Jumat berjalan seperti biasa. Duo Xi begitu bersemangat sebab agenda Jumat pagi selepas Subuhan adalah meluncur ke pasar dengan mengayuh sepeda. Saya mengayuh sepeda Polygon yang saya beli dalam keadaan bekas itu sementara si sulung menggenjot sepeda Phoenix lungsuran dari kakak sepupunya. Sepeda-sepeda yang istimewa.
Polygon hijau muda sangat nyaman meskipun lapisan di ujung sadelnya agak terkelupas. Keranjangnya sudah diganti lebih besar agar cocok memuat barang belanjaan lebih banyak. Phoenix merah putih seperti menegaskan spirit kemerdekaan. Ya sekurang-kurangnya kemerdekaan anak-anak untuk mengayuh sepeda sendiri yang biasanya hanya membonceng motor di belakang.
Sayang sekali Bumi tak bisa menggenjot sepedanya sendiri. Sepeda Family hijau Ben10 itu rantainya rusak dan belum sempat saya betulkan, karena tak bisa. Bengkel terdekat sering tutup. Kalau boleh memilih, dia lebih asyik mengayuh sepeda sendiri. Bebas menggenjot dengan tenaga sendiri dan manuver tak terduga.
Namun karena sepedanya rusak, mau tak mau dia harus membonceng salah satu dari kami. Dari rumah dia menumpang sepeda kakaknya hingga tiba di pinggir jalan raya. Memasuki area Dampit, tepat di sebelah Masjid Rohmatul Anam yang konon didirikan bupati aktif, saya mengambil alih penumpang. Atas pertimbangan keamanan, Rumi pun mengayuh sepedanya sendiri tanpa beban penumpang yang berpotensi bikin sepeda lenggak lenggok dan berbahaya.
Tiba di pasar kira-kira pukul 6 kurang seperempat. Lebih siang daripada biasanya. Tapi mereka tetap semangat menelusuri lapak demi lapak. Terutama lapak kue hehe. Lazimnya nasi kuning jadi menu favorit mereka, namun pagi itu kami bergerak mula-mula ke lapak kue atau camilan. Tiga tahu isi besar dan lemper masuk tas. Ibu penjual langganan sempat menawari kami plastik, namun saya tolak. Maaf, kami sudah membekali diri dengan totte bag hasil lomba blog. Pan kudu ramah lingkungan katenye ….
Pepes ontong
Masih di gang yang sama, kami pindah ke lapak sebelah: juga penjual kue tapi dijaga oleh seorang bapak. Langganan kami juga karena memang toko kue enggak terlalu banyak di sini mengingat pasarnya memang kecil. Di lapak kedua saya mengangsurkan uang 5.000 rupiah sebagai ganti mi goreng dan dua bungkus pepes. Pepes apakah itu?
Tibalah moment of truth itu, BBC Mania! Mata saya tertumbuk pada sebuah talam berisi beberapa bungkus pepes atau botok. “Ini botok tahu tempe, yang ini botok ontong,” jawab bapak penjual sambil melayani pembeli lain. Wah, botok ontong, jarang-jarang nih—pikirku mirip senandika dalam adegan sinetron. Tentu tanpa mata melotot ala aktris serbatanggung. Tak perlu mikir lama, aku meminta masing-masing pepes itu untuk disatukan dengan mi goreng lezat. Sebungkus pepes hanya seribu rupiah. Mi goreng Rp2.500, jadi ada kembalian 500 perak. Murah banget kan?

Jika BBC Mania belum akrab, ontong adalah sebutan lokal untuk jantung pisang yang kerap dimasak dengan santan, dipepes, atau ditumis. Ada pula yang menyebut entut pisang, entah bagaimana kronologinya. Yang jelas, bahan yang oleh bule disebut banana blossom ini sangat lezat loh, hampir mirip gudeg atau rebung namun aromanya khas.
Enggak percaya? Cobain sendirilah, haha. Tuntas dari lapak si bapak, kami singgah ke lapak depannya—lapak wajib saat ke pasar terutama hari Jumat. Apa lagi kalau bukan gerai nasi boranan yang digawangi embah sepuh nan ramah itu. Masakannya paling lezat di antara pelapak serupa di pasar itu. Dan tentu lebih murah. Lezat dan murah, siapa takut?
Sebungkus berdua
Nasi boranan adalah menu khas kota Lamongan selain soto dan tahu campur. Didominasi rempah pada bagian kuah dengan lauk antara lain ayam kampung, bandeng, ikan gabus, jeroan, telur asin, dan ikan sili. Ikan yang saya sebut terakhir kini sudah langka dan tak semua lapak menyediakannya. Pernah saya singgung di blog post tentang HUT Lamongan tahun lalu. Ada festival nasi boranan dan fotonya pula.
Di lapak Embah, begitu kami menyebutnya, saya biasanya meminta dua bungkus dengan lauk ikan atau ayam. Sesekali ditambah telur asin—sedaaap! Satu bungkus akan saya santap berdua bersama istri, sedangkan sebungkus lainnya kami berikan kepada siapa saja yang kami temui dalam perjalanan pulang. Biasanya pemulung, tukang sapu, satpam, atau tukang bentor. Semacam melodi memori bernas gitu deh, BBC Mania.
Berbeda dengan bernas di Bogor, mencari target di kota kami tidaklah mudah. Maklum, bukan kota perantauan. Pagi itu satpam kompleks yang beruntung. Sepeda kami kayuh melewati jalan berliku yang semakin berdebu akibat proyek pembangunan di sebelah utara—entah kapan akan berakhir. Kami berangkat lewat belakang, melalui sawah-sawah dan sungai besar (yang sudah mengering) lalu pulang dari pasar lewat gerbang depan. Untunglah truk-truk besar belum beroperasi sehingga debu tidak beterbangan.
Ternyata sudah 700 kata ceracauan ini gaes. Semula saya hendak bercerita hingga aktivitas Jumat malam, namun cukup di sini dulu. Keburu bosan dan malah mupeng sama pepes ontong pisang hehe. Happy weekend ya manteman! Jangan lupa berdoa dan berbagi ….
Saya juga suka ngelayap ke pasar tradisional. Ada rasa “nyaman” tersendiri yang disuguhkan pasar tradisional yang bisa saya nikmati.
LikeLike
Betul, Mas. Sangat menyenangkan seperti kembali ke kesantunan Nusantara. Asyik dan egaliter.
LikeLike
Aku memang blm prnh coba ontong, tp kalo jantung pisang udh sering dimasak mama nth di tumis ato dibikin kyk gudeg td. Dan memang enaaaaaakkkkkk. Prnh ada di restoran di BSD, Le Mangano namanya, ada menu jantung pisang yg dibungkus daun pisang. Dalamnya ada teri medan, sedikit pedas tapi enaaak banget sumpah.
Jantung pisang mah memang lbh enak kok rasanya. Dibanding gori ato nangka muda, aku lbh seneng rasa jantung pisang
LikeLike
Sepakat banget, ontong atau jantung pisang memang sangat nikmat dimasak apa aja. Gurih dan krenyes-krenyes. Duh ….
LikeLike
Sejak 3 tahun di perantauan, saya belum pernah sekalipun ke pasar tradisional.
Paling pas pulang kampung saja saya ke pasar.
Tadinya saya pikir ontong apaan? Ternyata jantung pisang, kalau di daerah asal saya sebutannya “ontel”.
LikeLike
Masih di Bekasi sekarang, Pu? Atau Tangerang ya. Kalau balik ke Jogja, wajib santap ontong eh ontel lagi loh, sedaaaap hehe 🙂
LikeLike