Begitu mendapat kabar akan dikirimi buku kumpulan puisi, saya gembira bukan main. Apalagi buku ini menghimpun sajak-sajak pendek karya anak-anak Circle of Happiness (CoH) yang ada di Kuningan, tepatnya dari Desa Nanggela. Kuningan berbatasan langsung dengan Cirebon, kota tempat tinggal Mbak Tira bloger dengan latar belakang dokter hewan yang kini mengelola CoH bersama suaminya. Kisah tentang komunitas CoH akan saya ceritakan di tulisan terpisah.
Kali ini saya ingin fokus ke puisi yanag ditulis anak-anak usia SD tersebut dalam satu antologi berjudul Untaian Kata Anak Desa Nanggela. Membaca puisi karya anak-anak mengingatkan saya pada memori sekitar tahun 2007 silam ketika seorang teman mengirimkan beberapa puisi dan cerita pendek karya keponakannya di Jakarta.

Saya semringah saat menemukan beberapa puisi yang menjanjikan padahal ditulis oleh anak belia usia SD atau menginjak SMP. Saya tuliskan pendapat tulus tentang puisi atau sajak karya dua bersaudara itu dan mendapat respons positif dari mereka. Intinya, lewat puisi mereka bisa belajar dan mengutarkan apa saja tanpa kendala, tanpa batas yang mengekang seperti esai atau cerita pendek.
Dan puisi memang istimewa sebab karya sastra satu ini berbeda dari produk sastra lainnya. Sajak atau puisi terkenal karena keekonomisan kata-kata untuk menuangkan pengalaman atau pemikiran yang dianggap penting atau berarti bagi penyairnya. Puisi tak boleh foya-foya dengan kata-kata, menghamburkan energi dalam semburan kata-kata tak terkendali.
Untaian Kata Anak Desa Nanggela ditulis oleh 14 penyair cilik yang tergabung dalam CoH. Masing-masing anak menulis lebih dari satu puisi. Tema-tema yang diangkat rupanya tak melulu berkaitan dengan kehidupan pribadi khas anak seperti dunia bermain, persahabatan, atau tontonan favorit. Mereka juga menyinggung tema-tema seputar kelestarian alam atau lingkungan dan bahkan wabah corona yang kini tengah melanda. Saya akan ambil contoh sebuah puisi dari setiap kontributor.
Berani mengkritik
Sahrul Apriansyah (11 tahun), misalnya, menulis tentang sekolah, ibu, angklung, dan alam. Yang menarik adalah dua larik dalam sajak berjudul Hari Bumi. Sahrul menulis: Bumi semakin bergejolak tak tentu arah//Karena ulah manusia yang serakah//Yang hanya mementingkan diri sendiri//Tanpa mengingat untuk generasi yang akan datang. Sahrul berani mengkritik bahwa kerusakan bumi tak lain sebab keserakahan manusia, yang melupakan masa depan generasi selanjutnya. Terlihat kepedulian dalam puisinya.
Lalu ada Naswa (11) yang juga menyayangkan kesehatan bumi yang semakin terpuruk. Dalam “Bumiku yang Menangis”, ia menulis: Setiap hari bunga selalu berguguran//Aku melihatmu setiap hari menangis dan kesakitan…. Naswa menggunakan personifikasi untuk memperjelas penderitaan bumi yang digambarkan bisa menangis. Sedangkan klausa bunga selalu berguguran menunjukkan bahwa bumi mengalami kemerosotan kulitas dengan matinya elemen di dalam dirinya.
Tarian daun
Yang paling mengesankan mungkin M. Rijal (11) yang menggubah sajak pendek berjudul “Bumi Menangis”. Simak paragraf pertama yang berbunyi: Kicauan burung tak seindah dulu//Tarian daun tak sekencang dulu//Pepohonan tak sehijau dulu//Hanya keteduhan di bumi. Rijal memanfaatkan imaji gerak dan visual dalam frasa ‘tarian daun’ yang menurut saya menunjukkan bakatnya dalam menulis puisi. Dalam paragraf itu dia juga membandingkan kondisi sebelum dan sesudah bumi menangis, yang membuat pembaca merenung tentang seperti apa “keteduhan di bumi” yang mestinya diwujudkan manusia.

Hargai orang lain
Lewat puisi berjudul “Petani”, Indah Permata (10) mengingatkan kita bahwa petani sudah bekerja keras menyiapkan padi sebagai bahan makanan utama kita. Petani harus bekerja baik-baik // Petani memerhatikan bibitnya adalah kalimat penting yang mesti diingat orang dewasa. Sebagaimana petani sudah teliti dan bekerja ekstra di bidangnya, kita pun harusnya demikian dalam menjalankan peran di sektor lain.
Dalam “Hari yang Cerah”, Khiarin Seiza (9) memotret hari yang dia rindukan. Bahkan dalam kadar tertentu seolah mengingatkan kita terhadap wabah yang tengah melanda saat ini ketika dia menulis: Semoga hari yang cerah ini//Tidak akan cepat berlalu//Hari esok akankah secerah ini? Bait yang bisa ditafsirkan sebagai doa ini menunjukkan kepolosan bocah sekaligus merefleksikan harapan akan esok hari meskipun diliputi kegamangan. Sanggupkah kita keluar dari bencana global yang tak kunjung reda ini?
Dengan bahasa yang tegas, Novi Iriyanti(9) mengajak agar: Kita harus bangkit dalam menghadapi Corona yang berbahaya dan bisa mematikan. Ini seolah sindiran terhadap orang-orang yang tak percaya Covid-19 itu nyata adanya. Dengan judul puisi “Bumi Menangis”, Novi ingin berpesan bahwa bumi meradang juga sebab ulah kita yang tak bisa Patuhi aturan yang ada.
Aldi dan Adhi
Aldi Purnama (12) menulis bait puisi yang menarik, dalam konteks semantik saat menuliskan frasa virus yang bengis dan Ciptakan pilunya sejarah yang secara sintaksis juga menjanjikan. Bersama Rijal, saya patut berharap Aldi akan tumbuh dengan bakat puitis di masa mendatang. Bercerainya cinta dan kasih//Entah kapan kembali pulih adalah kalimat penutup yang efektif dalam puisinya berjudul “Bumiku Menangis”. Aldi tampak menguasai cara merangkai kata agar padu dan bertenaga.
Dalam “Lekas Sembuh, Bumiku”, Adhi Yusron (12) juga sampai pada kalimat yang memikat seperti Meringis dedaunan pohon ditebang//Mengerang sakit tak berujung. Saat awal menulis puisi, anak-anak biasanya tergoda menggunakan akhiran ala syair dengan rima yang sama. Namun Adhi berani meninggalkan kecenderungan itu demi menyampaikan pesan kuat tentang penderitaan bumi. Judul yang ia pilih pun menurut saya cerdik karena berupa klausa alih-alih kata atau sekadar frasa yang biasa digunakan anak-anak seusianya.
Mensyukuri waktu
Salam Nuralifah (11) menyentak saya dengan puisinya berjudul “Waktu”. Nur menulis: Wahai, sang waktu//Kau adalah yang berharga untuk aktivitas//Manusia menggunakan waktu//Yang terkadang sia-sia. Larik keempat itulah yang mengguncang kesadaran betapa manusia modern sering terjebak dalam aktivitas yang sebenarnya sia-sia atau unfaedah dalam bahasa medsos. Membaca puisi Nuralifah membuat saya menelisik ke dalam diri tentang penghargaan pada waktu, tentang ‘rasa syukur’ yang hilang pada kenikmatan bernama waktu. Terima kasih, Nur!

Itulah sekelumit catatan saya setelah membaca sehimpun puisi karya teman-teman kecil dari Desa Naggela Kabupaten Kuningan yang belajar banyak hal, termasuk literasi dan memasak, di sanggar kecil bernama Circle of Happiness. Selamat karena kalian telah menaklukkan kemalasan dengan berani menulis dan menerbitkan buku mungil ini. Punya buku ini adalah keberuntungan tersendiri.
Lewat untaian kata adik-adik belia itu, saya merasa berkaca, seolah tertampar tentang betapa pongahnya saya dalam mendekati kehidupan. Semua harus serbamemuaskan, harus serbaterpenuhi tanpa peduli pada kelestarian alam, pada kerja keras orang lain (misalnya Pak Tani), atau lupa memandang wabah sebagai bagian dari rekayasa alam untuk “menghukum” atas kelalaian manusia yang serakah dalam mengeksplorasi bumi.
Apakah BBC-Mania sudah membaca puisi? Semoga resensi buku ini bermanfaat.
makasih mas, detail banget meriviewnya. sayang ada pandemi tadinya rencana mau bikin acara bersama anak2 SD dari sekolah di sekitar tempat kegiatan
LikeLike
Sama-sama, Mbak Tira. Salam untuk anak-anak CoH ya. 🙂 Semoga segera ada waktu untuk bermain bersama selepas korona.
LikeLike
Aku suka banget baca puisi, tapi belum pernah kepikiran buat baca puisi karya anak-anak. Keren banget puisi-puisi yang dimuat di buku ini.
LikeLike
MasyaAllah keren banget mereka Om.
Terharu masih kecil udah pada bisa bikin puisi, mereka generasi literasi penerus bangsa.
LikeLike
Selalu menarik membaca karya anak-anak belia. Ada kejujuran dan keberanian. Salam kreatif!
LikeLiked by 1 person
Betul banget, menikmati baca buku kumpulan puisi karya anak Kuningan ini.
LikeLike