Belum lama ini saya mendapat kabar menggembirakan. Hati berbunga-bunga ketika seorang kawan menginformasikan sebuah kemenangan atas nama BBC alias Blog Belalang Cerewet dalam sebuah kontes dengan hadiah yang cukup substansial. Selama ini saya lebih sering memperoleh hadiah berupa gawai alih-alih uang tunai. Kalaupun pernah menyabet hadiah uang, nominalnya mentok di angka 1 juta—begitu yang terjadi dalam beberapa kali perlombaan.
Kebahagiaan meletup-letup seolah saya baru saja menerima rezeki nomplok walaupun bukan juara pertama. Hati dan pikiran saya terkooptasi pada nominal yang wah, jarang saya dapatkan, dan tak sabar menanti pencairan. Beberapa hari kemudian, saya dilanda teror oleh diri sendiri. Saya merasa rendah dan memang demikian adanya. Bersyukur berkali-kali lantaran mendapat hadiah uang besar padahal selama ini banyak nikmat lain yang harusnya saya nilai sebagai rezeki pula.
Lalu di notebook yang saya dapatkan dari pembelian novel setahun lalu saya menulis kerangka tulisan tentang beberapa hal yang sering atau cenderung menyebabkan diri kita—wabilkhusus saya pribadi—enggan mensyukuri nikmat-nikmat tertentu karena pikiran keburu tertutup oleh definisi yang membatasi pada lima hal berawalan B berikut ini.
B – eruang
Seperti kasus yang saya sebutkan di awal, tidak jarang kita menghendaki rezeki berupa uang semata, sebagaimana pernah saya tulis di blog ini tentang ajakan untuk tidak mempersempit definisi rezeki. Sebab itu berpotensi membatasi potensi yang bisa kita dapatkan. Adalah kesalahan besar jika kita hanya memandang hal-hal yang mengandung uang atau materi saja sebagai rezeki dari Tuhan. Keimanan, kesehatan, waktu luang, oksigen, dan air bersih, semuanya adalah rezeki yang tak ternilai.
Untuk hal terakhir yang saya sebut, oh sungguh relevan dengan apa yang saat ini terjadi di wilayah kami. Selama beberapa pekan sejak akhir September saya mendapat kesempatan bersama NBC mengunjungi sejumlah dusun yang mengalami krisis air bersih sambil mengirimkan truk berisi air bersih untuk warga setempat. Beritanya pernah saya tulis di sini dan di sini. Kami sekeluarga pun mulai resah dilanda kelangkaan air di rumah.
Kalau sudah begini kami harus malu sebab menganggap rezeki hanya berbentuk uang melulu. Karena fokus pada apa saja yang beruang, maka dorongan untuk besyukur pun pupus. Seolah tak ada rezeki yang menyinggahi kita, padahal bentuknya berbeda-beda. What a real shame!
B – anyak
Ketika menerima uang atau rezeki lain berupa materi, impuls yang mengemuka adalah keinginan untuk memilikinya dalam jumlah yang banyak, yang besar. Sudah terima fee menulis content, misalnya, lalu berandai betapa indahnya jika ada lima sponsored post sekaligus. Sudah mendapat hadiah berupa satu kantong kopi dan kaus, oh alangkah senangnya hatiku seandainya dikirim lebih banyak kopi sehingga bisa dijual atau buat stok di rumah.
Begitulah terus, rezeki baru terasa saat datang berlimpahan. Saya sering lupa bersyukur sebab rezeki datangnya ngliwir seperti air PDAM di rumah, bukan mengalir deras seperti banjir bandang. Padahal adakah jaminan uang atau harta berlimpah akan membuat kita bahagia? Kemungkinan besar kita malah terlena dan jadi pelit sebagaimana sudah banyak buktinya dalam kehidupan nyata. Setidaknya yang saya rasakan sendiri.
Pernahkah BBC Mania membaca petuah bijak bahwa rezeki yang berlimpah tak akan menghampiri orang yang tak bisa mensyukuri rezeki yang sedikit?
B – ergegas
Kita baru merasa hepi setelah rezeki materiil datang terakumulasi dan tanpa harus dinanti. Bukan rahasia lagi manusia adalah makhluk yang tidak sabaran; kenikmatan dan kesenangan—termasuk rezeki—minta disegerakan. Rezeki yang tak kunjung tiba membuat kita gusar dan mengeluh. Ujung-ujungnya lupa mensyukuri apa yang sudah dimiliki.
Rezeki minta dipercepat datangnya, sehingga kalau lambat sedikit atau jika wujudnya tak sesuai harapan—keluhan dan kepahitan hiduplah yang kita kembangkan, yang kita budidayakan. Menjadikan hidup semakin sempit seolah-olah Tuhan tak sayang karena kita melihat orang lain berlimpahan rezeki dan begitu mudah meraihnya tanpa harus menunggu. Sadarlah!
B – ekerja
Karena merasa sudah melakukan sesuatu, kita merasa punya hak untuk menuntut Tuhan guna memberikan imbalan. Allah tentu tak pernah bertindak tak adil kepada kita, justru kitalah yang menzalimi diri sendiri dengan tak tahu diri atau tak mau memahami kesejatian hidup. Kita seolah mengandalkan bakat atau kemampuan semata untuk menarik rezeki. Padahal ada anasir keberkahan dan kebaikan yang telah Allah takar.
Bukan semata-mata karena bakat atau pekerjaan kita diganjar rezeki, tapi sebab rahmat-Nya yang begitu luas. Begitu kita menuntaskan pekerjaan, maka risaulah kita saat rezeki yang kita harapkan begitu lama tak datang-datang. Berusahalah sebagai sebuah kewajiban, sisanya serahkan kepada Tuhan. Istikamahlah dalam ikhtiar, rezeki akan datang pada saat terbaik yang Dia tentukan.
B – arter
Gencar beramal salih, rajin beribadah, tapi demi mengharap ganjaran belaka. Kita sering memandang hubungan kita dengan Tuhan sebagai interaksi untung-rugi yang harus ditimbang dalam sesuatu yang seimbang menurut kacamata kita. Sedekah sejuta, lalu tak sabar menanti dalam hitungan hari untuk menerima 10 juta, atau 100 juta. Mengharap kebaikan dan imbalan dari Allah tentu tak masalah. Yang bermasalah adalah ketika kita menentukan kadar atau nominal dan dalam waktu yang kita mau.
Dengan begitu pongah kita seolah layak membarter amal baik dengan rezeki yang kita kehendaki. Maka ketika rezeki tak juga tampak, kita pun kecewa dan lupa mensyukuri nikmat yang lain. Itulah yang sering saya alami. Bagaimana dengan BBC Mania?
Makin banyak syukur Insya Allah rezeki makin lancar. Aamiin.
LikeLike
Aaamiin, semoga ya Mas. Kita ga lupa bersyukur dan rajin berbagi.
LikeLike
Alhamdulillah, karena selalu sabar ketika mendapat rezeki berlimpah dan bersyukur ketika rezeki sempit, hati menjadi lebih tenang. Mas Rudi memang top, selalu mengoreksi diri sendiri. Tulisan yang sangat bermanfaat!
LikeLike
Berat memang bersyukur itu, Mbak. Mudah diucapkan pas kita banyak duit. Tapi pas sedang bokek, duh….
LikeLike