Menangis jelas bukan monopoli wanita saja. Pun sama sekali bukan menunjukkan kelemahan seseorang, baik pria maupun wanita. Menangis adalah ekspesi natural yang menjadi bagian penting emosi manusia. Dalam beberapa kasus, meneteskan air mata justru bagus sebagai terapi demi melepaskan beban nonmateriil saat tak ada hal lain bisa dilakukan selain menangis dan berdoa.
Ketika tangisan reda atau usai, jiwa seperti pulih kembali—kadang-kadang kesadaran baru malah sanggup dicapai. Entah karena mengenang masa lalu yang pahit, atau tersentuh akibat pemandangan di sekitar kita, sering kali tangisan berhasil menyiapkan diri kita untuk lebih tangguh, lebih bersyukur, dan lebih mampu mengambil sikap. Seperti halnya terduknya emosi saat kusaksikan beberapa hal berikut.
Penjual daun genjer
Daun genjer sangatlah sedap disantap. Tak butuh pola masak yang rumit, gurih dan nikmatnya segera bisa dirasakan. Namun sore itu aku tak hendak menyendok kelezatan daun tersebut. Alih-alih terpuaskan selera kuliner, kurasakan pelupuk mata mendadak basah. Bukan lantaran tertular udara Bogor yang sembab akibat hujan. Sesenggukan pun tak terelakkan, meski hanya perlahan.
Istri yang beranjak dari dapur mendapatiku beruari air mata. Tanpa berkata-kata, aku bergegas mengarahkan pandangannya menuju layar televisi yang sedang kutonton. Seorang ibu di Kabupaten Bogor, daerah Parung kalau tak salah ingat, harus berjibaku mencari nafkah dengan menawarkan daun genjer yang ia petik seharga Rp500 per ikat dan sehari ia hanya meraup Rp1.500 atau tiga ikat saja.
Tak banyak yang kuucapkan selain bahwa aku sering khilaf lantaran tak bersyukur atas kenikmatan setiap hari, terutama berupa rezeki makanan. Ibu ini tak mengenal optimasi blog atau cari duit dengan menulis. Namun semangatnya luar biasa—tetap pantang mengemis walau dengan mencari daun genjer dan menjualnya dengan harga tak seberapa. Menangis lagi aku, lagi, dan lagi ….
Pejuang nasi
Sungguh gembira ketika malam itu aku bisa bergabung dengan anak-anak muda Bogor sebelum ngider. Ngider adalah istilah yang kami gunakan saat membagikan nasi bungkus beserta air minum kepada mereka yang membutuhkan pada hari Jumat minggu kedua. Saat menceritakan alasanku kenapa ingin bergabung dalam komunitas Bernas (berbagi nasi), aku tak mampu membendung air mata.
Saat menunggu teman-teman atau yang lazim disebut pejuang nasi, mataku berkaca-kaca saat mengingat dahulu di Semarang aku pernah dilanda kelaparan karena tak punya uang sampai akhirnya sahabatku datang menawarkan bantuan. Walau tak sampai sesenggukan, lelehan air mata terasa kian panas saat kuingat ketika anak kedua kami sehabis lahir namun uang tinggal sekian ribu rupiah hanya cukup untuk membeli sebungkus mi instan dan setengah liter beras. Betapa saat-saat itu begitu perih, titik nadir yang selalu kukenang tapi bukan sebagai kegagalan. Betapa perut tak bisa diajak berkompromi akibat honor pekerjaan yang tak juga cair.
Bagaimana dengan mereka yang miskin papa, tak punya keterampilan yang bisa diandalkan, pun tak ada sesuatu yan diharapkan? Mereka akhirnya mengayuh becak, namun sebagian besar memungut sampah alias menjadi pemulung. Kepada para pejuang nasi, aku salut kepada rekan-rekan muda itu! Sebungkus nasi mungkin tak bisa mengangkat derajat masa depan, namun rasa syukur yang mereka ajarkan rasanya hanya sanggup kubayar dengan bulir air mata keharuan. Terimalah, terimalah ….
Penjual madu Badui
Bagaimana rasanya berjalan kaki menyusuri jalanan besar selama tiga hari? Mungkin berlangsung sepanjang siang dan malam dengan sesekali beristirahat. Selain rasa lelah yang kubayangkan, ada daya juang yang kokoh dari seorang Badui yang menjajakan madu mereka di Taman Kencana Bogor beberapa tahun lalu.
Menurut penuturannya—dan belakangan kuketahui ternyata itu lazim mereka lakukan—ia berjalan kaki dari desanya di Banten menuju Bogor hingga tiga hari. Setelah botol-botol madu itu berpindah tangan ke pembeli, mereka akan menumpang kereta saat kembali ke daerahnya karena sudah punya ongkos.
Betapa hebat mereka karena ditempa alam dan semestinya kita tiru bahwa kenikmatan mesti didahului kerja keras yang mungkin tak mengenakkan. Bagaimana mungkin mataku tidak membasah?
Penjual sate saat banjir
Orang terakhir ini berasal dari memori sewaktu masih tinggal di Semarang. Selepas mengajar seperti biasa, aku merapat ke sebuah angkringan atau kucingan yakni gerobak kecil di pinggir jalan yang menawarkan nasi bungkus sekepas nasi mirip porsi makanan kucing. Setelah rampung menyantap makanan dan tengah menyeruput teh hangat, hujan deras turun seketika.
Sebetulanya hujan sudah mendera sejak sore tadi sehingga beberapa jalan kompleks dilanda banjir lokal. Hujan kedua ini disusul kemunculan seorang penjual sate yang berjalan terhuyung ketika mendorong gerobaknya sambil terdengar gemerincing bel mirip genta sapi sebagai tanda pedagang sate siap melayani pembeli.
Dalam keadaan banjir—mungkin setinggi atas mata kaki orang dewasa—bapak ini terus menerjang derasnya air dari selokan serta menahan hempasan air hujan yang menciptakan kedinginan luar biasa malam itu. Oh sungguh hebat kau Pak Tua! Tak terluncur kata mengeluh apalagi menyalahkan Tuhan. Aku membayangkan mungkin orangtua salah satu muridku dan itu membuatku ingin melecut semangat mereka saat belajar esok.
Untunglah warung kucingan hanya ditenagai lampu remang-remang sehingga mata sembab akibat tangisan tertahan tak perlu khawatir ditemukan. Kepada kalian semua, kekaguman kuhaturkan! Benar kata orang: kita mesti belajar untuk menangis, yaitu berlatih mengasah kepekaan hati nurani agar mudah tersentuh pada kegigihan atau kebaikan orang lain—tanpa perlu hal-hal besar atau mentereng. Menangis juga penting agar kita bisa menyerap pelajaran yang bisa kita tiru agar maju, bukan hanya kesuksesan ekonomi saja, tetapi terutama kesanggupan menjadi makhluk penebar manfaat.
Sanggupkah oh sanggupkah ….