MENGENANG SAPARDI adalah mengenang puisi. Itulah makna sosok Sapardi Djoko Damono yang namanya mendadak viral begitu beliau meninggal dunia tanggal 19 Juli lalu. Entah kapan tepatnya saya mengenal nama Sapardi. Mungkin saat duduk di bangku SMA ketika majalah sastra Horison jadi santapan wajib kami anak-anak kelas 3 jurusan Bahasa. Sejak kelas dua saya dan beberapa teman pencinta puisi sering berkunjung ke perpustakaan sekolah dan hampir selalu membaca majalah tersebut.
Dari sanalah kami mengetahui sejumlah pengarang dan penyair kondang, mulai dari Rendra, Taufik Ismail, Goenawan Mohammad, Putu Wijaya, Seno Gumira Ajidarma, Emha Ainun Najib, Soetardji Calzoum Bachri, dan tentu saja Sapardi Djoko Damono. Nama mereka makin akrab di telinga kami. Saking sukanya pada puisi, kami lantas menghimpun puisi karya anak-anak satu sekolah untuk diseleksi oleh pembina teater lalu dikirimkan ke Horison. Sayang sekali puisi kami tak pernah dimuat.

Sapardi Djoko Damono memang dikenal sebagai penulis puisi liris yang kuat. Dibanding Goenawan Mohamad yang menggeluti puisi bergenre sama, Sapardi mampu menghadirkan pesan lewat puisi-puisi yang indah tapi mudah dicerna pembaca awam. Simbol-simbol dan analogi yang dia gunakan cenderung lumrah tapi sarat makna. Tak heran jika puisinya berjudul Aku Ingin sangat kondang dan dicetak di berbagai media baik untuk suvenir ataupun kutipan di radio.
Sapardi atau Kahlil Gibran?
Kenangan bersama Sapardi yang paling kuingat bukanlah perjumpaan fisik, melainkan lewat puisinya yang masyhur itu. Suatu hari salah satu stasiun radio terkenal di Semarang mengudarakan sepenggal puisi pada Hari Valentine kalau tak salah. Seorang penyiar membacakan puisi pendek itu selama jeda acara. Berulang-ulang setiap hari. Saat menutup puisi, penyiar itu rupanya salah dalam mengutip nama penyair. Saya putuskan mendengarkan beberapa kali dan saya simpulkan telah terjadi kesalahan penyebutan.
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Si penyiar menyebut nama Kahlil Gibran sebagai penyair atas puisi Aku Ingin alih-alih Sapardi. Esoknya saya menelepon lewat wartel, kalau tak salah ingat, untuk mengingatkan bahwa penggubah puisi sesungguhnya adalah Sapardi Djoko Damono, penyair Indonesia tulen, bukan penyair kelahiran Lebanon yang telah mendunia itu. Stasiun radio menerima koreksi saya dan mereka berkenan mengubah nama pada rekaman yang diputar selanjutnya. I saved your name, Sapardi!
Sapardi menjadi juri
Kenangan bersama Sapardi berikutnya adalah saat ia menjadi tim juri yang menyeleksi banyak puisi untuk antologi cerpen pendek yang dihelat oleh Yayasan Multimedia Sastra (YMS). Tahun 2000-an sastra di Internet memang mulai menggeliat, mulai mempertanyakan hegemoni sastra koran dan otoritas redaktur sastra. Sapardi Djoko Damono bertindak sebagai ketua dewan penyeleksi bersama Yanusa Nugroho pengarang gaek asal Surabaya yang pernah diganjar SEA Write Award dan Anna Siti Hardiyanti penyair muda asal Aceh. Saya mengirimkan sebuah cerpen yang pendek (maksimal sepanjang 2 halaman kuarto) dan alhamdulillah lolos seleksi.

Saya gembira betul atas dimuatnya cerita itu di dalam buku berjudul Graffiti Imaji. Banyak nama besar selain nama-nama baru di dalam buku tersebut. Selain dikirimi satu eksemplar buku secara gratis, saya juga menerima honor pemuatan sebesar 100 ribu rupiah yang sebelumnya dijanjikan 75 ribu. Ssungguh rezeki nomplok, uang segitu bisa dipakai buat bayar kos dan makan kenyang, hehe. Saya mestinya bisa berjumpa Sapardi karena seluruh penulis yang karyanya dimuat diundang ke Jakarta untuk menghadiri peluncuran buku tersebut. Namun membaca pengantar oleh Sapardi di buku itu sudah cukup memuaskan saya sebab saat itu tengah sibuk ujian semester.
Ketemu Sapardi di kampus
Sekitar tahun 2003 akhirnya kesempatan bertemu Sapardi saya dapatkan. Saat itu saya sedang rajin-rajinnya menulis puisi. Setiap hari hampir selalu menggubah puisi walaupun mungkin satu puisi tidak langsung selesai. Gairah berpuisi membuncah, sebesar energi untuk mengirimkannya ke media massa. Sayangnya tak seindah yang saya bayangkan. Lebih banyak puisi yang ditolak ketimbang yang dimuat. Hingga suatu hari datanglah momen istimewa itu.
Saya mendapat kabar dari seorang dosen jurusan sastra Indonesia bahwa Sapardi akan memberikan kuliah untuk mahasiswa pascasarjana Ilmu Susastra di Universitas Diponegoro. Dosen yang kini menjadi komisioner KPI itu menyarankan agar saya menyiapkan puisi agar dibaca oleh Sapardi saat bertemu nanti. Saya pun mencetak di rental komputer terdekat. Beberapa puisi yang menurut saya bagus siap di tangan. Deg-degan tentu saja menunggu pertemuan dengan sastrawan besar Indonesia.
Akhirnya siang atau sore itu, Sapardi mau menerima saya di ruang dekan saat jeda kuliah. Saya perkenalkan diri lalu menyerahkan puisi yang saya tulis sendiri. harapannya puisi-puisi itu segera mendapat tanggapan dari Sapardi yang tentu akan sangat berarti buat perkembangan sajak karya saya. Sayangnya responsnya tidak seperti dugaan saya. Alih-alih membaca dengan saksama, ia membaca sepintas lalu menyarankan agar saya mengirimkan ke Jurnal Puisi yang ia prakarsai dan kelola.

“Di sana banyak redaktur yang bagus,” ujar Sapardi kala itu, kuat saya ingat. Singkat kata saya meninggalkan printout puisi saya buat Sapardi. Tak ada komentar yang berarti. Entah karena capai mengajar atau lantaran terlalu banyak pemuda yang meminta tanggapan atas puisi mereka, pertemuan saya dengan Sapardi tidak memuaskan. Saya menangkap seolah Sapardi malah terkesan congkak dan tak membumi—sekurang-kurangnya kepada calon penyair seperti saya yang mestinya disemangati.
Dimuat di Jurnal Puisi

Singkat kata saya pun menuruti saran Sapardi. Saya kirimkan beberapa puisi ke redaksi Jurnal Puisi di Yogyakarta. Meskipun tidak mendapat honor pemuatan, tapi bisa dimuat di media bergengsi itu adalah kebanggaan tersendiri. Jurnal Puisi adalah media khusus penerbitan sajak atau puisi yang diprakarsai oleh Sapardi Djoko Damono dan Jeihan Sukmantoro yang lebih dikenal sebagai pelukis.
Duduk di dewan redaksi antara lain Sapardi sendiri dan Sunu Wasono. Lalu di meja redaksi ada staf yang bertugas khusus menyeleksi puisi salah satunya Joko Pinurbo (JokPin) yang kini kondang sebagai penyair nasional. Waktu itu saya juga menikmati buku-buku kumpulan puisi karya JokPin dua di antaranya Di Bawah Kibaran Sarung dan Telepon Genggam. Sedangkan Gus TF adalah penyair sekaligus cerpenis muda asal Payakumbuh yang juga terkenal.

Walaupun tak mendapat transferan honor, dua puisi yang dipilih redaksi untuk dimuat di edisi 11-12-13 # 2003 menjadi kenangan indah yang tak secara langsung menghubungkan saya dengan Sapardi sebab kami punya memori ercakapan bersama—setidaknya kenangan yang saya ingat-ingat sendiri. Tak penting apakah Sapardi ingat saya atau tidak, dimuatnya kedua puisi itu adalah apresiasi tak ternilai dibanding foto bersama atau endorsement pada buku karya saya, misalnya. Saya tak punya foto bersama Sapardi sebab saat itu ponsel belum lazim punya kamera canggih.
Sapardi dan Bakrie Award
Saya tidak mengidolakan Sapardi, pun tidak membencinya sebagai penyair. Yang saya catat adalah kekecewaan saya terhadap Sapardi ketika dia mau menerima penghargaan Ahmad Bakrie Award dari keluarga besar Bakrie sementara publik tengah menuntut penyelesaian kasus terendamnya Porong dalam lumpur panas dalam kasus Lapindo. Namun saya tak menyalahkannya karena penyair juga butuh uang. Saat itu Sapardi berujar bahwa lumayan hadiah 100-150 juta bisa dipakai untuk membayar utang kartu kredit. Apalagi kalau punya utang, tentu harus dilunasi. Jika ada rezeki.
Tak seperti Romo Magniz yang menolak penghargaan serupa sebagai protes atas tidak jelunterungnya kasus Lapindo Brantas yang merugikan warga Porong baik secara materiil maupun nonmateriil. Saya memahami Sapardi sebagai pribadi yang butuh mencukupi kebutuhan sehari-hari. Saya hanya kecewa tapi tidak mengecamnya.
Sebuku dengan Sapardi
Maret 2019 Sapardi makin tua tapi terus produktif. Saya berkesempatan menulis puisi dan menerbitkannya satu buku bersama Sapardi dalam buku berjudul Menenun Rinai Hujan. Berbeda dengan saat penerbitan buku Graffiti Imaji, tak ada kepuasan dalam penerbitan buku kali ini walau saya bisa tampil sebuku bersama maestro liris Indonesia yaitu Sapardi.

Alasannya adalah proyek Sebuku itu bagi saya tak lebih dari cari untung belaka, bukan seleksi prestisius yang bisa dibanggakan. Buku dicetak entah hingga berapa belas jilid berisi puluhan penulis setiap jilid. Artinya, seleksi tidak ketat dan malah sangat mungkin sebagian besar pengirim puisi bisa masuk ke dalam buku berjilid-jilid tersebut asalkan mau membayar uang pembelian dan ongkos kirim.
Semua suka puisi
Apa pun kebenaran di balik penerbitan buku itu, saya hanya ingin mengenang bahwa saya pernah menulis puisi bersama Sapardi meskipun beliau tak pernah meniatkan hal yang sama seperti saya. Puisi karya Sapardi di tiap jilid boleh jadi sama atau berbeda, tapi yang jauh lebih penting Sapardi telah menggerakkan publik sastra Indonesia untuk kembali mengingat dan menyukai puisi lewat dirinya.
Semua bangga dan mulai melirik sajak. Semua gembira dan membiarkan kata-kata bergerak. Semua orang jadi punya alasan untuk mengenang masa lalu lewat puisi. Sebagaimana saya punya alasan kuat untuk mengenang Sapardi sebagai sosok yang berjasa bagi perpuisiain Indonesia. Selamat jalan, Sapardi. Tak penting lagi mana yang fana: waktu ataukah kita. Yang jelas kami akan menyusulmu, dengan kenangan yang sejenak kami rayakan bersama waktu.
Puisi beliau memang penuh makna yang dalam Mas. Saya suka yang Hujan Bulan Juni menyiratkan kekuatan dan ketabahan.
LikeLike
Betul banget, sederhana tapi mengena. Mengesankan dengan penuh kenangan.
LikeLike
Puisi beliau memang penuh makna yang dalam Mas. Saya suka yang Hujan Bulan Juni menyiratkan kekuatan dan ketabahan.
LikeLike
Benar, Mas.
LikeLike
Beruntung banget bisa satu buku sama Pak Sapardi. Puisi lirisnya memang menyihir. Semoga muncul Sapardi-Sapardi lainnya….
LikeLike
Beliau fenomenal, berkat puisinya publik Indonesia jadi suka puisi.
LikeLike
Fenomenal Pa Sapardi!
LikeLike
Kalau saya suka karyanya beliau yang berjudul “Yang Fana adalah Waktu”..
LikeLike
Mantap semua kok.
LikeLike
Salam kenal.
LikeLike