimat tersebut ada benarnya juga. Dibanding kota besar, kota kecil memang menawarkan ragam kehidupan yang berbeda.
Selain lokasi suatu kota, budaya dan mata pencarian penghuninya turut mewarnai bentuk kehidupan yang dijalani. Kebiasaan ngopi di Lamongan, tempat saya kini tinggal, misalnya, sangat dominan dibanding di Bogor–kota yang pernah saya huni selama belasan tahun. Bila orang kota besar seperti Bogor orang ngopi kebanyakan di mal atau coffee-shop khusus, maka di Kota Tahu Campur ini saya menjumpai warga sangat sering memenuhi kedai-kedai tradisional yang menawarkan kopi sebagai menu utama plus nasi bungkus dan aneka gorengan.
Membaca contoh kalimat dari OALD membuat saya tergoda menuliskan beberapa perbedaan hidup di kota besar dan kota kecil versi BBC. Kita sebut saja perbedaan ini dalam konteks yang berlawanan agar mudah dipahami. Berikut plus minus yang saya maksudkan. Selamat menikmati.
Yang plus
1. Security
Seperti yang sudah disebutkan dalam contoh kalimat di atas, salah satu kelebihan tinggal di kota kecil adalah adanya security. Menurut kamus, security bisa mencakup beberapa makna. Pertama, rasa aman dari bahaya atau serangan tertentu. Ya boleh dibilang hidup di kota kecil memang suasana lebih aman. Dibanding kota besar yang tingkat kriminalitasnya relatif lebih tinggi, kota kecil menawarkan keamanan.
Kedua, security juga bisa diartikan sebagai kebebasan finansial. Mungkin tidak bebas sebebas-bebasnya menurut pengertian para motivator itu, tetapi paling tidak ada rasa tenang dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Harga-harga tidak mencekik seperti di kota besar.
Ketiga, security juga dimaknai dengan terbebasnya kita dari rasa cemas atau rasa takut. Sedikit mirip dengan makna pertama, namun dalam pengertian ketiga lebih menyangkut perasaan pribadi atau personal well-being. Maksudnya, hidup di kota kecil lazimnya diliputi ketenangan batin, baik psikologis maupun emosional. Orang-orang bergerak dengan lambat dibanding orang-orang kota yang bekerja dengan cepat, terkesan grusa-grusu, dan akhirnya tua di jalan. Mereka seolah tak menikmati hidup sebab sehari-hari hanya sibuk mengumpulkan materi.
Sebaliknya, di kota kecil semua berjalan begitu saja–apa adanya. Orang menjalani hidup menurut pace yang sesuai dengan dirinya, atau tidak ngoyo. Meskipun materi masih menjadi ukuran kesuksesan, namun tekanan relatif bisa diredam sebab kita punya keputusan sendiri untuk memilih jenis penghidupan yang sesuai.
2. Dekat keluarga
Siapa yang tak suka berada di dekat keluarga, apalagi jika orangtua masih ada? Rasanya semua orang menikmatinya. Inilah salah satu motif kami pindah ke Kota Lele, yakni agar berdekatan dengan ibu dan keluarga besar. Setiap ada acara penting kami hampir selalu absen lantaran tinggal jauh di Bogor. Di kota kecil ini kami dengan mudah mengunjungi ibu kapan saja beliau mau.
Atau sebaliknya, ibu yang datang lalu menginap. Dari beberapa kali kunjungan ke rumah, ibu selalu menunjukkan perasaan gembira dan aura keridaan. Semoga yang kami tangkap itu merupakan fakta sehingga kepindahan kami memang diridai Allah. Yang jelas, dekat dengan keluarga punya banyak manfaat. Selain kegembiraan berkumpul, makanan rasanya tak pernah surut. Ada saja rezeki buat kami, hehe….
3. Kebutuhan terjangkau
Karena beberapa barang bisa dipenuhi antara lain dengan ditanam sendiri, maka sejumlah kebutuhan di kota kecil relatif lebih murah dibanding di kota besar. Ini elemen yang sangat menguntungkan loh. Selain berhemat, kita juga bisa menyisihkan sebagian untuk ditabung. Karena kedai makanan tak selengkap di kota besar, maka dorongan untuk jajan juga bisa ditekan lantaran terpaksa. Belum lagi kalau ada kiriman beras dari saudara atau kerabat, makin hemat lagi deh, hihi.
4. Antimacet
Di beberapa status teman di akun Facebook, tak jarang saya mendapati mereka mengeluhkan kemacetan di sana sini. Terjebak dalam macet panjang memang menyebalkan. Kami merasakan sendiri peliknya problem macet selama tinggal di Bogor atau saat berkunjung ke Jakarta. Apalagi saat ini tengah dibangun dua jalan tol dalam kota, maka Bogor semakin macet dan dilimpahi hiruk-pikuk kendaraan.
Kota besar lain, seperti Bandung misalnya, tak jauh berbeda. Apalagi saat liburan panjang atau akhir pekan, wow banget deh jalanan macetnya. Buka tutup jalur menjadi praktik normal. Maka kami jarang keluar saat liburan atau akhir pekan kecuali bila sangat mendesak. Syukurlah kami bukan pekerja kantoran yang bisa keluar kapan saja tanpa dibatasi jam kerja.
5. Sumber inspirasi
Poin kelima ini boleh dibilang masih mentah ya. Entah kenapa saat berada di kota kecil, inspirasi menulis atau menyusun puisi membuncah. Ide-ide tulisan untuk lomba blog pun mengalir dengan lancar walaupun eksekusinya masih butuh kedisiplinan. Namun sekali lagi, di daerah memang tak banyak gangguan.
Bila disela pekerjaan lain pun, misalnya harus ke suatu tempat, waktunya tidak berlarut. Bisa segera kembali mengerjakan tulisan sampai tuntas sebab jarak yang relatif cepat dijangkau. Maklumlah, tak ada kemacetan kan? Saya bersyukur sekali minat dan kesukaan menulis puisi kembali tersalurkan. Seperti puisi di atas yang saya ikutkan dalam suatu lomba. Meski pemenang belum diumumkan dan belum tentu menang, lega rasanya proses kreatif berjalan dengan lancar.
Pohon-pohon besar di sisi jalan, sawah-sawah dengan pematang, air sungai mengalir deras bahkan sampai meluap akibat hujan, meluber ke sawah-sawah. Burung-burung terdengar gembira mewarnai alam. Semuanya mendukung terciptanya momen puitik.
Di kota kecil
kesedihan bukan milik siapa-siapa
Debu jalanan dan lumpur sawah
membentuk langkah kami
agar kuat menapaki getaran nasib
Risik sungai dan cericit burung
menjadi musik sepanjang tahun
manalah mungkin kami kesepian
hujan rintik dan bening embun
menjadi sahabat penampung penat
Di kota kecil
Yang besar hanyalah cinta
Langit segar setiap hari. hati mekar dipeluk bumi
Berjalan kami menuju tanda
Bersujud kami memburu berkah
Yang minus
1. Kebosanan
Menyambung contoh kalimat di atas, kekurangan hidup di kota kecil adalah mudahnya muncul kebosanan. Terbatasnya fasilitas umum dan sarana hiburan mau tak mau kadang menciptakan kebosanan tertentu. Sewaktu di Bogor, kami bisa bebas meluncur ke bioskop saat ada film bagus yang baru dirilis. Selain menghibur, sambil nonton film juga bisa mampir ke toko buku.
Nah, minimnya tempat umum seperti taman atau tempat hiburan yang beragam sering kali menjadi pemicu kebosanan. Walau sekali lagi, derajatnya berbeda-beda dan mungkin tidak semua orang mengalaminya.
2. Tak ada toko buku representatif
Di kota kami hanya ada satu toko buku yang koleksinya lumayan up-to-date. Namun entah mengapa hampir selalu sepi pengunjung. Mungkin lantaran terlalu kecil dan harganya tidak langsung dicantumkan pada buku sehingga membuat calon pembeli malas bertanya kepada petugas.
Alasan lain, kendati beberapa judul sudah mengikuti perkembangan mutakhir, namun koleksinya kurang banyak alias kurang lengkap. Lokasinya juga tidak strategis sebab tak disediakan halaman parkir yang memadai. Barang kali lantaran pertimbangan biaya termasuk sewa ruko yang cukup mahal bahkan di daeah saat ini.
3. Minim tempat makan
Mungkin bukan maniak kuliner, tetapi kami sekeluarga penggemar aneka kuliner. Beberapa kuliner yang enak menurut kami tidak atau belum kami temukan di Lamongan. Mi Aceh yang lezat di dekat Auto2000 itu, roti canai mantap di seberang stasiun, hingga semur jengkol yang legit di dekat Bank BNI belum juga menemukan tandingan atau setidaknya setara di kota kami sekarang.
Bahkan saat menerima voucher belanja dari lomba blog, kami kebingungan menggunakannya. Biasanya kami tukar dengan pizza di dekat rumah di Bogor dulu. Menemukan pizza yang enak bukan perkara mudah. Ada sebuah gerai pizza buatan lokal yang konon sang suami asli Italia, namun pernah coba ternyata rasanya biasa saja. Adik saya yang sudah membeli di sana pun mengungkapkan hal yang sama. Rasanya kurang!
4. Cuaca tak bersahabat
Ini kondisi spesifik di kota kami. Lamongan memang panas, berbeda 180 derajat dibanding Bogor yang selalu sejuk. Hujan di sana bisa turun kapan saja, sehari bisa berkali-kali. Maklumlah namanya juga Kota Hujan. Di Lamongan hujan seperti malu-malu bertandang. Air enggan mengecup permukaan bumi.
Kondisi inilah yang cukup berat bagi kami, terutama anak-anak dan istri yang lahir di Jabodetabek. Saya yang lahir dan besar di Lamongan pun sudah mendesis saat panas mendera. Siang panas, sehingga kami enggan ke mana-mana–apalagi tak ada tempat asyik untuk dikunjungi. Tentu saja selain Perpustakaan Umum yang sejuk banget sebab dilengapi alat pendingan ruangan. Saat malam, udara tetap panas sehingga keringat membasahi badan.
5. Air, oh, air
Sebagai elemen utama kehidupan, air bukan kebutuhan yang bisa ditawar atau ditunda. Dulu mesin pompa kami rusak saat masih di Bogor, rasanya kikuk dan tak nyaman saat harus meminta air ke tetangga. Meskipun mereka membuka diri, namun kami sendiri yang sungkan.
Nah, di rumah tempat kami tinggal sekarang, air menjadi masalah tersendiri. Karena layanan PDAM belum tersedia, maka kami mengandalkan air dari tanah. Meski tidak bening banget dan agak kekuningan (jadi tak berbusa), kami senang banget sebab air mengalir deras dan kami bisa mandi serta mencuci. Sedangkan tetangga sebelah harus rajin membeli air bersih bertangki-tangki.
Namun kekurangan itu tak melampaui sederet kelebihan yang harus lebih kami hargai. Saat muncul dorongan mengeluh, kami saling mengingatkan kondisi memprihatinkan di Somalia yang tengah dilanda kekeringan dan kelaparan parah. Belum lagi suasana perang di Syria yang mengenaskan. Jangankan makanan atau air, urusan keselamatan diri pun sudah sangat genting.
Dengan begitu, kami berusaha bersyukur, meski hati ini panas dan banyak hal yang belum bisa kami raih. Tapi apakah memang semua keinginan harus terwujud? Apakah semua yang kita kehendaki kudu tercapai? Tidak. Kita jadi belajar menerima keterbatasan dan sadar diri agar tidak arogan atas teraihnya segala sesuatu.
Bagaimana kondisi di kota BBC Mania? Share yuk.
Semua memang ada plus minusnya mas, sekarang kembali ke pribadinya masing2 aja, seleranya lebih condong kemana..
kalo saya pribadi lebih memilih tinggal di kota mas, selain fasilitasnya lengkap, di kota membuat saya melek informasi dan melek tekhnologi, kehidupan di kota membuat saya merasa lebih tertantang. Jika rasa jenuh dan bosan menghampiri ya tinggal pulang kampung aja untuk beberapa hari, kalo pikiran udah fresh baru balik ke kota, hhehe
LikeLike
Betul, Bang. Makanya ini saya tulis menurut pengalaman rill saya di kota baru yang lebih kecil dibanding Bogor. Sebenarnya soal jenuh ga melulu di kota kecil sih, di kota besar pun bisa dilanda perasaan bosan. Cuma memang saluran mengusir kebosanan biasanya relatif lebih beragam di kota-kota besar.
LikeLiked by 1 person
Saya juga merasakan plus minusnya ini. Mau ngemall aja harus ke Madiun kota sekitar 40menit perjalanan.
Tapi kalau untuk kuliner, di sekitaran tempat tinggal sudah lumayan banyak pilihan tinggal lihat isi dompet 🙂
LikeLike
Iya, Mbak. Madiun lebih mendingan, Mbak. Saya punya teman dari sana juga pindahan dari Bogor. Ada Giant dan mal. Di Lamongan tak ada satu mal pun. Pernah ada lalu tutup dua tahun kemudian. Memang ga harus ada mal sih, cuma sarana pengusir jenuh bisa jadi makin beragam. Untuk kuliner, di sini masih belum banyak, Mbak. Kalaupun sudah ada, belum terlalu enak. Isi dompet emang ngaruh banget tuh hehe.
LikeLike
Kalau buku coba beli yang online atau ebook aja 🙂
LikeLike
Iya, memang pilihan jitu akhirnya adalah beli di toko daring, Nyonya. Cuma ya itu kalau di kota besar kami biasanya memanfaatkan toko buku sebagai tempat rekreasi selain beli buku.
LikeLike
Saya tinggal di tempat yang dulunya desa banget trus sekarang pelan2 berubah jadi ramai seperti kota. Malah ngga nyaman buat saya. Saya merindukan suasana yang dulu. Yang masih bisa jalan kaki tanpa takut keserempet kendaraan, yang menjelang maghrib suasana mulai senyap, yang pagi2 suka keluar asap dari mulut, dsb.
LikeLike
Susah kalau gitu ya, Teh. Kalau desa saya ga sesejuk itu sih, ga sampai keluar asap dari mulut. Cuma ya masih mendingan dibanding kota besar. Minimal lebih tenang. Memang kebanyakan desa pun semakin berubah seiring pendapatan warganya berubah.
LikeLike
Jadi pengen pulkam, desaku masih susah internet. 4g byar pet
LikeLike
Hayuk In, baliknya bawa kopi Owa….
LikeLike
Aku juga tinggal di kota kecil. Biaya hidup lebih murah dan jalanan nggak macet seperti di kota besar. Cuma memang nggak ada mall gede2, bioskop ada satu sih. Kalo kulinernya banyak, apalagi di sekitaran kampus 😀
LikeLike
Kalau Jember mah masih relatif rame Mbak karena ada wilayah kampus yang hidup. Ada bioskop pula plus Gramedia ya, beda bingit ma Lamongan hehe.
LikeLike
Saya kangen toko buku, pameran buku dan beragam event di jogja. Di Madiun minim toko buku. Pameran buku malah ga ada.
Tapi bisa agak santai karena ga ada bioskop dan jauh dari mal. Dkat sawah.
LikeLike
Di sini toko buku minim juga, Mbak. Pameran harus ke Surabaya. Bioskop apalagi, mal pun tak ada hehe. Memang lebih ngirit.
LikeLike
Ada benarnya artikel di atas. Namun tergantung siapa yang melakoninya.
Karena saya asalnya dari desa maka hijrah saya dan kini menetap di desa nggak banyak masalah. Itu karena saya juga kurang hobi hura-hura.
Saya bahkan lebih merasa bisa meningkatkan kualitas ibadah karena rumah saya memangku mushola. Tinggal buka pintu sudah sampai musala. demgan demikian kesempatan untuk sholat berjamaah lebih besar dibandingkan dengan ketika tinggal di kota besar yang jarak antara rumah dengan masjid kurang mepet.
Tempat makan juga cukup banyak di desa, bahkan sudah ada yang nawarkan wifi loch.
Hubungan dengan famili dan tetangga juga semakin intens.
Gotong royong yahud banget.
Pokoknya saya enjoi hidup di desa karena listrik dan jalan beraspal sudah ciamik. AC, wifi juga lengkap. Kondangan aneka hajat juga banyak, utamanya tahlilan hahaha.
Salam hangat dari Jombang.
LikeLike