Buku Spiritual Samurai: Meneladani Nilai Ksatria Orang Jepang

Tahun 1974 anak yang masih duduk di bangku SD itu mengalami perundungan atau bullying. Sewaktu berenang di Taman Ria Monas, dia ditenggelamkan oleh anak seusianya. Ayahnya segera terjun menyelamatkan lalu menyemangatinya agar berani melawan. Namun anak ini ketakutan dan pulang dengan kekecewaan lantaran tak mampu memberi perlawanan.

Menginjak kelas 1 SMP, seorang teman kelasnya dengan lengan bertato burung menjambak rambutnya, juga menarik bajunya sampai robek. Tak ada seorang pun temannya yang berani membela sementara ia sendiri merasa sangat ketakutan. Akhirnya seharian ia belajar di kelas dengan baju sobek.

Kenapa belajar karate

Dua keping pengalaman itu diceritakan oleh Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya berjudul Spiritual Samurai. Anak korban perundungan itu tak lain adalah dirinya sendiri. Kisah pahit itulah yang mendorongnya untuk belajar seni bela diri yakni karate yang kemudian dilanjutkan dengan seni pedang Battodo langsung di Jepang.

Ary yang selama ini dikenal sebagai motivator dan penulis buku laris ESQ menyadari dikotomi kontradiktif dalam kehidupan sehari-hari. Ada orang kuat tetapi menindas atau zalim, sedangkan orang baik ternyata lemah sehingga tak bisa membela diri. Ary beranggapan bahwa kondisi ideal bisa diciptakan, yakni ketika orang-orang kuat mampu berdiri untuk membela kebaikan.

Sebagaimana namanya, Spiritual Samurai berisi pelajaran hidup dan filosofi luhur yang bisa kita serap dari para ksatria Jepang zaman Edo yakni samurai. Begitu era Meiji dimulai, para samurai dilarang menggunakan senjata tajam sehingga mereka mengembangkan seni bela diri tangan kosong yakni karate. Jadi, Battodo atau ilmu pedang sudah ada jauh sebelum karate.

Contoh kejujuran orang Jepang

Dalam buku ini Ary menampilkan beberapa contoh bentuk kebaikan orang Jepang sebagaimana dialami oleh beberapa orang, termasuk dirinya sendiri. Kejujuran itu memang mencengangkan, sangat sulit ditemukan di Indonesia seandainya terjadi hal yang sama. Sewaktu berada di Kyoto bulan Oktober 2008, Ary menumpang taksi menuju penginapan.

Begitu sampai di sebuah belokan, sopir taksi terus memacu kemudi lurus padahal arah penginapan harusnya belok kanan. Akibatnya, mereka harus berputar lagi agar tiba di penginapan. Saat menyadari kekeliruannya, sopir taksi segera mematikan argometer dan meminta maaf berulang-ulang. Ary takjub pada tindakan sang sopir taksi. Dan ia semakin takjub ketika menyerahkan uang 650 yen sesuai angka yang tertera di argometer.

Sopir itu menolak dibayar padahal ia sudah berhasil mengantar Ary ke penginapan. Sopir bersikeras tak mau menerima uang karena merasa malu tak mampu menjalankan tugasnya sebagai sopir taksi dengan baik. Sungguh pemandangan aneh jika bukan berada di Jepang.

Dompet hilang kembali pulang

Pengalaman menarik lain diceritakan oleh Lisman Suryanegara. Dompetnya yang sempat hilang karena tertinggal di mesin ATM rupanya kembali ke tangannya dalam hitungan 5 jam. Polisi meneleponnya dalam renntang waktu itu guna memintanya mengambil dompet yang sudah ditemukan. Kehilangan ponsel dua kali juga pernah ia alami. Semuanya lagi-lagi sukses balik ke tangannya berkat kejujuran orang Jepang. Termasuk saat ia membeli laptop murah setelah penjual memberitahunya bahwa laptop itu punya sedikit cacat beupa retak akibat pernah terjatuh.

Lisman juga menjadi saksi hidup betapa kemurahan hati orang Jepang sangat patut diteladani. Suatu hari ia akan menyewa rumah di Rokujizo, Jepang. Sebagai syarat administrasi, ia harus mengurus dokumen kependudukan di Kantor Shiyakusho (kantor pemda). Ia terkesan dengan sikap dan ketegasan pegawai negeri sipil (PNS) Jepang. Karena anggota keluarganya berjumlah 5, maka ia pun meminta 5 lembar sertifikat kependudukan sesuai pesan kantor perumahan.

Kenapa harus lima lembar?

Namun petugas menanggapi, “Kenapa harus lima lembar? Ini kan bisa dijadikan satu saja.” Lisman pun menuruti saran petugas ini karena dirasa lebih efisien. Ia cukup membayar 350 yen atau setara Rp40.000. Bayangkan jika harus membayar untuk 5 lembar, tentu ia mesti merogoh 200.000 rupiah. Begitu tiba di kantor perumahan, Lisman diminta kembali ke kantor kependudukan lantaran syarat 5 lembar belum terpenuhi.

Ia menurut dan meluncur ke kantor Shiyakusho. Petugas kaget melihatnya datang lagi. Setelah Lisman menceritakan keberatan pihak perumahan, petugas kependudukan lantas meneleponnya. Ia mempertanyakan syarat yang justru memberatkan warga. “Kalau bisa dijadikan satu, kenapa harus lima?” sergah petugas masih lewat telepon. Ia menegaskan bahwa meminta 5 lembar sertifikat berarti memboroskan uang warga.

Minta maaf lagi

Mereka akhirnya sepakat untuk mencetak selembar dokumen dengan sedikit revisi. Petugas Shiyakusho menyerahkan dokumen tersebut secara gratis sambil meminta maaf kepada Lisman. Ia minta maaf atas kerepotannya harus datang dua kali dan hiruk pikuk kejadian hari itu. Sungguh pemandangan yang langka, untuk tidak menyebutnya aneh. Padahal jika sejak awal petugas Shiyakusho menuruti kantor perumahan, masalah akan cepat selesai. Tanpa perlu menelepon dan berdebat, dan yang paling penting pendapatan kantor Shiyakusho jadi lebih besar.

Inilah bukti bahwa nilai-nilai bushido ala samurai masih tertanam kuat di benak masyarakat Jepang modern. Spirit itu yang mereka nyalakan (murup) meskipun era para samurai telah berakhir. Apa saja 8 nilai bushido yang bisa menjadi kunci sukses dalam semua lini kehidupan kita, baik sosial maupun finansial? Langsung baca bukunya untuk menemukan rahasia kehebatan bangsa Jepang yang melegenda hingga kini.

Ary Ginanjar bisa berubah dari anak korban bullying menjadi orang sukses berkat meneladani spirit bushido. Semoga resensi buku ini bermanfaat.

Advertisement

3 Comments

Tinggalkan jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s