Mengenang pekerjaan pertama sungguh bukan perkara mudah. Kesulitan pertama adalah menentukan mana pekerjaan yang saya emban untuk kali pertama. Jika segala hal yang saya kerjakan dan menghasilkan uang bisa disebut dengan pekerjaan, maka honor dari Mbak Ermyn bisa jadi adalah pekerjaan pertama yang kumiliki. Uang sebesar Rp21.000 itu kuperoleh darinya sebagai upah mengajar les privat anak SD dan menerjemahkan naskah pidato dari anak SMA lain.
Ya, betul, aku masih SMA, lebih tepatnya menginjak kelas tak lama ayahku meninggal. Mbak Ermyn pemilik rental komputer langganan kami kebetulan mengelola tempat kursus bahasa Inggris dan memberiku kesempatan mendapat percikan rezeki sebagai simpati atas meninggalnya ayahku. Aku lupa untuk uang hasil keringat sendiri tahun 1999 itu. Sepertinya kubelikan kamus idaman (bajakan) di pasar tingkat yang harganya 20 ribu rupiah.

Drama di Semarang
Singkat cerita, awal 2004 aku mengikuti kegiatan KKN sebagai syarat kelulusan sarjana dari sebuah universitas negeri di Semarang. Tergerak untuk mendapatkan rezeki secara teratur, aku pun mengirimkan surat lamaran ke sebuah lembaga kursus sesuai jurusan yang kutekuni saat kuliah. Sayang sekali, surat panggilan microteaching tak sampai ke tanganku tepat waktu karena aku berada di desa tempat KKN berlangsung.
Walhasil, aku pun terlambat datang ke lembaga tersebut. Saat kusampaikan alasan di balik ketakhadiranku pada sesi tes mengajar, sang manajer menolak memberiku kesempatan dan aku pun pulang dengan hati terpukul. Karena jujur saja aku sangat mengharap pekerjaan itu lantaran sudah punya waktu luang saat menyusun skripsi. Namun apa daya tawaran itu melayang sia-sia.
Akhir tahun 2004 aku melamar lagi ke tempat yang sama dan alhamdulillah diterima. Drama penolakan pun tak lagi terjadi. Aku mengajar di sana hingga dua tahun sampai pindah ke Bogor menjadi editor buku sekolah untuk tingkat SMA. Pengalaman mengajar dua tahun di lembaga itu ternyata sangat bermanfaat bagi kegiatan sosial yang kutekuni pada tahun-tahun berikutnya.
Aku tak pernah meniatkan pekerjaan mengajar sebagai batu lompatan atau sekadar singgah. Semuanya kujalani dengan penuh kegembiraan. Memang gaji atau upahnya tak besar tapi ya cukuplah untuk hidup sendiri. Sejak skripsi dan bahkan jauh sebelumnya aku tak pernah lagi menerima sokongan dana dari ibuku di kampung. Seiring jumlah kelas yang kuampu bertambah, meningkat pula pendapatanku.
Untuk bisa membeli motor (secara kredit), aku pun bekerja di dua tempat lain. Pagi aku menjadi penerjemah di sebuah yayasan yang mencarikan dana bagi anak-anak tak mampu dari luar negeri. Sore aku mengajar di lembaga kursus, lalu malam mengajar di tempat les lainnya. Dari situlah aku bisa mencicil motor baru sampai lunas ketika di Bogor dari pekerjaan berikutnya,
Pekerjaan di Bogor sungguh penuh makna. Walau hanya 2 tahun bekerja di sana, aku belajar banyak tentang dunia buku dan terutama menemukan pujaan hati yang selama ini tak pernah muncul dalam benakku. Perjalanan makin bermakna ketika aku mengundurkan diri karena sakit dan bekerja sebagai part-timer sambil mengelola Bright English Institute dengan dukungan penuh dari istriku.
Kini aku pindah dan menetap di kampung halaman, masih mengelola tempat belajar yang sangat diuntungkan dengan pengalamanku mengajar dulu. Juga masih menggeluti dunia perbukuan berkat persinggahan di perusahaan penerbitan sebelumnya. Alhamdulillah, tak ada pekerjaan yang ideal. Semua punya risiko dan kelebihan masing-masing. Bukan begitu, BBC Mania?
Semangat, mas. Setiap pekerjaan memang memiliki risiko masing-masing. Selain itu, ada makna yang kadang membuat kita harus enjoy untuk menekuninya.
LikeLike
Begitulah, Mas Rosyid. Apa kabar Probolinggo? Yang penting enjoy ya kan?
LikeLike