Ketika Puisi Dimuat Lagi

Minggu 19 Agustus adalah pagi kedua kami ikut Subuhan di Masjid Namira Lamongan. Setelah mendapat pengalaman positif pada kunjungan subuh pekan sebelumnya, anak-anak ingin kembali ke sana, kali ini dengan mengajak Bunda turut serta. Kurang lengkap tanpa kehadiran Bunda, ujar mereka berkali-kali. Tak dapat dibantah, pesona ekstra selain megah dan nyamannya shalat di sana, sarapan pagi selepas pengajian Subuh menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung.

Pun juga kami yang senang ikut menikmati nasi bungkus yang telah disediakan. Berbeda dengan buka puasa yang biasanya sering kehabisan, santap pagi terasa berbeda. Selama dua pekan, saya amati nasi bungkus selalu tersisa sebab jemaah yang ikut Subuhan memang tak sebanyak sewaktu Ramadhan. Jika santap sahur jemaah kerap kehabisan kopi, saat sarapan pagi hampir semuanya tercukupi dari dua dispenser yang tersedia.

Setelah menuntaskan sarapan pagi, seperti biasa saya menggiring anak-anak berganti baju di kamar mandi. Agenda berikutnya adalah berlatih Taekwondo di Perpustakaan Daerah, tak jauh dari terminal Lamongan. Perut sudah diisi, raga bugar selepas shalat pagi—kami pun meluncur ke arena latihan. Saya pribadi sudah tak sabar ingin sampai dan membaca koran pagi. Di perpustakaan itu Jawa Pos dan Kompas selalu siap di meja resepsionis saat Minggu pagi karena pengunjung lain belum berdatangan.

Tiba di sana, Bunda kemudian menuntun duo Xi ke lantai dua tempat latihan biasa digelar. Saya merapat ke meja untuk membuka Jawa Pos edisi Minggu. Dua pekan sebelumnya saya mengirimkan beberapa puisi ke Radar Bojonegoro yang bernaung di bawah Jawa Pos Group. Belasan tahun lalu, setelah lulus SMA dan memasuki kuliah, puisi pertama saya pernah di muat di sana. Begitu kembali ke kampung halaman, ingin sekali lagi mencoba mengirimkan puisi.

Dimuat lagi

Minggu sebelumnya rubrik budaya (berisi cerpen dan puisi) ditiadakan lantaran halaman terkait dicaplok daftar caleg di seluruh penjuru kabupaten. Hari Minggu berikutnya, 19 Agustus, alhamdulillah puisi-puisi pendek itu pun muncul di rubrik budaya. Senang tentu saja walaupun kini pengirim puisi tak lagi mendapat honorarium. Dimuat saja sudah begitu gembira, jadi pelecut untuk mengirim puisi lagi ke media-media lain.

puisi di radar bojonegoro

Saya jadi teringat punya sejumlah puisi yang saya tulis selama bulan Ramadhan untuk dikirimkan ke harian Kompas. Dua hari kemudian saya buka lagi puisi-puisi itu, saya sempurnakan, lalu saya kirimkan ke redaksi melalui surel atau email. Walau ratusan puisi yang masuk ke meja redaksi setiap minggu, saya berharap semoga ada dua atau tiga di antaranya yang cukup menarik untuk dimuat di Kompas. Sebagai freelancer, honor menulis di sana harus diakui cukup menggiurkan loh, hehe.

Terlepas puisi dimuat atau tidak, menulis karya sastra ini sangat besar manfaatnya seperti pernah saya tulis dalam rangkaian tulisan bertajuk Tak Ada yang Sia-sia. Sekian kabar singkat (dan mungkin sepele) dari saya, BBC Mania. Adakah yang suka menulis puisi juga?

2 Comments

Tinggalkan jejak